Bermegah dalam Salib, Bukan dalam Diri Sendiri

“Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku.” 2 Korintus 11:30

Di zaman sekarang mungkin Anda merasa bahwa adalah umum jika orang merasa bangga atas apa yang sudah dicapainya dalam hidup, entah itu berupa kekayaan, ketenaran, kepandaian atau hal lain. Lebih dari itu malahan ada orang yang bangga sekalipun tidak melakukan hal apa pun untuk mencapai sesuatu, misalnya bangga karena mempunyai wajah yang rupawan, tubuh yang sehat, lahir dalam keluarga ningrat, atau terhitung sebagai keturunan bangsa yang unggul di dunia. Memang rasanya puas jika orang bisa membanggakan sesuatu dan membuat diri lebih tinggi dari yang lain.

Sebenarnya, rasa ingin bangga, bermegah, atau sombong itu sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa yang melanggar perintah Tuhan karena merasa tidak perlu taat kepada Tuhan. Kemudian, di Perjanjian Baru kita membaca tentang adanya rasul-rasul palsu yang sombong atas posisi dan kemampuan mereka. Tugas Paulus sebagai bapa rohani dari jemaat di Korintus adalah melindungi mereka dari dusta para rasul palsu.

Para penipu ini menyamar sebagai hamba kebenaran, sama seperti iblis menyamar sebagai malaikat terang. Paulus menyindir mereka yang sombong atas kemampuan duniawi yang mereka miliki. Berbeda dengan mereka, Paulus lebih banyak membanggakan cara ia menanggung penderitaan dalam pelayanannya kepada Kristus. 2 Korintus 11:16–33 memuat daftar panjang penderitaan yang dialami Paulus dalam pelayanannya kepada Kristus.

Paulus menyatakan sebelumnya di bagian ini bahwa ia akan “bermegah” sebagaimana lawan-lawannya, para rasul palsu di Korintus, akan bermegah untuk memuliakan diri mereka sendiri. Namun, “bermegah” Paulus hanya berupa daftar penderitaan yang telah ia alami dalam misinya untuk membawa Injil kepada orang-orang di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk mengejek para rasul palsu dengan nada sarkastis (2 Korintus 11:21, 23), dan itupun tidak bermaksud untuk mempromosikan diri. Karena budaya Korintus menghargai kekuatan dan kesuksesan di atas segalanya, kemegahan Paulus kemungkinan besar terdengar sangat aneh atau sebagai ejekan terhadap kemegahan sejati.

Sekarang ia mengklarifikasi apa yang telah ia lakukan. Jika ia akan bermegah, tulis Paulus, ia hanya akan bermegah atas hal-hal yang menunjukkan betapa lemahnya ia sebenarnya. Hal ini mungkin justru bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh jemaat Korintus. Mereka menginginkan seorang rasul yang, seperti para guru dusta yang tinggal di dekat mereka, tampak kuat, cakap, dan percaya diri. Sebaliknya, Paulus menggambarkan semua kelemahannya. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa kuatnya Allah melalui dirinya.

Dalam pengertian penduduk Korintus, penderitaan apa pun alasannya merupakan tanda kelemahan. Tetapi, dalam istilah Kristen, penderitaan adalah salah satu cara orang percaya mengidentifikasi diri dengan Kristus dan belajar bertumbuh dalam ketergantungan mereka kepada-Nya. Paulus telah mengatakan hal yang sama di awal suratnya kepada mereka, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan apa yang kuat, dan apa yang hina dan terhina bagi dunia, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang pun yang dapat memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Korintus 1:27–29).

Dalam dunia yang semakin menekankan pencapaian, kesuksesan, dan pengakuan diri, tidak jarang orang Kristen pun tergoda untuk berpikir bahwa iman adalah jalan menuju kenyamanan hidup. Ketika doa-doa dijawab, bisnis berjalan lancar, atau kesehatan terjaga, kita mungkin mulai merasa bahwa semua itu adalah ‘buah iman’ yang patut dibanggakan. Namun, kita harus berhati-hati. Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk bermegah dalam keberhasilan pribadi. Sebaliknya, segala sesuatu yang baik adalah pemberian Tuhan, bukan hasil usaha kita sendiri.

