“Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.” Yesaya 64:6

Kita semua pernah bertanya dalam hati: “Apakah aku cukup baik di hadapan Allah?” Pertanyaan ini muncul saat kita gagal, saat kita membandingkan diri dengan orang lain, atau saat suara-suara rohani membuat kita merasa harus terus-menerus membuktikan diri. Entah kita dibesarkan dalam lingkungan gereja yang penuh aturan, atau hanya merasa terbeban secara rohani, pertanyaan ini membayangi banyak orang percaya. Dan ini membuat kita tertekan.
Namun, bisa jadi pertanyaannya sendiri perlu dikoreksi. Pertanyaan “Seberapa baik cukup baik?” mengasumsikan bahwa Allah menilai kita berdasarkan skala tertentu—bahwa ada garis tak terlihat yang memisahkan orang yang diterima dari yang ditolak-Nya. Ini menggambarkan Allah sebagai penguji yang menunggu kita memenuhi standar-Nya atau gagal dan ditolak. Namun, Alkitab menceritakan kisah yang berbeda:
“Tidak ada yang benar, seorang pun tidak.” Roma 3:10
“Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Roma 3:23
Jika keselamatan bergantung pada “cukup baik”-nya kita, tak satu pun dari kita yang akan lolos. Bahkan perbuatan terbaik dari kita pun masih ternoda oleh kesombongan, ketakutan, atau motivasi tersembunyi.
Ayat di atas sering digunakan sebagai teks pembuktian untuk mengutuk semua perbuatan baik kita sebagai “kain kotor” di mata Tuhan. Konteks bagian ini secara khusus merujuk kepada orang Israel pada zaman Yesaya (760—670 SM) yang telah menyimpang dari Tuhan. Yesaya menulis tentang bangsanya dan kemunafikan mereka. Namun, ia juga memasukkan dirinya sendiri dalam deskripsi itu, dengan mengatakan “kita” dan “milik kita.” Yesaya ditebus dan dipisahkan sebagai nabi Tuhan, tetapi ia melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok yang sepenuhnya berdosa. Doktrin tentang kerusakan total diajarkan dengan jelas di bagian lain Kitab Suci (misalnya, Efesus 2:1-5), dan ilustrasi Yesaya 64:6 dapat dengan tepat diterapkan ke seluruh dunia, terutama mengingat Yesaya memasukkan dirinya sendiri dalam deskripsi tersebut. Jadi, memang semua orang di dunia adalah orang yang kotor di hadapan Allah.
Ketika Yesaya menulis ini, orang Israel telah menerima banyak berkat ajaib dari Tuhan. Namun, mereka telah berpaling dari-Nya dengan menyembah dewa-dewa palsu (Yesaya 42:17), mempersembahkan korban dan membakar dupa di altar-altar asing (Yesaya 65:3-5). Yesaya bahkan menyebut Yerusalem sebagai pelacur dan membandingkannya dengan Sodom (Yesaya 3:9). Orang-orang ini memiliki ilusi tentang kebenaran diri mereka sendiri. Namun, Allah tidak menganggap tindakan kebenaran mereka sebagai apa pun selain “pakaian yang tercemar” atau “kain yang kotor.”
Kemurtadan mereka, atau menjauh dari hukum Allah, telah membuat pekerjaan kebenaran mereka menjadi najis sama sekali. Martin Luther berkata, “Dosa yang paling terkutuk dan merusak yang pernah mengganggu pikiran manusia adalah bahwa entah bagaimana ia dapat membuat dirinya cukup baik untuk layak hidup selamanya dengan Allah yang mahakudus.”
Perlu dicatat, meskipun kebenaran diri dikutuk di seluruh Alkitab (Yehezkiel 33:13; Roma 3:27; Titus 3:5), kita, pada kenyataannya, diperintahkan untuk melakukan perbuatan baik. Paulus menjelaskan bahwa kita tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi keselamatan kita hanya datang sebagai hasil dari kasih karunia Allah (Efesus 2:8-9). Kemudian ia menyatakan bahwa “kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10; lihat juga 2 Korintus 3:5).
Keselamatan kita bukanlah hasil dari usaha, kemampuan, pilihan cerdas, karakteristik pribadi, atau tindakan pelayanan yang mungkin kita lakukan. Kita juga bukan diselamatkan karena kita lebih baik dari orang lain. Namun, sebagai orang percaya, kita “diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik”—untuk menolong dan melayani orang lain. Meskipun tidak ada yang dapat kita lakukan untuk memperoleh keselamatan, maksud Allah adalah bahwa keselamatan kita akan menghasilkan tindakan pelayanan. Kita diselamatkan bukan hanya untuk kepentingan kita sendiri, tetapi untuk melayani Kristus dan membangun jemaat (Efesus 4:12). Perbuatan kita yang benar tidak menghasilkan keselamatan, tetapi sebenarnya merupakan bukti keselamatan kita (Yakobus 1:22; 2:14–26).
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa perbuatan kita yang benar pun merupakan karya Tuhan di dalam diri kita, bukan dari diri kita sendiri. Dengan sendirinya, “kebenaran” kita hanyalah pembenaran diri sendiri, dan agama yang sia-sia dan munafik tidak menghasilkan apa pun selain “kain kotor”.
