“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” 1 Korintus 1:18

Pertanyaan terbesar dalam hidup manusia bukanlah soal ekonomi, politik, atau kesehatan, melainkan soal hubungan kita dengan Tuhan. Alkitab jelas menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27). Namun, realitas di sekitar kita memperlihatkan bahwa banyak orang justru menolak keberadaan-Nya, menutup telinga terhadap suara-Nya, bahkan mengeraskan hati terhadap kasih-Nya yang sudah dinyatakan dalam Yesus Kristus.
Mengapa demikian? Apakah Allah yang salah karena tidak hadir? Ataukah manusia yang salah menafsirkan keberadaan-Nya?
1 Korintus 1:18–31 menggambarkan kebodohan Injil di mata dunia. Baik orang Yahudi maupun orang Yunani menolak gagasan tentang Kristus yang disalibkan. Dewa mana pun yang mati di kayu salib Romawi, terutama sebagai pengorbanan untuk dosa manusia, akan dipandang oleh mata duniawi sebagai dewa yang lemah dan bodoh. Namun, Allah akan mempermalukan orang bijak dan kuat dengan memberikan kemampuan untuk percaya kepada salib Kristus, terutama kepada orang yang lemah dan bodoh di dunia, dalam istilah manusia. Pada akhirnya, tak seorang pun akan bisa menyombongkan diri di hadapan-Nya tentang kekuatan dan kebijaksanaan mereka sendiri.
Dalam 1 Korintus 1:18 Paulus membagi dunia menjadi dua kelompok orang: mereka yang akan binasa dan mereka yang diselamatkan. Mereka yang akan binasa ditakdirkan untuk selamanya terpisah dari Allah, sementara mereka yang diselamatkan ditakdirkan untuk selamanya tinggal dalam kemuliaan Allah.
Bagi kelompok pertama—mereka yang akan binasa—salib Kristus adalah “kebodohan.” Istilah Yunani asli yang digunakan di sini adalah mōria, dari akar kata yang sama yang membentuk kata-kata bahasa Inggris seperti moron. Secara gamblang, Paulus mengatakan bahwa bagi dunia yang belum diselamatkan, mereka yang memberitakan Injil tampak seperti orang bodoh.
Pada zaman Paulus, salib masih digunakan secara luas oleh orang Romawi sebagai alat eksekusi publik. Itu adalah simbol kejahatan yang memalukan dan ketidakberdayaan di hadapan Kekaisaran Romawi yang berkuasa waktu itu. Salib Kristus adalah sesuatu yang bodoh dalam budaya Yunani dan Romawi bukan karena mereka ateis. Mereka percaya pada semua jenis dewa dan mengurutkannya berdasarkan kuasa yang mereka miliki atas alam dan manusia. Tetapi, salib Kristus adalah sesuatu yang bodoh bagi budaya pagan karena Yesus Kristus ditolak oleh umat-Nya sendiri dan disalibkan seperti penjahat biasa lainnya oleh penguasa Romawi. Dari perspektif Yunani dan Romawi, dan juga sampai zaman ini, itu bukanlah Tuhan yang layak disembah.
Dalam Kekristenan, orang fasik adalah orang yang menolak Tuhan, hidup dalam dosa, dan bertindak bertentangan dengan kehendak Allah. Mereka cenderung mengabaikan Firman Tuhan, mengikuti cara hidup duniawi, dan tidak memiliki rasa takut kepada Allah dan hukum-Nya. Lebih dari itu, secara umum, orang-orang fasik menganggap orang percaya, dan iman mereka kepada Yesus Kristus adalah kebodohan. Dengan demikian, orang-orang fasik (mungkin orang ateis, agnostik atau orang yang tidak percaya kepda Yesus) sering kali mengejek orang Kristen dan bahkan mengolok-olok Tuhan Yesus yang dipercayai umat-Nya sebagai Juruselamat.
Bagi mereka yang diselamatkan, karena iman mereka kepada Kristus, salib dipahami sebagai tindakan Allah yang paling berkuasa. Putra Allah tidak kalah dalam pertempuran melawan para pemimpin Yahudi atau pemerintah Romawi. Dia tidak dapat dikalahkan atau ditundukkan (Yohanes 10:17-18; 18:6; Matius 26:53). Tetapi, Allah Bapa mengorbankan Putra-Nya, Yesus, untuk dosa manusia. Yesus, meskipun memiliki kuasa dan otoritas Ilahi yang tak terbatas, menyerahkan nyawa-Nya untuk menutupi dosa-dosa mereka yang sedang binasa. Mereka yang percaya kepada Kristus memahami bahwa tanpa tindakan penuh kuasa itu, manusia akan tersesat dan tanpa harapan.
Dari pengalaman hidup dan kesaksian Alkitab, ada tiga alasan utama mengapa manusia dalam kebodohannya menolak Tuhan: (1) merasa tidak dikasihi-Nya, (2) merasa tidak memerlukan Dia, dan (3) merasa Dia tidak ada. Mari kita renungkan satu per satu.
1. Merasa Tidak Dikasihi-Nya
Banyak orang berpaling dari Tuhan karena luka batin yang mereka alami. Ada yang berdoa bertahun-tahun untuk kesembuhan, tetapi penyakitnya tidak juga hilang. Ada yang memohon agar keluarganya dipersatukan kembali, namun perceraian tetap terjadi. Ada pula yang kehilangan orang yang sangat dikasihi, lalu merasa Tuhan tidak peduli.
Seperti Ayub yang pernah berseru:
“Aku berteriak kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab; aku berdiri, tetapi Engkau hanya memperhatikan aku saja.” Ayub 30:20
Rasa ditinggalkan ini membuat manusia bertanya: “Kalau Tuhan kasih, mengapa semua ini terjadi padaku?”
