Menilai: Bukan Menghakimi

“Apakah ada seorang di antara kamu, yang jika berselisih dengan orang lain, berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar, dan bukan pada orang-orang kudus?” 1 Korintus 6:1

Di zaman ini, kasus dituntut dan menuntut adalah biasa. Karena tersinggung, seseorang bisa menuntut orang lain. Karena merasa dirugikan orang memperkarakan orang lain, dan ini juga terjadi di antara orang-orang percaya. 1 Korintus 6:1–11 merinci keberatan Paulus terhadap orang Kristen yang membawa saudara seiman ke pengadilan sekuler atas masalah-masalah kecil. Mengapa begitu? Mereka seharusnya mampu menghakimi perselisihan kecil di antara mereka sendiri. Akan lebih baik bagi orang percaya untuk mengalah daripada meminta orang yang tidak percaya untuk menyelesaikan perselisihan di antara saudara-saudara di dalam Kristus.

Memang melakukan gugatan hulum merupakan praktik yang umum dan sering terjadi pada segala masa. Hal itu tidak selalu adil. Pada umumnya, orang kaya atau yang memiliki koneksi baik di masyarakat memiliki keuntungan dibandingkan yang lain. Penyuapan hakim dan juri merupakan hal yang umum di berbagai negara. Dalam hampir semua kasus, kedua belah pihak akan saling menyerang karakter masing-masing serta memperjuangkan kebenaran posisi mereka. Tak pelak, mereka yang menggugat dan yang digugat bisa menjadi musuh besar.

Paulus tidak mengajarkan bahwa seorang Kristen tidak boleh tunduk pada otoritas pengadilan manusia. Ia mengajarkan kebalikan dari hal itu dalam Roma 13:1. Orang Kristen hidup di bawah hukum negara. Tetapi, ayat-ayat di atas membahas gugatan perdata, bukan kasus pidana. Ia juga tidak bermaksud bahwa orang Kristen tidak boleh, dalam keadaan apa pun, mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap seseorang yang mengaku sebagai orang percaya, Pernyataannya tentang “kasus-kasus sepele” di ayat berikutnya menyiratkan bahwa beberapa masalah lain, seperti masalah pidana, mungkin memerlukan keterlibatan pengadilan.

Paulus menganggapnya sebagai tragedi bahwa rekan seiman di dalam Kristus menempatkan diri mereka dalam posisi seperti itu. Sungguh memalukan bagi saudara-saudari di dalam Kristus untuk mengajukan banding kepada hakim yang tidak benar dan tidak percaya, alih-alih kepada sesama orang Kristen yang telah lahir baru. Lebih lagi, sangat mennyedihkan jika sesama orang percaya menjadi orang-orang yang saling membenci dan bukannya orang-orang yang saling mengasihi.

Seperti yang dilakukannya di seluruh surat ini, Paulus akan mendesak orang-orang Kristen ini untuk berhenti hidup seolah-olah mereka hanyalah warga negara dari budaya mereka sendiri, dan sebaliknya untuk hidup sesuai dengan siapa mereka di dalam Kristus saat ini dan siapa mereka nantinya di dalam Kristus di surga.

Lalu bagaimana jika kita merasa bahwa orang lain telah melakukan hal yang buruk kepada kita atau orang lain? Sebagai orang Kristen, kita memang sering berada di antara dua kutub yang kelihatannya berlawanan. Di satu sisi, kita dipanggil untuk memiliki hikmat, menilai dengan benar, dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Di sisi lain, kita juga dipanggil untuk tidak menghakimi, tidak merasa diri lebih benar, dan tidak cepat-cepat mencela orang lain atau berusaha membalas dendam.

Namun, sering kali garis pemisah antara “menilai dengan hikmat” dan “menghakimi dengan sikap menghakimi” sangat tipis dan kabur. Apa yang membuat kita mudah jatuh ke dalam sikap yang salah? Bagaimana kita bisa menilai dengan bijak tanpa menjadi orang yang suka menghakimi?

1. Yesus Melarang Penghakiman yang Munafik

Yesus berkata, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” (Matius 7:1)

Tapi di bagian lain, Ia juga berkata, “Hakimilah dengan adil dan benar, bukan menurut apa yang tampak di depan mata.” (Yohanes 7:24)

Apa maksudnya?

Yesus bukan melarang kita menggunakan akal budi atau membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Ia melarang sikap menghakimi — yaitu kecenderungan untuk merasa diri lebih benar, mencela orang lain tanpa kasih, dan menempatkan diri sebagai hakim yang berhak menjatuhkan vonis.

