“Mengapakah orang-orang fasik tetap hidup, menjadi tua, bahkan bertambah-tambah kuat?” Ayub 21:7

Dalam Alkitab, orang fasik merujuk pada individu yang hidup dalam dosa, menolak kebenaran Tuhan, dan seringkali menentang kehendak-Nya. Mereka digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, melakukan kejahatan, dan hidup dalam pemberontakan terhadap Allah.
Pertanyaan Ayub tentang kejayaan orang fasik adalah pertanyaan kita semua. Di zaman modern, pertanyaan itu bisa berbunyi: “Mengapa koruptor hidup kaya raya, sementara rakyat kecil yang jujur harus bekerja keras hanya untuk bertahan hidup?”
Kita sering membaca berita tentang pejabat atau pengusaha yang menumpuk kekayaan lewat cara-cara tidak sah. Ada kasus korupsi triliunan rupiah yang dibongkar, tetapi para pelakunya tetap bisa hidup nyaman, bahkan kadang masih dihormati. Sementara itu, rakyat jelata harus antre berjam-jam demi mendapatkan beras murah, atau bekerja dari pagi hingga malam untuk upah yang nyaris tak cukup untuk biaya hidup.
Tidak hanya di pusat pemerintahan, ketidakadilan ini terlihat sampai ke tingkat paling bawah. Misalnya, seorang ibu penjual sayur yang berjuang keras setiap hari bisa saja ditindas oleh aparat kecil yang meminta pungutan liar. Di sisi lain, orang kaya yang jelas-jelas bersalah bisa lolos karena punya “akses” dan “orang dalam.”
Kadang hati kita berteriak: “Tuhan, apakah Engkau tidak melihat semua ini? Jika Engkau adil, mengapa orang jahat tidak segera dihukum?”
Kebingungan ini bukan hanya milik kita. Pemazmur Asaf juga menuliskan keluhannya:
“Sungguh, sia-sialah aku mempertahankan hati yang bersih… sebab sepanjang hari aku kena tulah, dan setiap pagi kena hajaran.” Mazmur 73:13-14
Orang benar sering merasa dirugikan, sementara orang fasik tampak bebas dan sejahtera. Lalu, di manakah keadilan Tuhan?
Perspektif Kekekalan
Jawaban Alkitab jelas: kemakmuran orang fasik hanyalah sementara. Mereka mungkin tampak berjaya di dunia, tetapi ujung jalan mereka adalah kebinasaan. Asaf akhirnya berkata:
“Tetapi waktu aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, maka mengertilah aku kesudahan mereka.” Mazmur 73:17
Di hadapan Tuhan, tidak ada satu pun kejahatan yang luput dari penghakiman. Mungkin hukuman itu tidak langsung terjadi di dunia ini, tetapi pada akhirnya setiap orang akan memberi pertanggungjawaban di hadapan takhta-Nya.
Bagi orang percaya, penderitaan di dunia hanyalah sementara. Rasul Paulus mengingatkan:
“Sebab penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Roma 8:18
Kita Juga Tidak Benar di Hadapan Allah
Namun ada satu hal penting yang sering kita lupakan: kita sendiri pun tidak lebih baik di hadapan Allah. Jika ukuran keadilan Allah diterapkan tanpa belas kasihan, tidak seorang pun dapat bertahan. Firman Tuhan berkata:
“Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Roma 3:23
Kita mungkin tidak merampok uang negara atau menipu jutaan orang, tetapi dalam pandangan Tuhan semua dosa membawa konsekuensi yang sama: kematian kekal. Jadi ketika kita bertanya mengapa orang fasik tidak segera dihukum, sebenarnya kita sedang melupakan fakta bahwa kita pun seharusnya binasa.
Di sinilah kabar baik Injil menjadi begitu indah: Allah yang adil juga adalah Allah yang penuh kasih. Ia memberikan Putra-Nya, Yesus Kristus, untuk menanggung hukuman yang seharusnya jatuh atas kita. Keadilan Allah dipuaskan di salib, dan kasih-Nya dinyatakan melalui pengampunan bagi mereka yang percaya.
