Lebih Dari Sekadar Taat: Hati yang Diperbarui oleh Kasih Karunia

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu dan mengusir setan demi nama-Mu dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7:21–23

Matius 7 adalah bab terakhir dari tiga bab yang mencatat apa yang sekarang dikenal sebagai Khotbah di Bukit. Yesus memerintahkan para pendengar-Nya untuk tidak memberikan penilaian yang dangkal atau munafik. Ia menggambarkan Tuhan sebagai Bapa yang murah hati yang ingin memberikan hal-hal baik kepada anak-anak-Nya ketika mereka meminta. Ia memerintahkan para pengikut-Nya untuk memasuki pintu gerbang yang sempit dan berjalan di jalan yang sulit menuju kehidupan. Nabi-nabi palsu dapat dikenali dari buahnya, yang berarti tindakan dan pilihan mereka. Pada saat yang sama, perbuatan baik bukanlah bukti mutlak bahwa seseorang memiliki iman yang sejati. Hidup menurut ajaran Yesus seperti membangun rumah kehidupan Anda di atas fondasi yang kokoh.

Matius 7:15–23 berisi peringatan dua sisi tentang orang percaya palsu. Seorang pemimpin agama mungkin tampak terhormat dan bijaksana, tetapi Anda harus melihat buah hidupnya untuk mengetahui apakah ia benar-benar mewakili Tuhan. Dengan cara yang sama, mungkin saja seseorang mengaku mengikuti Yesus, menyebut-Nya sebagai “Tuhan,” padahal mereka bukan orang percaya sejati. Hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa yang akan diizinkan masuk ke dalam kerajaan surga—yang Yesus definisikan sebagai dimulai dengan iman sejati (Yohanes 6:28–29). Perbuatan baik kita mungkin menipu orang lain, dan bahkan mungkin menipu diri kita sendiri, tetapi perbuatan baik tidak dapat menipu Tuhan.

Ayat-ayat ini sangat menantang, dan menjadi pokok perdebatan. Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya adalah kasih karunia melalui iman, dan tidak diperoleh melalui perbuatan baik (Titus 3:5; Galatia 2:16; Roma 11:6; Yohanes 6:28–29). Alkitab juga mengingatkan orang percaya bahwa semua orang—bahkan mereka yang telah lahir baru—memiliki dosa yang perlu ditangani (1 Yohanes 1:9–10; Ibrani 4:14–16). Akan tetapi, Firman Tuhan juga menunjukkan bahwa mereka yang benar-benar telah lahir baru akan melihat keselamatan tercermin dalam sikap dan tindakan mereka (Yakobus 2:14–17; Yohanes 14:15). Ketegangan serupa terjadi dalam bagian ini—menekankan bahwa Kristus, bukan perbuatan, yang menyelamatkan (Yohanes 14:6), namun ketundukan kepada Kristus adalah hasil yang diharapkan dari keselamatan (Lukas 6:46).

Meskipun ayat ini sering disalahartikan oleh mereka yang mengklaim bahwa perbuatan baik diperlukan untuk diselamatkan, pernyataan Yesus berikutnya menghancurkan penafsiran itu. Bahkan, mereka yang terutama mendefinisikan iman mereka dengan apa yang telah mereka lakukan bagi Tuhan telah menaruh iman mereka pada sesuatu selain Kristus (Matius 7:22–23). Dalam beberapa ayat ini, Yesus secara eksplisit menjelaskan bahwa melakukan kehendak Tuhan berarti sesuatu yang lebih dari sekadar tindakan—itu membutuhkan iman yang sejati.

Yesus memperingatkan para pendengar-Nya untuk berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu, Yesus menjelaskan dengan jelas bahwa orang lain dapat “berpura-pura” beriman dan menipu kita. Orang Kristen harus waspada terhadap para pemimpin palsu, dan orang lain yang mengaku mewakili Tuhan padahal sebenarnya tidak (Matius 7:15–20). Di sini, Ia juga memberikan sisi lain dari peringatan dua bagian ini: berhati-hatilah terhadap pengikut palsu. Secara khusus, Kristus memperingatkan mereka yang mendengarkan-Nya untuk tidak menipu diri mereka sendiri dengan berpikir bahwa mereka adalah orang percaya sejati, padahal sebenarnya tidak.

