Paradoks Tomas: Percaya Tanpa Melihat

“Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”Yohanes 20:29

Setiap orang memiliki cara sendiri dalam merespons iman. Ada yang percaya dengan sederhana, ada yang ragu-ragu, ada pula yang menuntut bukti konkret. Salah satu contoh paling terkenal dalam Alkitab adalah Tomas, seorang murid Yesus.

Tomas tidak mudah diyakinkan hanya dengan kesaksian teman-temannya. Ia berkata dengan tegas: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yohanes 20:25).

Namun, ketika Yesus benar-benar menampakkan diri dan mengizinkan Tomas menyentuh-Nya, yang keluar dari mulut Tomas bukan lagi keraguan, melainkan pengakuan iman yang luar biasa: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28).

Di sinilah letak paradoks Tomas: ia menuntut bukti, tetapi ketika bukti itu diberikan, ia justru takluk, bukan karena logika semata, melainkan karena perjumpaan dengan Kristus. Yesus lalu memberikan penegasan yang berlaku sampai sekarang: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

Bukti Bukan Jaminan

Banyak orang berkata: “Kalau saja Tuhan memberi bukti nyata, aku akan percaya.” Tetapi Alkitab menunjukkan bahwa bukti tidak selalu menghasilkan iman.

Dalam Lukas 16:19-31, Yesus menceritakan kisah orang kaya dan Lazarus. Orang kaya itu yang ada di alam maut meminta supaya Lazarus diutus untuk memperingatkan saudara-saudaranya. Tetapi Abraham menjawab: “Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan mau diyakinkan sekalipun seorang bangkit dari antara orang mati.” (ayat 31).

Artinya, hati yang keras tidak akan luluh hanya karena bukti. Bahkan kebangkitan Kristus sendiri tidak membuat semua orang percaya; sebagian justru menutup hati dan mencari alasan lain. Bukti bisa dilihat, tetapi iman membutuhkan hati yang terbuka.

Paradoks Iman: Bukti Menguatkan, Bukan Membentuk

Paradoks Tomas mengajarkan kita bahwa bukti memang bisa menguatkan iman, tetapi bukan fondasi iman. Fondasi iman adalah kepercayaan kepada pribadi Kristus, bukan pada argumentasi logika semata. Bukti iman sering kali datang kemudian, mengonfirmasi apa yang sudah kita percayai.

Ibrani 11:1 berkata: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Iman selalu mendahului bukti lengkap. Jika semua sudah jelas, itu bukan lagi iman, melainkan pengetahuan.

Ketika Bukti Diberikan, Apa Respon Kita?

Yesus tidak menolak permintaan Tomas. Ia dengan penuh kasih menunjukkan bekas luka-Nya. Tetapi Yesus juga menegaskan: “Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” (Yohanes 20:27).

Inilah kuncinya: bukti tidak dimaksudkan untuk memanjakan keraguan, tetapi untuk memanggil orang pada keputusan. Tomas akhirnya mengambil keputusan iman terbesar dalam hidupnya: “Ya Tuhanku dan Allahku!”

Paradoks Tomas mengingatkan kita bahwa bukti dari Tuhan tidak diberikan untuk memuaskan rasa ingin tahu, melainkan untuk membawa kita pada pertobatan dan penyembahan. Mereka yang hanya ingin dipuaskan secara rasionil tidak akan memperoleh iman yang menyelamatkan.

Bahaya Menunda dengan Alasan “Belum Ada Bukti”

Banyak orang zaman sekarang berkata: “Kalau Tuhan nyata, biar Dia membuktikan diri. Kalau ada mujizat besar, baru saya percaya.” Tetapi pola pikir ini sering menjadi jebakan. Seperti yang Yesus katakan dalam Lukas 16:31, sekalipun ada orang mati bangkit, hati yang keras tetap tidak mau percaya. Mereka akan mencari penjelasan lain, atau menolak dengan alasan baru.

Masalahnya bukan kurang bukti, tetapi kurang kerendahan hati. Tuhan tidak menawar iman dengan harga bukti. Iman sejati justru lahir dari sikap hati yang mau percaya meski tidak semua pertanyaan terjawab. Mereka yang ingin penjelasan secara rasionil adalah orang-orang yang sombong di hadapan Tuhan.

Berbahagialah yang Tidak Melihat, Namun Percaya

Yesus menyebut kita “berbahagia” jika kita percaya tanpa melihat. Mengapa?

Iman seperti itu murni. Ia tidak bergantung pada pengalaman visual, tetapi pada janji Allah. Iman seperti itu berharga. Petrus berkata: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada-Nya, meskipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan.” (1 Petrus 1:8). Iman seperti itu dihargai Tuhan dan akan bertahan dalam segala keadaan. Bukti bisa diperdebatkan berdasarkan kemampuan manusia dan keadaan yang berubah-ubah, tetapi pengalaman iman adalah abadi.

Aplikasi dalam Hidup Kita

Jika kita mengeluh, jangan menunggu tanda ajaib untuk percaya bahwa Tuhan mendengar. Doa adalah tindakan iman. Dalam penderitaan, janganlah kita menuntut bukti bahwa Tuhan peduli. Salib Kristus sudah cukup sebagai bukti kasih-Nya. Dalam pelayanan, jangan menunggu hasil instan sebagai bukti bahwa kerja kita tidak sia-sia. Firman Tuhan berkata: “Dalam Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15:58). Dalam penginjilan, jangan kecewa jika orang lain menolak meski sudah melihat bukti hidup kita. Iman tetap pekerjaan Roh Kudus, bukan logika semata.

Paradoks Tomas mengingatkan kita bahwa iman bukanlah menunggu bukti sempurna, tetapi merespons panggilan Kristus. Tomas akhirnya bersujud dan mengaku: “Ya Tuhanku dan Allahku!” — itulah puncak iman seorang murid. Yesus kemudian menyapa kita semua yang hidup setelah peristiwa itu: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Itulah berkat yang berlaku bagi setiap orang percaya hingga hari ini.

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, aku sering seperti Tomas yang ragu dan menuntut bukti. Ampuni aku. Bukalah mataku untuk melihat bahwa salib-Mu dan kebangkitan-Mu sudah cukup sebagai bukti kasih dan kuasa-Mu. Ajar aku untuk percaya meski tidak semua pertanyaan terjawab. Teguhkan imanku, agar aku bisa berkata dengan segenap hati: Ya Tuhanku dan Allahku! Amin.

Tinggalkan komentar