Anugerah dan Moralitas: Panggilan Umat Kristen di Tengah Bangsa yang Lemah Hukum

“Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Roma 6:1-2

Beberapa hari belakangan ini kita menyaksikan riuhnya suara rakyat—bukan sekadar teriakan, tapi jeritan hati yang telah lama dipendam. Demonstrasi berbagai kelompok masyarakat merebak di Jakarta dan berbagai kota lainnya adalah respon rakyat terhadap kebijakan dan perilaku pemerintah dan badan legislatif yang dirasa tidak berpihak pada masyarakat, korupsi yang semakin merajalela, pajak yang memberatkan, anggota legislatif yang sibuk dengan kepentingan pribadi dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Sayang sekali, di beberapa tempat demonstrasi berubah menjadi tindakan anarki,

Para tokoh lintas agama sudah menyampaikan sembilan poin pernyataan sikap tentang situasi politik di Indonesia yang menyebabkan terjadinya demonstrasi berujung kericuhan di sejumlah daerah. Dalam poin ke 5, mereka menolak segala bentuk kekerasan dan anarkisme, adu domba di media sosial, juga perusakan fasilitas umum, maupun tindakan kekerasan yang mencederai ajaran agama dan nilai luhur bangsa. Hak menyampaikan pendapat memang dijamin oleh konstitusi, namun harus diwujudkan dengan cara damai, bermartabat, dan beradab demi menjaga kehormatan rakyat dan bangsa. Dengan kata lain, bagaimana pun situasinya, moralitas yang baik haruslah dipertahankan.

Ada orang yang berpendapat bahwa “tujuan menghalalkan cara”, karena itu kita tidak perlu mempersoalkan prinsip moralitas jika kita ingin melawan apa yang dipandang masyarakat sebagai hal yang sangat buruk. Dalam hal ini, ada sebagian orang Kristen yang berkata: “keselamatan adalah anugerah, jadi moralitas tidak penting.” Pernyataan ini terdengar rohani, tetapi sesungguhnya menyesatkan. Memang benar, Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan tidak diperoleh melalui perbuatan baik, melainkan semata-mata oleh kasih karunia Allah melalui iman (Efesus 2:8–9). Namun, di dalam Kristus, hidup yang sudah diselamatkan akan menghasilkan buah ketaatan, moralitas, dan kesalehan. Mengabaikan moralitas berarti salah memahami Injil, dan bagi umat Kristen tujuan tidak menghalalkan cara.

Kesalahan ini bukan sekadar masalah teologi pribadi, melainkan punya dampak besar bagi bangsa. Jika umat Kristen tumbuh dengan pemahaman bahwa moralitas tidak penting, maka mereka tidak akan menjadi teladan dalam masyarakat. Padahal, di tengah bangsa seperti Indonesia yang hukum dan moralitasnya sering diabaikan, kehadiran orang Kristen seharusnya membawa perubahan.

Alkitab sangat jelas: manusia berdosa tidak bisa menyelamatkan dirinya dengan moralitas atau perbuatan baik. Roma 3:23 berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Oleh sebab itu, Kristus mati di salib menggantikan kita. Iman hanyalah sarana menerima kasih karunia itu. Tidak ada jasa manusia sedikit pun yang bisa menambah atau mengurangi karya keselamatan itu. Di sinilah Injil membawa kabar baik: kita diselamatkan bukan karena layak, tetapi karena anugerah Allah.

Anugerah Allah selalu melahirkan hidup baru dan tidak pernah berhenti pada status “diselamatkan”. Efesus 2:10 menegaskan:

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya.”

Artinya: orang yang diselamatkan akan menunjukkan buah pertobatan dalam moralitas hidup. Paulus bahkan menegur jemaat di Roma yang berpikir anugerah memberi kebebasan untuk hidup seenaknya:

“Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak!” (Roma 6:1–2).

Jadi, anugerah tidak membebaskan kita untuk hidup sembarangan, melainkan membebaskan kita untuk hidup benar.