Yesus menyatakan bahwa tidak semua orang yang menyebut-Nya sebagai “Tuhan” akan masuk ke dalam kerajaan surga. Gelar “Tuhan” menyiratkan seorang tuan, pemimpin, dan seseorang yang kepadanya pembicara tunduk. Dalam pengajaran sebelumnya, Yesus menunjukkan bahwa kata-kata dan tindakan belaka tidaklah cukup—semua itu harus dimotivasi oleh ketulusan dan kebenaran (Matius 6:1, 5, 16). Dengan cara yang sama, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa sekadar menyebut-Nya sebagai Tuhan tidaklah cukup. Begitu pula tindakan yang dianggap benar. Masuk ke dalam kerajaan surga terbatas pada mereka yang benar-benar, sepenuhnya melakukan kehendak Bapa-Nya di surga (2 Korintus 13:5). Itu dimulai dengan iman yang tulus kepada Kristus (Yohanes 6:28–29) dan meluas hingga kerendahan hati dalam cara kita menjalani hidup (Yohanes 14:15).

Untuk pertama kalinya dalam khotbah ini, Yesus menyebut Allah sebagai “Bapa-Ku.” Yesus Sendiri melakukan kehendak Bapa-Nya di surga. Mereka yang benar-benar mengikuti-Nya akan melakukan hal yang sama.

Baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus mengajarkan bahwa kedatangan Yesus di bumi berarti kerajaan surga sudah dekat (Matius 3:1–2; 4:17). Ini adalah kerajaan Kristus yang kekal, yang akan dimulai di hati semua orang yang benar-benar milik-Nya (Yeremia 31:31–33; Ibrani 8:6–7). Ini pada akhirnya akan menjadi kerajaan yang benar dan politis di mana kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga (Wahyu 20:4–6). Hanya mereka yang datang kepada Bapa melalui iman sejati kepada Kristus yang akan menjadi warga kerajaan itu selamanya. Lalu apa itu “iman sejati”? Apa tanda orang percaya?

Dalam kehidupan Kristen, ada dua ekstrem yang harus diwaspadai:

  • Antinomianisme — pandangan yang menolak hukum Tuhan; hidup dalam dosa seolah-olah kasih karunia Tuhan membenarkan segala sesuatu.
  • Prononomianisme — keinginan berlebihan untuk menuruti hukum; mengukur iman berdasarkan ketaatan lahiriah dan peraturan yang diikuti.

Kalimat yang tajam namun benar ini menangkap realita yang penting:

“Sementara antinomianisme adalah tanda orang yang tidak percaya, prononomianisme belum tentu tanda orang yang percaya.”

Mengapa demikian?

Karena ketidaktaatan yang disengaja terhadap hukum Allah menandakan hati yang belum diperbarui. Namun ketaatan terhadap hukum belum tentu berasal dari iman yang sejati. Banyak orang taat, tapi taat tanpa kasih. Banyak orang disiplin, tapi tanpa mengenal Kristus.

Iman yang Menghasilkan Ketaatan

Alkitab jelas bahwa iman sejati menghasilkan buah. Yakobus 2:26 mengatakan, “Iman tanpa perbuatan adalah mati.” Iman yang menyelamatkan bukanlah sekadar pengetahuan, melainkan keyakinan dan kasih yang menuntun pada perubahan hidup.

Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15).

Ketaatan bukan penyebab keselamatan—tetapi bukti dari kasih karunia yang telah bekerja.

Karena itu, antinomianisme—hidup tanpa pertobatan, tanpa ketaatan—adalah tanda bahwa seseorang belum mengalami kelahiran baru. Orang yang lahir baru tidak sempurna, tapi hatinya tidak tenang jika tinggal dalam dosa.

Bahaya Penipuan Rohani: Prononomianisme

Namun di sisi lain, ketaatan bukanlah bukti pasti dari iman yang sejati. Inilah mengapa prononomianisme—kecintaan terhadap hukum dan ketaatan lahiriah—belum tentu merupakan tanda keselamatan. Itu yang disinggung dalam ayat pembukaan di atas.