Allah tidak meminta kita untuk mengesankan-Nya dengan kebaikan kita. Ia memanggil kita untuk percaya kepada-Nya dengan keterbatasan kita. Dia tidak menuntut catatan hidup yang sempurna. Dia menawarkan Juruselamat yang sempurna.
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Efesus 2:8–9
Banyak orang yang hidup dalam iman yang berbasis kinerja pada akhirnya merasa lelah. Beberapa orang mungkin menjauh bukan karena menolak Allah, tetapi karena mereka dibesarkan untuk mengenal versi Allah yang salah—Allah yang hanya mengasihi orang yang banyak berbuat baik. Dan persan ini sering muncul dalam beberapa gereja.
Kasih Allah tidak tergantung pada seberapa baik Anda tampil. Anda diundang bukan karena Anda “cukup baik” tetapi karena Yesus adalah sempurna untuk Anda. Iman bukan tentang kesempurnaan, tapi kepercayaan kepada Dia yang Mahasempurna. Iman bukanlah tentang menjadi manusia tanpa cela. Iman adalah tentang mengakui kebutuhan kita dan bersandar pada belas kasih Allah. Ingatlah pemungut cukai dalam Lukas 18:13, yang bahkan tak berani menatap ke langit, hanya berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Yesus berkata bahwa orang inilah—bukan orang Farisi yang sok suci—yang pulang dengan dibenarkan.
Seberapa baik untuk cukup baik bagi Allah? Jawabannya: hanya kesempurnaan saja yang cukup. Dan dalam hal ini. hanya Yesus yang sempurna. Kabar baiknya, Dia memberikan kesempurnaan-Nya sebagai anugerah. Di salib, Yesus menanggung dosa kita dan memberikan kebenaran-Nya. Itu bukan soal pengadilan manusia—itu adalah kasih karunia dari Tuhan kepada manusia.
“Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata..” Titus 2:11
Banyak orang berpikir bahwa untuk hidup kudus, kita harus lebih dulu membuktikan diri kepada Tuhan — menunjukkan ketaatan, kesetiaan, dan pengorbanan — barulah Tuhan memberi anugerah-Nya. Tapi Injil berkata sebaliknya: Kita hidup kudus karena anugerah Allah, bukan agar kita layak menerima anugerah-Nya. Dalam Alkitab, urutan antara anugerah dan kekudusan selalu jelas: Tuhan memberi kita anugerah terlebih dahulu, baru kita dipanggil untuk hidup kudus. Allah membebaskan Israel dari Mesir terlebih dahulu — bukan karena mereka taat, tapi karena kasih dan janji-Nya. Setelah itu barulah Ia memberikan Hukum Taurat. Yesus mengampuni perempuan yang berzinah terlebih dahulu, baru Ia memanggilnya untuk meninggalkan dosa. Tidak sebaliknya.
Jika kita berpikir harus hidup benar dulu agar Tuhan mengasihi kita, kita akan jatuh ke dalam legalisme, Kita akan kecewa, karena tidak pernah merasa cukup; kita akan bermegah dalam perbuatan, bukan bersyukur atas kasih. Tetapi bila kita menerima anugerah terlebih dahulu, kita akan taat karena bersyukur, dan hidup suci karena kasih, bukan karena takut dihukum; berubah bukan karena terpaksa, tetapi karena Roh Kudus yang bekerja di dalam kita.
“Karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” 1 Korintus 15:10
Kekudusan bukanlah akar keselamatan, tetapi buah dari keselamatan. Tanpa kasih karunia, kita tidak bisa berubah. Tanpa Roh Kudus, semua usaha kita hanya seperti daun-daun kering. Anda tidak harus hidup sempurna dulu supaya Tuhan mengasihi Anda. Dia sudah mengasihi Anda di dalam Kristus. Dari kasih itulah, kekudusan bisa mengalir ke luar.
Pertanyaan untuk Refleksi Pribadi:
- Apakah saya masih berusaha mendapatkan penerimaan Allah lewat perbuatan saya?
- Apa yang saya rasakan saat gagal—malu, takut, atau berserah?
- Dapatkah saya percaya bahwa kasih Allah tidak naik turun tergantung pada performa saya?
Doa Penutup:
Bapa, aku datang kepada-Mu bukan sebagai orang yang cukup baik, tetapi sebagai orang yang sangat membutuhkan-Mu. Terima kasih karena kasih-Mu tidak bergantung pada penampilanku, tetapi pada kasih karunia-Mu. Ajarlah aku untuk merasakan damai di dalam karya Yesus yang sudah selesai. Bebaskan aku dari rasa takut, rasa malu, dan usaha yang sia-sia. Biarlah ketaatanku lahir dari kasih, bukan tekanan.
Dulu, aku sering berpikir bahwa aku harus membuktikan diriku terlebih dahulu baru Engkau akan mengasihiku. Tapi kini aku tahu, Engkau telah lebih dulu mengasihiku dalam Yesus Kristus. Ajarku untuk hidup kudus bukan karena takut akan hukuman, tapi karena bersyukur atas anugerah-Mu yang tak ternilai. Ajarlah aku untuk percaya kepada-Mu lebih dari aku percaya pada diriku sendiri. Dalam nama Yesus, Amin.