Jangan Jadi Batu Sandungan

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Matius 10:16

Matius 10:16-25 menjelaskan instruksi Yesus kepada kedua belas rasul-Nya, memberi mereka bimbingan untuk perjalanan misi mereka yang akan datang. Di sini, Dia mulai menggambarkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah kebangkitan-Nya sendiri dan kembali ke surga. Ketika saat itu tiba, para rasul akan ditangkap dan diseret ke hadapan berbagai pengadilan dan pejabat karena mereka mewakili Kristus dan bersikeras bahwa Dia adalah Anak Allah. Roh Kudus akan berbicara melalui mereka tentang Yesus. Mereka akan berlari dari satu kota ke kota lain untuk menghindari penganiayaan, menyebarkan kabar baik tentang Kristus di sepanjang perjalanan mereka. Yesus dianiaya, demikian pula mereka.

Yesus mengutus kedua belas murid pilihan-Nya untuk menjadi rasul; kata ini secara harfiah berarti “orang-orang yang diutus.” Mereka memiliki misi khusus: memberitakan kedatangan Kerajaan Surga dari kota ke kota di wilayah Galilea (Matius 10:5-8). Di sini, Yesus mulai menggambarkan misi jangka panjang. Kemungkinan besar, pada saat itu, para murid belum sepenuhnya memahami keadaan yang akan terjadi. Apa yang Kristus maksud di sini sebagian besar akan terjadi setelah kematian, kebangkitan, dan kedatangan-Nya kembali ke surga.

Metafora yang digunakan Kristus di sini merupakan gambaran yang mencolok. Di tempat lain, Yesus berbicara tentang diri-Nya sebagai “Gembala yang Baik” yang akan mati untuk melindungi kawanan domba-Nya (Yohanes 10:11), khususnya dari serangan serigala (Yohanes 10:12-14). Perbedaan radikal antara orang percaya kepada Kristus dan seluruh dunia tercermin dalam simbolisme menjadi domba yang “diutus” ke tengah-tengah serigala”. Orang Yahudi terbiasa menganggap diri mereka sebagai domba yang dikelilingi serigala non-Yahudi. Namun, Yesus mengklaim metafora ini bagi para pengikut-Nya. Mereka akan menghadapi serigala Yahudi maupun non-Yahudi saat mereka melakukan pekerjaan berbahaya untuk mewartakan Yesus dan kerajaan-Nya kepada dunia. Mereka harus siap.

Dalam budaya masa itu, ular melambangkan kcerdikan dan kelicikan. Merpati begitu polos sehingga seringkali tampak sama sekali tidak menyadari bahaya. Yesus memberi tahu para pengikut-Nya untuk menggunakan kecerdikan sebisa mungkin guna menghindari konflik dan bahaya tanpa kehilangan kepolosan seperti merpati yang akan memungkinkan mereka untuk terus mewartakan kebenaran tanpa rasa takut. Keseimbangan ini akan sulit dipertahankan, tetapi penting agar misi ini berhasil.

Meskipun kata-kata ini ditujukan kepada sekelompok pria yang unik, kata-kata ini tetap bermakna bagi semuaumat Kristen saat ini. Yesus tidak mendukung keyakinan iman yang naif dan dangkal. Dia juga tidak mengizinkan orang percaya menjadi sinis yang getir atau senang melakukan pertikaian rohani. Ayat-ayat lain dalam Alkitab juga menekankan perlunya orang Kristen untuk memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam kehidupan rohani mereka (1 Petrus 3:15-16; Kolose 2:8).

Yesus memberi dua kualitas penting yang harus dimiliki para utusan-Nya: cerdik dan tulus. Cerdik seperti ular berarti mampu membaca situasi, bijaksana dalam mengambil langkah, dan berhati-hati terhadap tipu daya. Tulus seperti merpati berarti murni hati, jujur, dan tanpa niat jahat. Dua kualitas ini harus berjalan bersama; cerdik tanpa tulus bisa menjadi licik, sementara tulus tanpa cerdik bisa menjadi naif.

Sayangnya, dalam perjalanan pelayanan gereja di dunia, kita sering melihat kebalikannya: orang Kristen yang tidak bijak dan orang Kristen yang tidak tulus. Keduanya sama-sama bisa menjadi batu sandungan bagi orang yang sedang mencari kebenaran.

1. Ketika Kekristenan Kehilangan Kebijaksanaan

Kebijaksanaan rohani adalah kemampuan untuk menghubungkan kebenaran Allah dengan situasi hidup secara tepat. Rasul Paulus berkata, “Hendaklah perkataanmu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (Kolose 4:6).