Orang Farisi di zaman Yesus senang mencari-cari kesalahan orang lain, sambil mengabaikan dosa mereka sendiri. Mereka bukan hanya menilai perbuatan; mereka menghakimi hati orang lain dan mempermalukan mereka di hadapan publik.

Yesus tidak membenarkan sikap seperti itu.

2. Mengapa Kita Harus Menilai Dengan Hikmat?

Dalam dunia yang semakin kabur batas antara benar dan salah, kita tidak bisa menutup mata dan tidak peduli, serta berkata, “Aku tidak mau menilai.”

Kita harus menilai dengan doktrin dan ajaran Kristen, supaya kita tidak tersesat. Kita harus menilai tindakan orang lain, supaya kita bisa menegur dalam kasih. Kita harus menilai keputusan kita, supaya kita tidak jatuh dalam dosa.

Rasul Paulus berkata, “Orang rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain.” (1 Korintus 2:15)

Artinya, kita memang dipanggil untuk memiliki penilaian yang bijak. Tapi ada caranya.

3. Apa Bedanya Menilai Dengan Menghakimi?

Menilai dilakukan dengan hikmat:

  • berdasarkan kasih dan kebenaran;
  • bertujuan memperbaiki dan membangun;
  • memeriksa diri sendiri terlebih dahulu;
  • melihat fakta dan kebenaran; dan
  • bersedia mengampuni.

Menghakimi dengan sikap menghakimi:

  • berdasarkan kebencian atau kesombongan;
  • bertujuan merendahkan dan mencela;
  • cepat menuduh tanpa refleksi diri;
  • berdasarkan prasangka dan asumsi,
  • enggan mengampuni; dan
  • menyimpan dendam.

Yesus mengajarkan bahwa sebelum kita menegur orang lain, kita harus memeriksa diri kita sendiri. “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:3)

Sikap menghakimi seringkali berakar pada kebutaan rohani — kita begitu sibuk melihat dosa orang lain, tetapi buta terhadap kelemahan kita sendiri.

4. Bagaimana Menilai Tanpa Menghakimi?

a) Mulailah Dengan Doa

Mintalah hikmat dari Tuhan sebelum Anda menilai atau berbicara. Jangan terburu-buru. Yakobus 1:5 berkata, “Jika di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah.”

b) Periksa Hati Anda

Apa motivasi Anda? Apakah Anda ingin menolong atau sekadar menunjukkan kesalahan orang lain?

c) Bersedia Ditegur

Sebelum Anda menegur orang lain, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya juga siap menerima teguran? Orang yang menilai dengan bijak tidak takut dikoreksi.

d) Bicaralah Dengan Kasih

Efesus 4:15 berkata, “Katakanlah kebenaran dalam kasih.” Kebenaran tanpa kasih bisa menjadi pedang yang melukai. Tetapi kasih tanpa kebenaran bisa menjadi racun yang menyesatkan.

e) Fokus Pada Pemulihan, Bukan Penghukuman

Galatia 6:1 berkata, “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut.”

5. Yesus: Hakim Yang Adil Dan Penuh Kasih

Yesus adalah teladan sempurna dalam menilai tanpa menghakimi.

Ia menegur dosa wanita yang berzinah, tetapi juga berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” (Yohanes 8:11) Ia menegur keras orang Farisi, tetapi dengan tujuan supaya mereka bertobat. Ia menilai hati manusia, tetapi Ia datang bukan untuk menghukum dunia, melainkan untuk menyelamatkannya (Yohanes 3:17).

Jika Yesus, Hakim yang paling berhak, bersikap seperti itu, bagaimana dengan kita?

Renungan Refleksi:

  • Apakah saya sering menilai orang lain dengan cepat tanpa memeriksa hati saya sendiri?
  • Apakah saya lebih suka mengkritik daripada membangun?
  • Apakah saya berani berkata benar dalam kasih, bukan karena kesombongan?
  • Apakah saya meminta hikmat Tuhan sebelum saya berbicara atau menilai sesuatu?

Doa Penutup:

Ya Tuhan, ajarilah aku menilai dengan bijak tanpa menjadi orang yang menghakimi. Berilah aku hati yang penuh kasih, mata yang jernih, dan keberanian untuk berkata benar dalam kasih.bLindungilah aku dari kesombongan yang suka mencela, dan tuntunlah aku menjadi pembawa damai dan kebenaran. Dalam nama Yesus, Amin.

Tinggalkan komentar