Bangga adalah perasaan yang muncul ketika seseorang merasa berhasil karena kekuatan atau usahanya sendiri. Namun sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa tidak ada yang benar-benar baik yang bisa kita capai tanpa Tuhan. Yesus sendiri berkata, “Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Iman yang sejati justru membawa kita kepada kerendahan hati—pengakuan bahwa semua berasal dari Allah dan untuk kemuliaan-Nya.

Rasul Paulus adalah contoh luar biasa dari kehidupan yang tidak membanggakan diri. Meski ia adalah rasul besar, berpendidikan tinggi, dan telah melakukan banyak pelayanan, Paulus dalam ayat di atas justru menyatakan bahwa jika ia harus bermegah, maka ia akan bermegah atas kelemahanku” Mengapa? Karena justru dalam kelemahan dan penderitaan, kasih karunia Tuhan menjadi nyata.

Dalam 2 Korintus 12, Paulus menceritakan tentang ‘duri dalam dagingnya’. Ia memohon tiga kali agar Tuhan mengambilnya, tetapi Tuhan menjawab: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Respon Paulus sangat menginspirasi: “Sebab itu aku senang di dalam kelemahan… Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Inilah kebenaran yang paradoksal dalam kekristenan: kita kuat bukan saat merasa mampu, tapi saat bersandar sepenuhnya pada Kristus.

Jika kita menderita karena iman, Alkitab berkata kita tidak perlu malu. 1 Petrus 4:16 menulis, “Tetapi jika ia menderita sebagai orang Kristen, janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” Kita dipanggil bukan untuk mencari kenyamanan dunia, melainkan untuk setia memikul salib. Yesus tidak menjanjikan jalan mudah, tetapi janji-Nya adalah penyertaan dalam setiap penderitaan.

Orang Kristen sejati tidak hidup dalam kebanggaan diri, tapi dalam ucapan syukur dan ketergantungan. Segala keberhasilan, baik jasmani maupun rohani, adalah anugerah. Karena itu, kita tidak membanggakan iman kita sebagai pencapaian pribadi. Kita tidak merasa lebih tinggi dari orang lain karena kita percaya. Justru sebaliknya, kita sadar bahwa iman adalah pemberian, bukan hasil kerja kita (Efesus 2:8–9).

Kita hanya boleh bermegah dalam salib Kristus. Galatia 6:14 berkata, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus.” Salib adalah lambang kasih, pengorbanan, dan ketaatan total. Salib mengingatkan kita bahwa segala berkat rohani dan keselamatan kita adalah karena darah Yesus, bukan karena kehebatan kita.

Jadi, daripada membanggakan kenyamanan hidup yang kita miliki karena iman, mari kita belajar untuk bersyukur dalam segala keadaan. Dalam kelimpahan, kita bersyukur kepada Tuhan. Dalam kekurangan, kita tetap memuliakan Dia. Dalam penderitaan, kita tidak malu, tetapi kita tetap berdiri teguh sebagai saksi Kristus yang setia.

Pertanyaan Reflektif:

1. Apakah saya secara tidak sadar mulai membanggakan berkat atau kenyamanan hidup saya sebagai hasil iman saya?

2. Apakah saya menyadari bahwa segala yang baik berasal dari Tuhan dan bukan karena kekuatan saya sendiri?

3. Apakah saya bersedia memikul salib, bahkan ketika iman membawa pada kesulitan atau penderitaan?

4. Apakah saya bermegah dalam salib Kristus, atau dalam pencapaian saya sendiri?

Doa Penutup:

Tuhan yang penuh kasih, ampuni aku jika aku pernah merasa bangga karena berkat yang Engkau beri. Ingatkan aku bahwa semua yang baik berasal dari-Mu. Ajarku untuk tidak mengandalkan kekuatanku sendiri, tetapi selalu bersandar pada kasih karunia-Mu. Tolong aku untuk tidak malu ketika harus menderita karena iman, tetapi justru bermegah dalam salib-Mu. Jadikan aku saksi yang rendah hati, setia, dan selalu memuliakan Engkau, baik dalam suka maupun duka. Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar