“Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia. Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak.” Amsal 26:4-5

Amsal 26:1–12 sebagian besar merupakan serangkaian pernyataan negatif yang blak-blakan tentang “orang bebal”; kata tersebut muncul di semua ayat kecuali satu. Amsal 26 sebenarnya mencakup tiga bagian utama. Bagian pertama berulang kali merujuk pada “orang bebal,” yang berarti seseorang yang tidak memiliki hikmat ilahi (Amsal 1:7). Bagian kedua memperingatkan agar tidak bermalas-malasan. Bagian ketiga mengutuk konflik yang ceroboh, kebohongan, dan memperingatkan tentang mereka yang menutupi kebencian mereka dengan kata-kata. Beberapa pernyataan dalam bagian ini mengulangi atau menggemakan pernyataan lain dalam kitab Amsal.
Apa arti Amsal 26:4? Bagian dari dua bagian pelajaran ini (Amsal 26:5) menggunakan frasa “menurut” yang berarti “dengan cara”. Meniru sikap, tingkah laku, atau pendekatan orang yang bebal tidaklah bijaksana. Sebuah peribahasa Inggris modern yang terkait menasihati, “don’t wrestle with pigs, since you only get dirty and the pig enjoys it“yang bisa diterjemahkan “jangan bergulat dengan babi, karena engkau hanya akan menjadi kotor dan babi menikmati hal itu.”
Dalam kitab Amsal, “kebebalan” bukan sekadar kebodohan, tetapi berarti penolakan terhadap Allah dan kebenaran-Nya (Amsal 1:7). Hinaan, kebohongan, tipu daya, amarah, kepicikan, dan hal-hal lainnya adalah kebodohan manusia zaman ini yang sering muncul dalam berbagai media dan pergaulan sehari-hari dan ini tidak boleh ditiru. Jika kita membiarkan diri kita diseret ke tingkat itu, kita melakukan hal yang tidak bijaksana, dan juga tidak saleh.
Yesus menjawab banyak pertanyaan, terkadang mencerminkan gaya orang yang bertanya (Matius 12:1–8; 19:21; Yohanes 3:10; 4:16). Namun, Yesus tidak menanggapi hinaan dengan hinaan, atau kebohongan dengan kebohongan. Ketika para pengkritik-Nya bersikap tidak adil atau tidak baik, Yesus bisa bersikap tegas—bahkan keras (Yohanes 9:40-41; Matius 22:18). Namun, Ia tidak menggunakan taktik bodoh yang sama seperti mereka yang menyerang-Nya. Ia juga tidak repot-repot menjawab ketika pertanyaan itu sendiri tidak tulus. Ketika Herodes mencoba memaksa Yesus untuk melakukan mukjizat, Yesus menolak untuk menjawab sama sekali (Lukas 23:8-9). Herodes tidak membutuhkan tanda untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Pertanyaan Herodes adalah dangkal dan mengejek, dan karena itu tidak perlu ditanggapi.
Ayat 4 dan 5 tampak seperti pernyataan yang kontradiktif. Dan, pada kenyataannya, keduanya memang menyarankan tindakan yang berlawanan. Namun, konteks masing-masing sedikit berbeda; pelajaran yang dimaksudkan adalah tentang kapan harus diam dan kapan harus berbicara. Bahkan, kita dapat menganggapnya sebagai dua bagian dari satu peribahasa. Sepasang pernyataan ini memberikan contoh yang sangat baik tentang Kitab Suci yang menyajikan ketegangan di antara dua ekstrem. Pembacaan yang ceroboh—terutama di luar konteks—dapat mengartikan hal ini sebagai kontradiksi. Di sini, tentu saja, frasa-frasa tersebut ditulis bersama, sehingga makna yang dimaksudkan lebih mudah dipahami.