Yesus menegur orang-orang yang tampak religius, tetapi hatinya jauh dari Allah. Dalam Matius 23:27 Ia berkata:

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.”

Orang Farisi adalah contoh sempurna dari prononomianisme. Mereka taat luar biasa. Mereka puasa, memberi persepuluhan, berdoa panjang-panjang. Tapi mereka tidak mengenal Allah.

Ketaatan tanpa kasih adalah kebisingan kosong. Ketaatan tanpa iman adalah keangkuhan rohani. Bahkan Paulus berkata dalam 1 Korintus 13:3:

“Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku… tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.”

Mengapa Ini Penting?

Di zaman sekarang, kita bisa melihat dua tipe orang dalam gereja:

Orang yang merasa aman karena mereka “baik” dan taat pada aturan gereja. Mereka mungkin aktif di pelayanan, menjauhi dosa besar, dan tampak saleh. Tapi jika hati mereka belum bertemu Yesus secara pribadi, mereka seperti daun yang hijau tanpa akar.

Orang yang merasa bebas karena “kasih karunia.” Mereka berkata, “Tuhan mengampuni semuanya,” lalu hidup seolah-olah tidak ada standar moral. Mereka menolak disiplin rohani dan menyebutnya legalisme.

Keduanya keliru.

Yesus tidak datang hanya untuk mengubah perilaku kita, tetapi untuk mengubah hati kita. Hati yang diperbarui oleh kasih karunia akan menghasilkan kehidupan yang taat dan rendah hati—bukan karena takut dihukum, tetapi karena mengasihi Tuhan.

Ketaatan yang Benar

Apa itu ketaatan yang lahir dari iman?

Ketaatan yang lahir dari kasih, bukan rasa takut. Ketaatan yang lahir dari keinginan untuk menyenangkan Tuhan, bukan untuk memperoleh pujian manusia atau sekadar menaati aturan gereja. Ketaatan yang berakar dalam relasi dengan Tuhan, bukan dalam ritual. Ketaatan yang berjalan dalam kerendahan hati, bukan dalam kesombongan rohani.

Yesus berkata dalam Yohanes 15:5:

“Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak.”

Buah itulah ketaatan. Tetapi akar dari buah itu adalah tinggal di dalam Kristus.

Pertanyaan untuk Refleksi Pribadi:

Apakah saya menganggap diri saya benar karena perbuatan saya, atau karena anugerah Kristus? Apakah ketaatan saya lahir dari kasih kepada Allah, atau dari kebiasaan dan tradisi? Apakah saya merasa “aman” dalam gereja hanya karena saya mengikuti aturan? Apakah saya pernah mengabaikan perintah Tuhan karena berpikir kasih karunia membebaskan saya dari tanggung jawab? Apakah saya melihat perubahan hati dan kerinduan untuk taat karena saya telah mengenal Kristus secara pribadi?

Doa Penutup:

Tuhan yang penuh kasih karunia, aku mengakui bahwa aku mudah jatuh ke dalam dua ekstrem: kadang aku mengabaikan hukum-Mu, dan kadang aku membanggakan ketaatanku sendiri. Ampunilah aku, ya Tuhan.

Aku tidak ingin menjadi seperti orang Farisi yang taat tapi tidak mengenal-Mu. Aku juga tidak ingin hidup dalam kebebasan palsu yang menolak kekudusan-Mu. Berikan aku hati yang baru—hati yang rindu untuk menyenangkan Engkau karena kasih, bukan karena takut.

Ajarku untuk taat bukan sebagai beban, tetapi sebagai bentuk sukacita karena aku telah diselamatkan oleh kasih karunia-Mu. Biarlah ketaatanku menjadi buah dari iman yang hidup.

Yesus, aku percaya kepada-Mu. Biarlah hidupku menjadi bukti bahwa Engkau hidup di dalam aku.

Dalam nama-Mu yang kudus aku berdoa,

Amin.

Tinggalkan komentar