Namun, banyak orang Kristen jatuh dalam ekstrem: membawakan kesaksian tanpa mengerti artinya, berbicara terlalu cepat, menghakimi tanpa mendengar, atau memaksakan pendapat dengan nada yang keras. Kita bisa benar secara tujuan atau isi, tapi salah secara cara. Kita bisa menyampaikan Injil dengan bersemangat, tapi dengan sikap dan cara yang membuat orang menutup hati. Akibatnya, Injil yang seharusnya menjadi kabar baik terasa kosong, konyol atau dingin. Bukan karena Yesus yang salah, tapi karena kita menyampaikannya tanpa kebijaksanaan.

2. Ketika Kekristenan Kehilangan Ketulusan

Ketulusan adalah integritas hati: kesesuaian antara perkataan, perbuatan, dan motivasi. Orang Kristen kehilangan ketulusan ketika mereka mengatakan “Yesus adalah kebenaran,” tapi hidup dalam kebohongan. Mengajar kasih, tapi menyimpan dendam dan kepahitan. Mengutip ayat tentang kejujuran, tapi berbisnis dengan cara culas. Menyampaikan berita yang tidak jelas arti dan tujuannya.

Orang di luar gereja sering lebih peka terhadap kemunafikan daripada kita sadari. Satu saja perilaku yang tidak konsisten bisa menghancurkan kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun. Inilah yang membuat Yesus sangat keras terhadap orang Farisi: bukan karena mereka tidak tahu Firman, tapi karena mereka tidak hidup sesuai Firman.

3. Bahaya Menjadi Batu Sandungan

Yesus berkata dalam Matius 18:6, “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”

Batu sandungan berarti penghalang yang membuat orang lain tersandung secara rohani. Kita menjadi batu sandungan ketika perkataan, perbuatan, cara kerja dan hidup kita sembarangan dan tanpa hikmat, sehingga orang menutup hati terhadap Injil. Kehidupan dan kesaksian kita tidak mencerminkan ajaran Kristus, sehingga orang meragukan kebenaran-Nya. Prioritas kita di dunia mungkin sama sekali tidak berbeda dari orang yang belum percaya, sehingga kesaksian kita kehilangan bobot. Yang mengerikan adalah: kita bisa menghalangi orang mengenal Yesus tanpa kita sadari, hanya karena kita tidak berjaga-jaga. Tanpa kita sadari, kita menjadi musuh penginjilan.

4. Panggilan untuk Menjadi Jembatan, Bukan Penghalang

Tuhan memanggil kita untuk menjadi saksi-Nya, bukan sekadar pengkritik dunia. Saksi bukan hanya bicara, tapi menunjukkan bukti melalui kehidupan. Yesus mengutus murid-murid-Nya dengan strategi:

  • Cerdik agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia dan mampu menjawab tantangan zaman.
  • Tulus agar orang melihat kemurnian hati dan tidak menemukan alasan untuk menolak Injil karena perbuatan dan perilaku kita.

Bayangkan jika setiap orang Kristen memegang prinsip ini dengan serius. Dunia mungkin tetap menolak Injil karena alasan teologis, tapi mereka tidak akan menolaknya karena perilaku buruk orang Kristen.

5. Langkah Praktis Menjaga Diri dari Menjadi Batu Sandungan

Kita wajib memeiksa hati kita setiap hari. Tanyakan: “Apakah motivasi dan pesan saya murni di hadapan Tuhan?” Latih lidah untuk penuh kasih. Kadang, bukan kata-kata yang salah, tapi nada dan sikap kita yang melukai. Kadang-kadang kita menyampaikan berita yang tidak benar. Tunjukkan integritas dalam hal kecil. Orang menilai kesaksian kita dari keseharian, bukan hanya di gereja. Bersedia dikoreksi. Orang yang mau belajar dari kritik akan semakin bijak dan tulus. Ingat tujuan utama. Kita bukan ingin menang debat, tapi membawa orang kepada Yesus.

Pertanyaan Reflektif:

  • Apakah saya pernah secara tidak sadar menjadi batu sandungan bagi orang lain? Apa bentuknya?
  • Dalam hal kebijaksanaan, apakah saya cenderung terlalu cepat berbicara atau terlalu lambat bertindak?
  • Apakah hidup saya konsisten antara iman yang saya akui dan perilaku sehari-hari?
  • Siapa orang yang sedang mengamati hidup saya sebagai teladan? Apa yang mereka lihat?
  • Bagaimana saya bisa lebih cerdik dan lebih tulus dalam pelayanan, pekerjaan, dan relasi saya?

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, Engkau mengutus kami ke tengah dunia yang penuh tantangan. Engkau memanggil kami untuk cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Ampunilah ketika kami kurang bijak dan kurang tulus, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang yang ingin mengenal-Mu.

Ajarlah kami berbicara dengan kasih, bertindak dengan hikmat, dan hidup dengan integritas. Jadikan kami jembatan yang menuntun orang kepada-Mu, bukan penghalang yang membuat mereka menjauh.

Tolong kami untuk setiap hari memeriksa hati, menjaga lidah, dan berjalan setia dalam terang Firman-Mu. Demi nama-Mu yang kudus kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar