“Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja.” 3 Yohanes 1:2

Pendahuluan:
Kejadian 1:26-27 adalah satu-satunya tempat di dalam permulaan penciptaan yang membicarakan tentang manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Apa arti peta dan teladan Allah? Tidak ada ciptaan lain, yang kepadanya Tuhan menyatakan istilah penting ini. Mungkin ada orang yang memikirkan malaikat mempunyai peta dan teladan Allah, tetapi itu tidak ditulis di dalam Alkitab. Malaikat berada di dunia roh, berbeda dengan penciptaan manusia di dalam dunia materi.
Ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi, di dalam dunia materi, segala sesuatu yang kelihatan, diakhiri dengan penciptaan manusia yang mempunyai peta dan teladan Allah. Manusia mempunyai peta teladan Allah, berati manusia mirip dengan Sang Penciptanya. Kemiripan ini dalam aspek yang bagaimana?
Karena Tuhan itu Roh adanya, maka kita harus mengerti dari sifat rohaniah bukan sifat materi. Allah itu bukan materi, Allah itu Roh adanya. Kalimat yang paling penting ini dimunculkan di dalam Yohanes 4:24, “Allah itu Roh adanya, karena itu barangsiapa yang datang menyembah Dia, harus menyembah di dalam Roh dan kebenaran.” Pengertian ini bukan dinyatakan oleh nabi atau rasul, tetapi oleh Tuhan Yesus sendiri. Allah itu bukan materi dan tidak bersifat material, maka kita mengerti sifat peta teladan dari aspek rohaniah. Manusia dicipta dengan adanya sifat rohani yang tidak ada pada makhluk yang lain.
Ateis dan Konsep Roh
Umumnya, seorang ateis tidak mengakui adanya roh dalam pengertian spiritual, karena mereka berpijak pada pandangan materialistis atau naturalistis: manusia hanyalah hasil proses biologis dan kimia. Namun, pengalaman manusia tentang kesadaran, nurani, cinta, rasa keindahan, dan kerinduan akan makna, sering kali menyentuh ranah yang sulit dijelaskan hanya dengan materi. Di sinilah bisa ditunjukkan bahwa roh bukan sekadar konsep religius, tetapi realitas eksistensial.
Walaupun tidak percaya pada Tuhan, banyak orang ateis dan agnostik tetap mengembangkan “spiritualitas” dalam bentuk lain: keindahan seni, keterhubungan dengan alam, atau keterikatan pada nilai kemanusiaan. Kerohanian mereka sering dibangun di luar agama, misalnya melalui filsafat humanisme sekuler. Tulisan dan cara berpikir mereka yang menyoroti kerohanian tanpa Tuhan ibarat “matahari yang disaksikan tanpa menyadari siapa Sang Pencipta terang itu.”
Orang ateis biasanya menolak keberadaan Tuhan dengan alasan rasional: Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Kehadiran kejahatan dan penderitaan dianggap kontradiksi dengan Tuhan yang mahabaik. Mereka menilai agama sebagai konstruksi sosial, bukan wahyu. Dari sisi apologetika Kristen, kita bisa menanggapi: Alam semesta yang teratur dan berawal menunjuk pada Sang Pencipta (Kejadian 1:1, Mazmur 19:2). Kesadaran moral yang universal menunjukkan adanya Sumber moral (Roma 2:14-15). Kerinduan batin akan keabadian adalah jejak Allah dalam hati nurani manusia (Pengkhotbah 3:11).
Bukan Tubuh dan Hati Nurani, tapi Tubuh dan Roh
Setiap kali kita membaca doa Rasul Yohanes ini, hati kita hangat. Ada perhatian yang indah: Yohanes tidak hanya mendoakan Gayus sehat secara jasmani, tetapi juga sehat secara rohani. Dalam kebenaran Tuhan, jasmani dan rohani tidak bisa dipisahkan. Tuhan menciptakan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh: tubuh dan roh. Keduanya perlu makanan.
Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Matius 4:4
Namun, bagaimana jika kita menyinggung orang yang menyebut dirinya ateis? Mereka menolak keberadaan Tuhan, dan dengan itu mereka juga menolak roh serta kerohanian dalam arti iman Kristen. Bagi mereka, manusia hanyalah hasil proses biologi. Tidak ada roh yang kekal. Yang ada adalah tubuh dan hati nurani, yang akan lenyap setelah mati.
Pertanyaannya: apakah manusia sungguh dapat hidup hanya berdasarkan jasmani dan hati nurani? Apakah kerohanian bisa dijelaskan hanya dengan fungsi otak atau kesadaran sosial? Renungan pagi ini ini mengajak kita memikirkan hal itu, dan sekaligus melihat bagaimana firman Tuhan menolong kita memahami hubungan antara jasmani, rohani, hati nurani dan Tuhan.