Cara lain untuk membedakan ayat 4 dan 5 adalah dengan memperhatikan bahwa ada perbedaan antara memberikan jawaban “dalam” kebodohan, dibandingkan dengan memberikan jawaban “untuk” kebodohan. Meniru sesuatu yang tidak bijaksana itu tidak baik, tapi mengoreksi sesuatu dengan hikmat itu baik.
Hikmat dan pengetahuan menjadikan seseorang bijaksana. Hal ini sebagian berarti seseorang dapat mencapai lebih banyak hal melalui hikmat dan pemikiran yang cermat, dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan atau usaha yang kasar. Seseorang yang teguh dalam kebenaran dan hikmat (Amsal 2:1-13) lebih siap untuk mengambil keputusan yang terbaik (Amsal 3:21-23). Demikian pula, orang yang mengumpulkan hikmat banyak orang lebih mungkin menemukan solusi yang tepat untuk masalah mereka (Amsal 15:22).
Orang yang benar-benar bijaksana tidak mengandalkan kekuatannya sendiri untuk meraih kemenangan atas tantangan dari mereka yang melawan Tuhan. Ia percaya kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan. Pemazmur bertanya, “Dari manakah datangnya pertolonganku?” (Mazmur 121:1). Ia menjawab, “Pertolonganku datangnya dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (Mazmur 121:2).
Sampai di manakah kita harus berjuag untuk menginsafkan mereka yang bebal? Dalam hal ini, dalam Markus 6:11, Yesus berkata, “Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka.” Mengibaskan debu dari kaki seseorang menyampaikan ide yang sama dengan frasa modern kita “Saya mencuci tangan saya darinya.” Mengibaskan debu dari kaki adalah indikasi simbolis bahwa seseorang telah melakukan semua yang dapat dilakukan berdasarkan kebijakan dalam suatu situasi dan oleh karena itu tidak memiliki tanggung jawab lebih lanjut untuk itu.
Dalam contoh-contoh alkitabiah, Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka harus memberitakan Injil kepada semua orang. Di mana mereka diterima dengan sukacita, mereka harus tinggal dan mengajar. Namun, jika pesan mereka ditentang oleh mereka yang bebal, mereka tidak memiliki tanggung jawab lebih lanjut. Mereka bebas untuk pergi dengan hati nurani yang bersih, mengetahui bahwa mereka telah melakukan semua yang dapat mereka lakukan. Ini adalah hal yang bijaksana,
Mengibaskan debu dari kaki mereka, pada dasarnya, mengatakan bahwa mereka yang menolak kebenaran Tuhan tidak akan diizinkan untuk terus menerus menghalangi kemajuan Injil. Makna spiritual dari seorang murid Yesus yang mengibaskan debu dari kakinya adalah pernyataan final kepada orang-orang yang telah diberi kebenaran dan yang telah menolaknya. Sebagai murid Tuhan yang bijaksana, mereka tidak terjebak kedalam pertikaian atau perbantahan yang berkelanjutan dan tidak ada gunanya.
Ada situasi-situasi dalam hidup kita di mana Tuhan memanggil kita untuk berdiri teguh, memberitakan kebenaran, dan memberikan kesaksian yang sabar agar mereka menyadari kebebalan mereka. Terkadang kita harus melanjutkannya dengan cara yang baik sampai kita melihat hasil dari kesaksian tersebut. Di saat yang lain, Tuhan memberi kita kebebasan untuk menyerahkan orang-orang itu kepada Tuhan dan secara emosional melepaskannya. Kemudian kita memiliki kebebasan untuk melangkah ke tahap pelayanan berikutnya. Perintah Yesus untuk “mengebaskan debu dari kaki kita” mengingatkan kita bahwa kita hanya bertanggung jawab atas ketaatan kita kepada Tuhan, bukan atas hasil dari ketaatan tersebut. Kita tidak perlu menjawab orang yang mau hidup dalam kebodohannya. Setiap orang pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan hidup mereka kepada Tuhan.