” Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain…” Lukas 18:11

Baru-baru ini, seorang teman saya mengirim pesan ini:
“Perbedaan pandangan teologi kita bukanlah tentang siapa yang benar. Ini tentang apakah Anda bisa menaruh iman dan ketaatan pada Firman Tuhan.”
Sepintas, ini terdengar rendah hati dan rohani. Tapi, pernyataan ini mungkin membawa implikasi tersembunyi:
“Akulah yang taat. Akulah yang menaruh iman dengan benar. Yang lain belum tentu.”
Mengapa begitu?
Dalam perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai, kita melihat dua orang yang datang ke Bait Allah. Yang satu taat secara lahiriah, mengenal Kitab Suci dengan baik, dan yakin akan kebenarannya. Yang lain hancur, tidak yakin, dan hanya memohon belas kasihan. Hanya satu dari mereka yang pulang dibenarkan — dan itu bukan orang yang “taat.”
Pelajaran ini seharusnya membuat kita merenung, terutama ketika kita berbicara tentang ketaatan kepada Firman Tuhan.
Ketaatan Memerlukan Penafsiran
Untuk “taat pada Firman Tuhan,” seseorang harus terlebih dahulu yakin bahwa ia memahami Firman itu dengan benar. Artinya, secara tidak langsung — atau bahkan langsung — kita membuat penilaian:
“Saya tahu apa yang Tuhan kehendaki.”
Dan jika kita berpikir orang lain tidak setia atau sesat, kita juga mengklaim — secara halus — bahwa kita lebih benar. Maka pernyataan seperti “bukan soal siapa yang benar” menjadi kontradiktif. Seolah-olah merendah, tapi berdiri di atas keyakinan teologis yang kokoh.
Itulah yang dilakukan oleh orang Farisi. Ia bersyukur kepada Allah — tetapi untuk apa?
“Bahwa saya tidak seperti orang lain.”
“Bahwa saya berpuasa, membayar perpuluhan, menaati hukum…”
Dalam pikirannya, ketaatan adalah bukti bahwa dia benar.
Kasih Karunia Tidak Dimulai dari Kita
Injil membalik logika ini. Pemungut cukai tidak punya apa-apa untuk dipersembahkan. Tidak ada klaim ketaatan, tidak ada kepercayaan pada pemahamannya akan Taurat, tidak ada pembenaran diri.
Hanya ini:
“Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.”
Yesus berkata, orang inilah yang pulang dibenarkan.
Injil tidak berkata, “Engkau dibenarkan karena taat dengan benar.”
Melainkan: “Engkau taat karena telah dibenarkan oleh kasih karunia.”
Memang iman itu penting. Ketaatan itu juga penting. Tapi besarnya iman dan ketaatan bukanlah dasar keselamatan — dan tidak pernah menjadi alasan untuk membanggakan diri. Dasar keselamatan adalah karunia Allah – Sola Gratia.
Perangkap Farisi di Masa Kini
Sangat mudah terjebak dalam perangkap orang Farisi, terutama dalam diskusi teologi. Kita mungkin berbicara tentang “iman dan ketaatan” sambil diam-diam merasa lebih unggul. Kita mungkin berkata, “Bukan soal siapa yang benar,” tapi dalam hati kita percaya bahwa kitalah yang benar.
Ini bukan soal satu denominasi saja. Orang Reformed, Pentakosta, Katolik, dan lainnya — semua bisa tergoda menjadikan pemahaman mereka sebagai sumber kesombongan rohani. Tapi Injil memanggil kita kembali pada kerendahan hati — bukan kebodohan, tapi ketergantungan pada kasih karunia.
Pertanyaan Refleksi:
- Apakah saya pernah memakai istilah “iman dan ketaatan” untuk menyiratkan bahwa saya lebih benar dari orang lain?
- Apakah saya benar-benar percaya pada belas kasihan Kristus — atau pada keakuratan doktrin dan gaya hidup saya?
- Bagaimana saya bisa membicarakan kebenaran dan ketaatan tanpa terjebak dalam kesombongan rohani?
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.” Efesus 2:8
Doa Penutup:
Ya Tuhan. Aku percaya dan berusaha untuk taat kepada-Mu. Tetapi, aku mengaku bahwa aku sebenarnya adalah orang yang berdosa yang tidak layak menerima keselamatan dari-Mu.
Hanya karena karunia-Mu aku dibenarkan, dan itu tidak ada hubungannya dengan usahaku untuk taat kepada-Mu. Aku berusaha taat bukan untuk bisa selamat, tetapi karena aku bersyukur atas kasih dan karunia-Mu. Ajarlah aku agar tetap bisa rendah hati sekalipun Engkau sudah memilih aku untuk menjadi umat-Mu.
Dalam nama Yesus Kristus. Amin.