Perlu kita sadari bahwa moralitas adalah buah keselamatan. Yesus berkata:

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” (Yohanes 14:15)

Kasih kepada Kristus diwujudkan dalam ketaatan moral. Itu sebabnya Yakobus menegaskan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Moralitas bukan dasar keselamatan, tetapi bukti bahwa iman itu hidup. Jika seseorang mengaku Kristen tetapi menipu, korup, atau tidak peduli hukum, maka imannya diragukan. Dengan kata lain: ajaran yang memisahkan anugerah dari moralitas adalah ajaran palsu.

Anugerah, moralitas, dan hukum adalah bagian hidup orang Kristen. Mengapa ini penting bagi Indonesia? Karena bangsa kita sedang menghadapi krisis hukum dan moralitas. Hukum sering dipermainkan oleh elite politik. Korupsi merajalela. Rakyat sendiri terbiasa melanggar aturan kecil sejak kecil: buang sampah sembarangan, melanggar lalu lintas, memberi uang pelicin, mencontek di sekolah. Jika orang Kristen juga hidup dengan pola yang sama, apa bedanya dengan dunia? Bagaimana mungkin kita bisa menjadi garam dan terang (Matius 5:13–14)? Justru karena keselamatan adalah anugerah, kita dipanggil untuk hidup sebagai saksi Kristus. Dan kesaksian itu harus nyata dalam ketaatan pada hukum, kejujuran, dan integritas.

Pentingnya Pendidikan Moral Sejak Dini

Jika sejak kecil orang terbiasa mengabaikan ajaran moral, maka reformasi hukum jadi makin berat.

Amsal 22:6 berkata: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari padanya.”

Artinya, pendidikan moral harus dimulai sejak dini. Di rumah, orang tua harus memberi teladan dalam hal kecil. Kalau orang tua menyuruh anak taat, tetapi dirinya sendiri melanggar aturan, anak akan belajar bahwa hukum bisa diabaikan. Di sekolah, guru tidak boleh menoleransi kecurangan atau suap. Pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kurikulum. Di gereja, pengajaran tentang anugerah harus selalu diikuti dengan pengajaran tentang hidup kudus. Jika ini dilakukan secara konsisten, akan lahir generasi yang lebih menghargai hukum.

Moralitas Kristen sebagai kesaksian untuk publik

Hidup bermoral bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kesaksian publik. Yesus berkata:

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:16).

Bayangkan jika orang Kristen konsisten: tidak mencontek, tidak menyogok, tidak melanggar aturan lalu lintas, membayar pajak dengan benar, jujur dalam bisnis. Itu pasti akan menjadi kesaksian besar di tengah masyarakat yang terbiasa kompromi. Dengan begitu, orang Kristen dapat menjadi motor kecil bagi reformasi hukum dan moral bangsa. Tentu saja ini tidak mudah. Hidup bermoral di tengah budaya yang permisif sering dianggap “bodoh” atau “tidak praktis”. Orang yang menolak menyogok bisa kalah dalam persaingan. Anak yang jujur kadang dikucilkan. Namun, di sinilah iman diuji. Paulus berkata: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2).

Harapan kita bukan pada perubahan instan, tetapi pada kesetiaan kecil yang akhirnya menular dan membentuk budaya baru. Reformasi hukum memang jalan yang panjang, tetapi harus dimulai dari reformasi moral kita. Maka jelaslah bahwa ajaran yang menyepelekan moralitas karena keselamatan adalah anugerah adalah ajaran yang salah. Anugerah bukan alasan untuk hidup sembarangan, melainkan dasar untuk hidup kudus.

Jika sejak kecil orang Kristen dibentuk dalam ketaatan moral, maka kita tidak hanya hidup benar di hadapan Allah, tetapi juga memberi sumbangan nyata bagi bangsa. Di tengah masyarakat yang sering mengabaikan hukum, orang Kristen dipanggil untuk menjadi teladan. Kita tidak bisa mengubah seluruh bangsa sekaligus. Tetapi kita bisa mulai dari rumah, sekolah, gereja, dan komunitas kecil kita. Dan dari situ, terang akan memancar. Pada akhirnya, kesaksian hidup yang benar adalah cara paling kuat untuk memberitakan Injil. Dengan hidup bermoral, kita menunjukkan bahwa kasih karunia bukan hanya kata-kata, tetapi kuasa Allah yang mengubahkan hidup.

Tinggalkan komentar