Ateis dan Pandangan Tentang Roh
Ateis biasanya menganggap roh hanyalah ilusi. Kesadaran, cinta, nurani, bahkan kerinduan akan makna hidup dianggap sebagai hasil evolusi atau reaksi kimia dalam otak. Dengan kata lain: tidak ada roh, tidak ada keabadian, tidak ada Tuhan yang menunggu kita di surga.
Tetapi mari kita jujur. Ada banyak pengalaman manusia yang sulit dijelaskan hanya dengan sains:
Rasa rindu akan keadilan yang sempurna dalam hati nurani, padahal dunia ini penuh ketidakadilan. Kerinduan akan keabadian, padahal tubuh fana. Keindahan seni, kasih, dan pengorbanan, yang sulit dipahami hanya sebagai insting untuk bertahan hidup.
Semua itu mengungkapkan bahwa manusia lebih dari sekadar materi. Ada sesuatu yang melampaui tubuh—sesuatu yang Alkitab sebut roh. Roh inilah yang memberi makna sejati, karena roh manusia berasal dari Allah sendiri (Kejadian 2:7).
Alkitab Tentang Roh dan Tubuh
Firman Tuhan memandang manusia sebagai satu kesatuan jasmani dan rohani. Tubuh berasal dari tanah, tetapi hidup baru ada setelah Allah menghembuskan napas-Nya. Tanpa roh, tubuh hanyalah debu.
Itulah sebabnya Yohanes mendoakan agar Gayus sehat jasmani dan rohani (3 Yohanes 1:2). Tubuh yang sehat penting untuk melayani Tuhan, tetapi roh yang hidup jauh lebih penting, sebab roh yang menentukan arah kehidupan kekal.
Kalau tubuh sehat tapi roh kering, hidup kehilangan arah. Sekalipun kita mempunyai hati nurani, itu tidak bisa mengarahkan kita kepada apa yang benar-benar baik dan kekal. Sebaliknya, kalau roh sehat tetapi tubuh diabaikan, fungsi hidup kita di dunia menjadi terhambat. Tuhan mau keduanya selaras. Jasmani dan rohani sama-sama penting, tetapi rohani (kesadaran hati nurani akan kehendak Tuhan) menjadi dasar bagi semuanya.
Kerohanian Tanpa Tuhan: Kekosongan yang Halus
Menariknya, banyak ateis tetap mengembangkan sesuatu yang mereka sebut spiritualitas. Mereka merasakannya lewat seni, meditasi, pemikiran atau keterhubungan dengan alam. Mereka mengaku bisa hidup rohani tanpa Tuhan. Mereka mempunyai hati nurani.
Tetapi hati nurani saja tanpa menerima adanya Tuhan ibarat menikmati cahaya matahari tanpa pernah tahu siapa yang menciptakan terang itu. Ada rasa hangat, ada keindahan, tetapi tujuan akhirnya kosong. Sebab tanpa Allah, semua pencarian hati nurani berakhir pada kebingungan dan kehampaan.
Yesus berkata: “Roh adalah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” (Yohanes 6:63). Kerohanian yang sejati hanya ada bila roh manusia berjumpa dengan Roh Allah. Inilah inti kehidupan Kristen.
Ateis, Hati Nurani, dan Dosa
Memang banyak orang ateis percaya bahwa manusia memiliki conscience atau hati nurani. Mereka mengakui adanya “suara batin” yang menegur kalau berbuat jahat, dan menuntun untuk berbuat baik. Namun, mereka sering menjelaskan hati nurani hanya sebagai produk evolusi sosial, bukan apa yang benar menurut Allah. Menurut mereka, nurani ada supaya manusia bisa hidup berdampingan di dunia, bukan agar manusia bisa hidup berdampingan dengan Tuhan di dunia dan di surga.
Alkitab memberi perspektif berbeda. Paulus menulis bahwa bangsa-bangsa yang tidak memiliki Taurat tetap menunjukkan “hukum itu tertulis dalam hati mereka, dan suara hati nurani mereka turut bersaksi” (Roma 2:14–15). Hati nurani adalah bukti bahwa Allah menaruh standar moral-Nya dalam diri manusia sejak awal.
Tetapi, hati nurani manusia tidak sempurna. Dosa telah merusaknya. Paulus berkata ada orang yang “hati nuraninya mati rasa” (1 Timotius 4:2). Nurani bisa tumpul, bisa dibungkam, bisa disesatkan. Itu sebabnya hati nurani tanpa firman Tuhan dan Roh Kudus ibarat kompas yang rusak—tetap berputar, tetapi tidak lagi menunjuk arah yang benar. Hati nurani memerlukan Roh Tuhan untuk menyadari bahwa manusia berdosa memerlukan Tuhan untuk menyelamatkan manusia.
