Memimpin dengan Memberdayakan, Bukan Mengontrol

“Dan aku mau sangat rela mengorbankan kepunyaanku, bahkan mengorbankan diriku sendiri bagi kamu.” 2 Korintus 12:15

Hari ini hari Minggu dan saya seperti biasa pergi ke gereja. Gereja yang kita kenal sekarang adalah sebuah persekutuan orang Kristen. Setiap organisasi, termasuk gereja, memerlukan kepemimpinan. Namun gaya kepemimpinan yang digunakan sangat menentukan arah pertumbuhan jemaat dan kualitas pelayanan. Dalam dunia kerja sekuler, kita mengenal berbagai gaya kepemimpinan, seperti gaya otokratis, demokratis, partisipatif, dan sebagainya. Sebagian gaya kepemimpinan kadang diperlukan dalam situasi tertentu, namun ada pula gaya yang hampir selalu merusak.

Di antara gaya kepemimpinan itu, micromanagement dikenal sebagai gaya yang paling tidak sehat. Micromanagement adalah pola memimpin dengan mengawasi secara berlebihan, mencampuri hal-hal kecil, dan menolak memberi ruang kepercayaan kepada orang lain. Di permukaan, gaya ini bisa terlihat seperti “perhatian”, tetapi sesungguhnya micromanagement adalah bentuk merendahkan orang lain secara terselubung.

Sebaliknya, kepemimpinan Kristen seharusnya berakar pada teladan Yesus Kristus dan juga para rasul. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus berkata: “Dan aku mau sangat rela mengorbankan kepunyaanku, bahkan mengorbankan diriku sendiri bagi kamu” (2 Kor. 12:15). Inilah prinsip dasar kepemimpinan rohani: rela berkorban untuk membesarkan orang lain, bukan mengendalikan demi kepentingan diri sendiri.

Paulus: Pemimpin yang Rela Mengorbankan Diri

Ayat 2 Korintus 12:15 lahir dari hati seorang gembala yang tulus. Paulus tidak mencari keuntungan dari jemaat, ia tidak menuntut penghargaan, dan ia tidak merasa harus “memegang kendali” atas segala hal. Ia rela mengorbankan apa yang ia miliki, bahkan dirinya sendiri, demi satu hal: pertumbuhan rohani jemaat.

Inilah sikap yang kontras dengan gaya micromanagement. Pemimpin yang micromanage takut kehilangan kontrol, sehingga ia menahan pertumbuhan orang lain. Paulus justru sebaliknya: ia rela kehilangan kenyamanan, relanya “berkurang”, agar jemaat bertumbuh semakin dewasa di dalam Kristus.

Seorang pemimpin rohani sejati tidak menempatkan dirinya sebagai pusat, melainkan menempatkan jemaat sebagai fokus kasih dan pengorbanannya.

Yesus: Pemimpin yang Melayani

Yesus Kristus sendiri adalah teladan utama dari kepemimpinan yang membesarkan orang lain. Ia berkata: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Yesus bisa saja memilih untuk terus mengontrol murid-murid-Nya dengan ketat. Namun, Ia tidak melakukannya. Sebaliknya, Yesus justru mempercayakan misi besar kepada mereka:
• Memberi kuasa kepada murid-murid untuk mengusir roh jahat dan menyembuhkan orang sakit (Markus 6:7).
• Mengutus mereka berdua-dua untuk memberitakan Injil (Lukas 10:1).
• Memberikan Amanat Agung untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:19–20).

Yesus tidak micromanage. Ia tidak mengikuti mereka satu per satu, tidak mengontrol semua detail kecil, bahkan ketika Ia tahu murid-murid itu masih lemah dan sering gagal. Ia memberi mereka kesempatan untuk mencoba, gagal, belajar, lalu bertumbuh. Itulah empowerment atau pemberian tanggung jawab dan wewenang yang sejati.

Micromanagement: Belittling yang Terselubung

Mengapa micromanagement berbahaya, apalagi dalam gereja? Karena micromanagement adalah belittling terselubung—merendahkan orang lain dengan bungkus “perhatian”.

Arti “belittling” adalah tindakan merendahkan atau mengecilkan seseorang atau sesuatu, membuat mereka tampak kurang penting, kurang berharga, atau tidak berarti. Ini bisa dilakukan secara verbal, dengan perkataan yang menyakitkan, atau bahkan melalui tindakan yang membuat orang lain merasa kecil dan tidak signifikan.