Karunia Tuhan Lebih Besar daripada Kekayaan
Menjadi anak Tuhan adalah anugerah yang luar biasa. Tidak semua orang diberikan hati yang takut akan Tuhan. Ini bukan hasil usaha kita, melainkan murni karya Roh Kudus yang menaruh iman di dalam hati kita. Dan inilah berkat yang jauh lebih besar daripada segala kekayaan dunia:
Orang fasik mungkin memiliki harta, tetapi mereka tidak memiliki damai sejahtera sejati. Orang fasik mungkin memiliki kuasa, tetapi mereka tidak memiliki pengharapan kekal. Orang fasik mungkin dihormati manusia, tetapi mereka tidak dikenal oleh Allah.
Sebaliknya, anak-anak Tuhan mungkin miskin, menderita, bahkan ditolak dunia. Namun mereka memiliki sesuatu yang tidak dapat dibeli: kepastian akan kasih Allah, damai sejahtera yang melampaui pengertian, serta warisan kekal di surga.
Yesus sendiri pernah berkata:
“Apakah gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” Markus 8:36
Hidup dengan Perspektif Iman
Jadi, bagaimana seharusnya kita hidup ketika melihat ketidakadilan dunia?
Jangan iri kepada orang fasik. Di Indonesia, kita sering mendengar pepatah sinis: “Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Namun Alkitab mengingatkan, “Jangan iri hati kepada orang yang berbuat jahat.” (Mazmur 37:1) Kekayaan mereka tidak akan bertahan. Percaya pada kedaulatan Tuhan. Ia berdaulat atas segala sesuatu. Jika Ia menunda hukuman, itu karena kesabaran-Nya, memberi kesempatan bagi orang berdosa untuk bertobat. Banyak mantan kriminal, pecandu, bahkan eks-koruptor yang akhirnya bertobat sungguh-sungguh dan dipakai Tuhan untuk melayani. Hiduplah dalam syukur. Anugerah keselamatan jauh lebih berharga daripada harta dunia. Seorang petani sederhana yang takut akan Tuhan lebih kaya secara rohani daripada pejabat yang memiliki istana, tetapi hatinya kosong.
Kita harus berfokus pada panggilan kita. Alih-alih sibuk mengamati nasib orang lain, mari kita setia melakukan bagian kita: hidup benar, bekerja jujur, melayani dengan kasih. Seperti garam dan terang, kita dipanggil untuk memberi pengaruh kecil tetapi nyata dalam masyarakat kita. Pandangan kita harus ke kekekalan. Dunia ini sementara. Rumah kita yang sejati ada di surga. Dengan perspektif kekal, penderitaan kita di bumi akan terasa ringan.
Pertanyaan Reflektif:
- Pernahkah saya merasa iri atau pahit ketika melihat orang jahat hidup makmur?
- Apakah saya sungguh-sungguh percaya bahwa keadilan Tuhan akan ditegakkan pada waktunya?
- Apakah saya lebih menghargai berkat duniawi (uang, kesehatan, kenyamanan) dibandingkan anugerah keselamatan?
- Bagaimana saya bisa menumbuhkan rasa syukur setiap hari, meskipun keadaan hidup tidak ideal?
- Apakah saya hidup dengan pandangan kekal, ataukah saya masih terlalu melekat pada hal-hal fana?
Doa Penutup:
Ya Tuhan, Engkau Allah yang adil dan penuh kasih. Ampunilah aku ketika hatiku iri kepada orang fasik dan meragukan keadilan-Mu. Ingatkan aku bahwa tanpa anugerah-Mu, aku pun binasa. Terima kasih karena di dalam Kristus aku menerima hidup yang kekal dan damai yang sejati. Tolong aku untuk hidup bersyukur, setia, dan berharap hanya kepada-Mu, sambil menantikan penggenapan keadilan-Mu yang sempurna. Dalam nama Yesus Kristus aku berdoa. Amin.