Bagi orang ateis, hati nurani adalah pedoman tertinggi. Tetapi bagi kita orang percaya, hati nurani harus disucikan oleh darah Kristus (Ibrani 9:14). Tanpa Kristus, nurani tetap tidak bisa menyelamatkan. Kebenaran hanya ada dalam terang Tuhan.
Tubuh dan Roh dalam Kasih Karunia
Iman Kristen menempatkan tubuh dan roh dalam perspektif keselamatan. Yesus mati dan bangkit bukan hanya untuk roh, tetapi juga untuk tubuh. Kebangkitan-Nya menjamin bahwa suatu hari tubuh kita akan dibangkitkan dalam kemuliaan (1 Korintus 15:42–44).
Di sinilah perbedaan paling tajam dengan pandangan ateis. Bagi mereka, kematian adalah akhir, baik untuk tubuh maupun hati nurani. Bagi kita, kematian hanyalah pintu menuju kehidupan kekal. Roh kita yang telah dipulihkan akan berdiam dalam tubuh yang dimuliakan.
Doa Yohanes menjadi sangat relevan: “semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja.” Tuhan peduli pada kesehatan jasmani kita sekarang, tetapi yang terpenting adalah kesehatan rohani kita—karena roh yang hidup akan bertahan sampai kekekalan.
Menghadapi Mereka yang Tidak Percaya
Kita harus ingat: orang ateis dan agnostik bukan musuh orang beriman, melainkan sesama manusia yang juga sedang mencari makna kehidupan. Banyak yang menjadi ateis ataupun agnostik bukan semata karena argumen intelektual, melainkan karena pengalaman pahit seperti:
- Kehilangan orang yang dikasihi dan kemudian kecewa pada Tuhan.
- Kemarahan atas penderitaan masa lalu.
- Melihat kemunafikan orang beragama.
- Tidak puas dengan jawaban yang dangkal atas pertanyaan hidup yang mendalam.
Itulah sebabnya kita dipanggil untuk mengasihi, bukan menghakimi. Yohanes menuliskan doa kasih untuk Gayus. Kita pun dipanggil untuk mendoakan orang-orang yang menolak Tuhan. Kita tahu Kristus memanggil setiap orang untuk kembali ke jalan yang benar. Siapa tahu doa dan pelayanan kita menjadi jalan bagi hati nurani mereka agar bisa terbuka pada kasih Kristus?
Pertanyaan Reflektif:
- Apakah saya menjaga keseimbangan antara kesehatan jasmani dan kesehatan rohani?
- Apakah saya terlalu mengandalkan hati nurani saya sendiri, ataukah saya membiarkan Roh Kudus membentuknya lewat firman Tuhan?
- Bagaimana saya bisa menjelaskan dengan kasih bahwa nurani manusia adalah jejak Allah dalam hati, tetapi sudah rusak oleh dosa dan butuh Kristus?
- Apakah saya pernah berjumpa dengan orang ateis yang sebenarnya “lapar” akan makna hidup? Bagaimana saya merespons dengan kasih dan kesaksian nyata?
Doa Penutup:
Tuhan yang Mahakasih, Terima kasih karena Engkau menciptakan kami sebagai manusia yang utuh—dengan tubuh dan roh. Engkau peduli pada kesehatan jasmani kami, tetapi lebih dari itu, Engkau rindu roh kami hidup dalam kebenaran. Kami bersyukur karena Engkau menaruh hati nurani dalam diri setiap manusia. Tetapi kami juga mengakui bahwa hati nurani kami telah tercemar dosa, dan tidak dapat menyelamatkan kami. Kami butuh pembaruan dari Engkau, ya Kristus. Kami berdoa bagi mereka yang menolak Engkau, bahkan yang mengaku ateis adan agnostik. Sentuhlah hati mereka, ya Tuhan, agar kerinduan terdalam mereka menemukan jawaban hanya di dalam Engkau. Tolong kami, supaya hidup kami menjadi kesaksian kasih-Mu—tidak dengan kata-kata kasar, tetapi dengan perbuatan penuh kasih dan kerendahan hati. Biarlah kesehatan jasmani kami dipakai untuk melayani, dan kerohanian kami dipenuhi oleh Roh Kudus. Sampai akhirnya kami boleh berjumpa dengan-Mu dalam tubuh kemuliaan di kekekalan. Dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami, kami berdoa. Amin.