Dalam pelayanan, micromanagement bisa muncul ketika seorang pemimpin:
• Tidak mau mendelegasikan tugas, takut orang lain salah.
• Selalu mencampuri hal-hal kecil, seolah-olah hanya dia yang tahu cara terbaik.
• Menekan rekan pelayanan agar mengikuti cara dan gayanya saja.
• Tidak memberi kesempatan bagi orang baru untuk belajar dan berkembang.

Akibatnya, jemaat atau rekan pelayanan akan merasa tidak dipercaya, tidak dihargai, bahkan tidak dibutuhkan. Potensi mereka terhenti, kreativitas mereka tumpul, dan semangat mereka padam. Gereja pun menjadi organisasi yang stagnan, sibuk menjaga “aturan kecil” tetapi kehilangan kuasa Injil yang membebaskan.

Empowerment: Prinsip Kepemimpinan Kristen

Berbeda dengan micromanagement, prinsip empowerment adalah memberi ruang, kepercayaan, dan tanggung jawab. Pemimpin yang memberdayakan tidak takut kehilangan kontrol, karena ia tahu bahwa Roh Kudus yang memimpin gereja, bukan dirinya sendiri.

Yesus memberi empowerment kepada murid-murid-Nya. Paulus juga memberdayakan rekan-rekan pelayanannya, seperti Timotius, Titus, Apolos, bahkan perempuan-perempuan yang melayani Injil bersamanya. Mereka semua diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin rohani, bukan hanya pelaksana.

Prinsip empowerment dalam pelayanan gereja berarti:
• Memberi kesempatan kepada anggota baru untuk memimpin doa atau memimpin ibadah kecil.
• Mempercayai tim untuk mengelola proyek pelayanan tanpa harus dikontrol setiap detail.
• Mendorong ide-ide baru dari jemaat muda, sekalipun tidak sempurna.
• Menjadi mentor yang mendukung, bukan bos yang mengendalikan.

Mengapa Empowerment Penting dalam Gereja

Ada tiga alasan utama mengapa gereja harus mengutamakan empowerment, bukan micromanagement:
1. Sesuai teladan Kristus. Gereja dipanggil untuk mengikuti pola kepemimpinan Yesus—pemimpin yang melayani, bukan yang menguasai.
2. Membesarkan tubuh Kristus. Gereja bukan hanya panggung bagi segelintir pemimpin, tetapi tempat di mana setiap anggota tubuh Kristus berfungsi sesuai karunia masing-masing (1 Kor. 12:12–27).
3. Menyiapkan pemimpin masa depan. Gereja yang micromanage hanya melahirkan pengikut yang takut salah. Gereja yang memberdayakan akan melahirkan pemimpin rohani baru yang siap melanjutkan misi Kristus.

Pertanyaan Reflektif:

  • Apakah Anda sebagai pemimpin pelayanan lebih suka mengontrol, ataukah saya memberi ruang bagi rekan pelayanan untuk berkembang?
  • Apakah Anda rela mengorbankan kenyamanan dan ego saya, supaya orang lain di sekitar saya bisa bertumbuh?
  • Apakah Anda mengikuti teladan Yesus dan Paulus yang mempercayai orang lain, sekalipun mereka belum sempurna?
  • Apakah ada orang lain yang perlu didoakan dalam pelayanan gereja Anda agar mereka bisa menyadari bahaya micromanagement?

Doa Penutup:

“Tuhan Yesus, Engkau adalah Pemimpin yang melayani dan rela mengorbankan diri bagi kami. Ampunilah kami jika dalam pelayanan sering kali kami lebih suka mengontrol daripada mempercayai. Ajari kami untuk rela ‘berkurang’ supaya orang lain bertumbuh. Seperti Paulus, ajari kami rela mengorbankan kepunyaan kami, bahkan diri kami sendiri, demi jemaat-Mu. Roh Kudus, tuntunlah kami untuk membesarkan, bukan mengecilkan; untuk memberdayakan, bukan mematikan. Jadikan gereja-Mu tempat di mana setiap orang diperlengkapi menjadi saksi Kristus. Amin.”

Tinggalkan komentar