Mengenal Allah atau Menjadi Allah?

“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Roma 1:21

Di zaman modern, banyak orang tidak lagi menyebut diri mereka ateis. Sebaliknya, mereka mengaku “spiritual tapi bukan religius.” Mereka percaya ada “sesuatu” di luar sana, tetapi bukan Tuhan pribadi yang layak disembah. Mereka senang berbicara tentang energi kosmis, kesadaran universal, suara hati nurani, dan kekuatan semesta. Inilah salah satu ciri New Age Movement (NAM), sebuah arus spiritual global yang sudah meresap ke dalam musik, yoga, meditasi, psikologi populer, bahkan film-film Hollywood.

Pandangan seperti ini juga saya dengar dari seorang teman yang berkata: “Tuhan itu tanpa pamrih—tidak ingin dipuja. Kalau kita mau berterima kasih, baik. Kalau tidak, Tuhan juga tidak apa-apa. Semua hasil adalah usaha manusia sendiri.” Sepintas terdengar indah, tetapi di baliknya ada bahaya rohani yang besar.

Rasul Paulus sudah menyinggung hal ini dalam Roma 1:21. Walaupun manusia mengenal Allah melalui ciptaan-Nya, mereka menolak memuliakan Dia dan mengucap syukur. Akibatnya, pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka menjadi gelap. Mari kita renungkan firman ini dalam terang tantangan New Age Movement.

Dalam Roma 1:21 Paulus menulis kepada jemaat di Roma, pusat dunia filsafat, kebudayaan, dan kekaisaran. Orang Romawi dan Yunani kala itu mengagungkan hikmat manusia, namun sekaligus menyembah berhala. Mereka tahu ada kuasa ilahi dari ciptaan (Roma 1:20), tetapi menolak tunduk kepada Allah yang benar. Hasilnya? Dua hal:

  • Mereka tidak pernah memuliakan Tuhan.
  • Mereka tidak mau mengucap syukur kepada Tuhan.

Dari sini Paulus menunjukkan bahwa inti dosa adalah penolakan untuk memberi Allah tempat yang seharusnya. Bukan hanya perbuatan jahat, tetapi sikap hati yang menggantikan Tuhan dengan diri sendiri.

New Age Movement lahir dari perpaduan filsafat Timur (Hindu-Buddha), mistisisme, psikologi modern, dan sekularisme Barat. Dalam NAM, semua agama dianggap sama. Tidak ada satu jalan yang benar, semua relatif. Tidak ada dosa, hanya “kurang pencerahan.” Keselamatan adalah kesadaran diri. Dengan meditasi atau latihan batin, manusia dianggap bisa mencapai tingkat ilahi sepenuhnya. Tuhan adalah energi atau kesadaran universal. Bukan Pribadi yang berdaulat, melainkan semacam “kekuatan kosmis.” Manusia sebagai pusat. Kita semua adalah “ilahi kecil” yang hanya perlu dibangkitkan potensinya. Bagi pengikut NAM, menyembah Tuhan pribadi dianggap tidak perlu. Yang penting adalah “terhubung” dengan energi semesta atau menemukan “ilahi” di dalam diri.

Fenomena NAM sebenarnya bukan hal baru. Paulus sudah melihat gejalanya di dunia Yunani-Romawi. Filsuf Stoic misalnya, berbicara tentang logos, hukum kosmis, dan kebaikan universal, tetapi tanpa mengenal Allah pribadi. Filsuf Epicurean mencari kebahagiaan tanpa takut kepada Allah, hanya mengutamakan kesenangan. Masyarakat Romawi penuh dengan kuil dan patung, tetapi hatinya kosong dari penyembahan sejati. Sama seperti NAM, mereka mengaku bijaksana tetapi menjadi bodoh (Roma 1:22).

NAM tidak selalu muncul dalam bentuk agama formal. Ia sering menyusup dalam hal-hal yang tampak “biasa”. Misalnya, yoga atau meditasi yang diajarkan tanpa menyebut Tuhan, hanya untuk “membangkitkan energi.” Selain itu, mindfulness atau kesadaran pribadi versi sekuler yang mereka pakai, memisahkan diri dari doa kepada Allah. Banyak buku self-help yang berkata, “Percayalah pada dirimu sendiri, kamu adalah tuhan bagi dirimu. Semua ini membentuk cara berpikir yang sama: “Saya bisa hidup tanpa Tuhan.”

Tetapi Roma 1:21 mengingatkan: pikiran manusia tanpa Allah hanyalah sia-sia, hati manusia tanpa Allah hanyalah gelap. Manusia tidak bisa menyelamatkan diri. Kita mati dalam dosa (Efesus 2:1). Sebaliknya, keselamatan hanya anugerah. Bukan hasil usaha, meditasi, atau kesadaran diri (Efesus 2:8–9). Kristus adalah pusat, bukan manusia. Dialah yang mati dan bangkit untuk kita. Ucapan syukur dan penyembahan adalah respon alami orang yang sudah diselamatkan.

NAM berkata: “Carilah kekuatan dalam dirimu.”

Injil berkata: “Tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:5).

Di tengah dunia yang penuh “spiritualitas” palsu, orang Kristen harus berwaspada terhadap filsafat kosong. Kolose 2:8 berkata: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun manusia dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”

Pagi ini kita diingatkan untuk hidup dalam ucapan syukur. Setiap hari mengingat bahwa segala sesuatu dari Tuhan, bukan hasil usaha kita sendiri. Kiranya kita selalu memilih untuk memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya setiap hari.

Pertanyaan Reflektif:

  • Apakah saya pernah merasa Tuhan tidak perlu, karena semua bisa saya lakukan dengan usaha sendiri?
  • Apakah saya sungguh hidup dalam ucapan syukur kepada Tuhan, atau hanya mengucap syukur atas keberuntungan saya?
  • Apakah saya sedang terjebak dalam tren “spiritualitas modern” yang tidak mengenal Kristus?

Doa Penutup:

“Tuhan, jangan biarkan aku tertipu oleh filsafat dunia yang menyingkirkan-Mu. Ajar aku mengucap syukur, memuliakan-Mu, dan mengakui bahwa hidupku hanya dari-Mu. Jauhkan aku dari kesombongan rohani, dan penuhi aku dengan kasih Kristus setiap hari. Amin.”

Tinggalkan komentar