Dua Kitab, Satu Kebenaran: Ketika Alkitab dan Sains Tidak Bersaing

“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Mazmur 19:1

Pada awal tahun 1980-an, ketika saya memulai karier sebagai insinyur dan ilmuwan material, saya sampai pada satu keyakinan: Alkitab bukan buku sains—dan itu bukan masalah. Tuhan tidak pernah bermaksud menjadikannya buku sains. Sejak halaman pertamanya, Alkitab berbicara tentang kebenaran yang jauh lebih dalam daripada rumus atau garis waktu. Alkitab berbicara tentang tujuan, perjanjian, dosa dan anugerah, dan tentang Allah yang menciptakan segala sesuatu bukan hanya dengan kuasa, tetapi juga dengan kasih. Keyakinan ini semakin menguat seiring waktu.

Namun saya menyadari bahwa tidak semua orang Kristen melihat hal ini sama. Beberapa orang tidak akan pernah menerima pemisahan antara Alkitab dan sains. Mereka merasa bahwa jika Alkitab adalah Firman Allah, maka harus akurat dalam semua bidang—rohani, sejarah, dan ilmiah. Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian misalnya, mereka percaya terjadi dalam 6 hari, 6 x 24 jam. Bagi mereka, menyatakan bahwa sains bisa berdiri berdampingan dengan Kitab Suci sebagai sumber pengetahuan yang sah terdengar seperti kompromi. Seperti menyerah pada sekularisme. Tapi saya percaya itu bukan kompromi.

Pada tahun 1997, seorang paleontolog bernama Stephen Jay Gould mempopulerkan model yang ia sebut NOMA—Non-Overlapping Magisteria. Menurut NOMA, sains dan agama bekerja di ranah otoritas yang berbeda: sains menjelaskan dunia alam, agama menyampaikan makna, nilai, dan kebenaran moral. Menariknya, Gould mengaku terinspirasi sebagian oleh Kurt Wise, seorang kreasionis muda yang, meskipun menolak evolusi, menghargai metode ilmiah dan wilayahnya sendiri.

Namun, NOMA bukan gagasan baru. Jauh sebelum Gould, para pemikir Kristen besar sudah menyuarakan prinsip yang sama:

  • Agustinus, pada abad ke-4, memperingatkan orang percaya agar tidak mempermalukan Kitab Suci dengan memaksanya bertentangan dengan fakta nyata.
  • Galileo terkenal berkata, “Alkitab mengajarkan kita bagaimana menuju surga, bukan bagaimana langit bergerak.”
  • John Calvin mengajarkan bahwa Allah menyampaikan wahyu-Nya dengan cara yang “diakomodasi” pada keterbatasan manusia—berbicara bukan dalam detail ilmiah, tetapi dalam bahasa yang bisa kita pahami.

Singkatnya, banyak orang Kristen telah lama percaya bahwa Allah berbicara melalui dua kitab: Kitab Wahyu Allah dan Kitab Alam Ciptaan Allah. Keduanya tidak bertentangan—tetapi tidak dalam genre yang sama.

Otoritas Alkitab Terletak pada Pesannya, Bukan pada Mekanismenya

Alkitab menyatakan rencana penebusan Allah. Alkitab adalah firman yang diilhami, berotoritas, dan dapat dipercaya—tetapi kita harus bertanya: Jenis kebenaran apa yang disampaikan Allah? Kejadian 1 tidak menjelaskan astrofisika; itu menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta. Mazmur 104 bukanlah biologi; itu adalah pujian. Injil bukan jurnal medis; melainkan pengumuman bahwa kerajaan Allah telah datang di dalam Yesus Kristus.

Sementara itu, sains adalah anugerah Tuhan. Sains mempelajari bagaimana ciptaan Allah bekerja menurut hukum tertentu, sedangkan Alkitab mengungkapkan mengapa semua itu ada.

Saya percaya bahwa mencoba memaksa Alkitab menjadi buku sains justru merugikan iman maupun sains. Itu membebani ayat dengan tugas yang bukan miliknya, dan memperlakukan dunia ciptaan Tuhan seolah tidak mampu bersuara sendiri.

Mengapa Sebagian Orang Kristen Menolak Ini

Banyak orang percaya takut bahwa mengakui independensi sains akan melemahkan otoritas Alkitab. Tapi ironisnya, mempertahankan Kitab Suci dengan mengikatnya pada klaim ilmiah yang diperdebatkan justru membuatnya lebih rentan—bukan lebih kuat. Ketika model ilmiah berubah (sebagaimana biasanya), iman yang dibangun di atas model itu bisa runtuh.

Orang yang lain mungkin didorong oleh kasih yang tulus pada Firman Tuhan. Mereka ingin membela kebenarannya dengan segala cara. Keinginan itu mulia. Tapi kita harus ingat: Kebenaran tidak takut diselidiki. Jika Tuhan menciptakan dunia alam, maka eksplorasi ilmiah yang jujur tidak akan pernah menghancurkan kenyataan bahwa Dialah Penciptanya.

Sains Bukan Musuh. Sains adalah Pelayan.

Sebagai insinyur, saya telah menghabiskan puluhan tahun di berbagai negara mengamati kompleksitas, keindahan, dan keteraturan dalam material, proses, dan sistem. Tak satu pun dari itu mengurangi kekaguman saya kepada Allah—justru memperdalamnya. Sains tidak menjelaskan pencipta sebagai pengganti Allah; ia memberi kita bahasa untuk menghargai karya tangan-Nya.

Meminjam dari Mazmur 19:

“Langit menceritakan kemuliaan Allah… hari yang satu mengisahkan kepada hari yang lain.”

Alam tidak diam. Ia bersaksi tentang kebesaran Allah.

Ilmuwan bukan pengganti nabi. Tapi nabi juga tidak boleh membungkam ilmuwan. Mereka bukan musuh, melainkan saksi bersama—masing-masing bersaksi dengan suaranya sendiri tentang kebesaran Allah.

Pertanyaan Refleksi:

  • Pernahkah saya merasa ada ketegangan antara sains dan iman saya?
  • Dari mana ketegangan itu berasal?
  • Apakah saya pernah berharap Alkitab menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan tujuannya?
  • Bagaimana saya bisa menghormati baik Kitab Suci maupun kebenaran ilmiah dalam percakapan saya—terutama dengan orang-orang skeptis?

Doa Penutup:

Tuhan, Engkaulah pencipta Firman dan dunia. Tolong aku menerima keduanya dengan kerendahan hati, kekaguman, dan iman.

Berikan aku hikmat untuk mengerti apa yang sungguh-sungguh ingin Engkau sampaikan—dan keberanian untuk menerima kebenaran di mana pun aku menemukannya, karena semua kebenaran berasal dari-Mu. Amin.

Tinggalkan komentar