Padahal, kasih Allah terbesar sudah nyata dalam salib Kristus. Rasul Paulus berkata:
“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Roma 5:8
Seringkali, manusia menafsirkan kasih Allah hanya sebatas pada kenyamanan hidup. Ketika doa tidak dikabulkan, mereka merasa Tuhan tidak mengasihi. Namun kasih sejati bukan berarti hidup tanpa penderitaan, melainkan hadirnya pengharapan di tengah penderitaan. Justru melalui salib, kita melihat bahwa Allah sanggup memakai penderitaan sebagai jalan menuju kemuliaan.
2. Merasa Tidak Memerlukan Dia
Alasan kedua datang dari mereka yang hidup berkecukupan. Dengan harta, ilmu, dan jabatan, manusia merasa bisa mengendalikan hidupnya. Tuhan dianggap tidak relevan.
Yesus pernah berkata kepada jemaat di Laodikia:
“Karena engkau berkata: Aku kaya, dan aku telah memperkayakan diriku, dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.” Wahyu 3:17
Kemandirian yang berlebihan membuat manusia menolak Tuhan. Mereka berpikir: “Mengapa saya perlu Tuhan, jika saya bisa meraih semua ini dengan usaha sendiri?”
Namun, kesombongan ini ibarat rumah megah tanpa fondasi. Saat badai datang—penyakit, kematian, atau krisis yang tak terkendali—baru disadari bahwa semua yang dibanggakan rapuh dan fana.
Seorang filsuf pernah berkata: “Manusia adalah makhluk yang baru menyadari kebutuhan akan Tuhan ketika ia berhadapan dengan kuburan.” Pada saat menghadapi kematian, semua prestasi dan kekayaan tidak bisa menolong, hanya Tuhan yang kekal yang sanggup memberi pengharapan.
3. Merasa Dia Tidak Ada
Ada juga orang yang menolak Tuhan karena mereka meyakini Dia tidak ada. Kaum ateis dan agnostik berkata bahwa Tuhan hanyalah ilusi, hasil ciptaan pikiran manusia. Mereka berpegang pada ilmu pengetahuan atau logika manusia, dan menolak segala sesuatu yang bersifat rohani.
Namun, Alkitab sudah menegaskan:
“Orang bebal berkata dalam hatinya: Tidak ada Allah.” Mazmur 14:1
Alasan ini seringkali bukan sekadar karena akal budi, tetapi karena keinginan untuk hidup tanpa firman Tuhan. Jika Tuhan tidak ada, maka tidak ada standar kebenaran yang absolut. Manusia bisa merasa bebas melakukan apa saja menurut hati nurani mereka tanpa kekuatiran untuk berbuat dosa.
Tetapi, meski menolak, hati manusia tetap merindukan makna. Seperti kata C.S. Lewis: “Jika saya menemukan dalam diri saya kerinduan yang tidak dapat dipuaskan oleh apa pun di dunia ini, penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa saya diciptakan untuk dunia lain.” Kerinduan akan sesuatu yang lebih besar dari dunia ini adalah tanda bahwa Allah itu ada.
Dari ketiga alasan ini, kita melihat bahwa penolakan manusia terhadap Tuhan berakar pada dosa dan kerapuhan hati. Dosa membuat manusia buta terhadap kasih Allah, sombong dalam apa yang dimilikinya, dan keras hati untuk mengakui keberadaan-Nya.
Perlu diingat, sebagian orang Kristen bisa juga mempunyai kebodohan yang serupa jika mereka membatasi kedaulatan Tuhan atas hidup mereka. Mereka menolak untuk tunduk kepada firman-Nya jika itu bertentangan dengan kemauan sendiri. Mereka ingin menjadi orang Kristen “biasa”, pergi ke gereja tapi di luar gereja hidup seakan Tuhan itu tidak ada.
Namun, kabar baiknya adalah: Allah tidak berhenti mengetuk pintu hati manusia. Yesus berkata:
“Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya.” Wahyu 3:20
Allah tidak memaksa, tetapi dengan kasih-Nya yang lembut Ia mengundang setiap orang untuk kembali. Bahkan ketika manusia menolak, Ia tetap setia menunggu.
Manusia bisa merasa tidak dikasihi, merasa tidak memerlukan, atau bahkan menyangkal keberadaan Tuhan. Namun, Allah tetap Allah yang penuh kasih. Ia tetap hadir, meskipun kita sering tidak menyadarinya. Yesus Kristus datang bukan untuk orang benar, melainkan untuk orang berdosa. Ia datang justru untuk mereka yang menolak, supaya mereka berbalik dan diselamatkan.
Hari ini, mari kita renungkan: apakah dalam hati kita masih ada area tertentu yang menolak Tuhan? Apakah kita pernah merasa ditinggalkan-Nya, atau merasa cukup tanpa Dia, atau meragukan keberadaan-Nya? Mari kita membuka hati, karena kasih-Nya selalu lebih besar daripada penolakan kita.
Doa Penutup
Tuhan yang penuh kasih, kami mengaku bahwa seringkali hati kami keras dan menolak Engkau. Kami merasa tidak dikasihi, padahal kasih-Mu tidak pernah berkurang. Kami merasa tidak memerlukan Engkau, padahal setiap nafas kami adalah anugerah-Mu. Kadang kami meragukan keberadaan-Mu, padahal seluruh ciptaan bersaksi tentang kuasa-Mu. Ampunilah kami, ya Tuhan. Lembutkan hati kami agar senantiasa terbuka kepada-Mu. Tolong kami untuk tetap percaya, sekalipun kami tidak mengerti jalan-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.