Apakah Anda Mata Duitan?

Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Ibrani 13:5

Tidak ada orang yang mau disebut “mata duitan.” Anda mungkin marah jika dituduh “mata duitan”. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, orang sering memakai istilah ini untuk orang-orang yang mempunyai profesi tertentu seperti dokter, polisi, dan akhir-akhir ini, anggota DPR.

Sebenarnya, untuk menjadi “hamba uang” seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas orang tidak perlu menjadi mata duitan atau menjadi orang yang loba akan uang; serakah akan uang; yang hanya mementingkan uang. Tetapi, tentunya semua orang yang bukan hamba Kristus adalah hamba uang, hamba karir, hamba berhala, dsb.

Lalu apa artinya istilah “hamba uang” dalam ayat ini, jika itu tidak identik dengan “mata duitan”? Jika diselidiki lebih dalam, hamba uang di sini adalah orang Kristen yang mencintai uang lebih daripada Kristus. Mereka rajin bekerja siang malam, tetapi lalai berdoa atau ke gereja. Mereka gigih mengejar karier, tetapi sering mengabaikan keluarga. Mereka tekun menabung, tetapi kikir memberi. Itu tanda-tanda seseorang sudah diperbudak oleh uang.

Dalam masyarakat modern, uang menempati posisi yang sangat penting. Hampir semua aspek kehidupan berkaitan dengan uang: makan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, bahkan relasi sosial. Tidak heran jika banyak orang mengejar uang dengan sepenuh tenaga, bahkan rela mengorbankan waktu, kesehatan, keluarga, dan keutuhan spiritual mereka.

Obsesi yang tidak sehat terhadap uang berkaitan erat dengan dosa ketidakpuasan. Hal ini disiratkan Alkitab dengan kata-kata seperti “mengingini” (Keluaran 20:17; Yakobus 4:2) dan “cemburu” (Yakobus 3:16).

Alih-alih tidak bahagia atas apa yang tidak kita miliki, orang Kristen seharusnya bersyukur atas apa yang kita miliki dan berharap atas apa yang akan kita peroleh suatu hari nanti (Ibrani 11:14-16). Landasan dari perspektif yang percaya, puas, dan berwawasan ke depan ini adalah hubungan yang benar antara orang percaya dengan Kristus (Ibrani 12:2).

Rasul Paulus selain menulis tentang hamba uang dalam kitab Ibrani, juga menulis bahayanya:

Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. 1 Timotius 6:10

Di sini, Paulus menyebutkan tema umum lain dari moralitas alkitabiah: bahaya keserakahan. Frasa “uang adalah akar segala kejahatan” sebenarnya tidak alkitabiah, karena kekayaan dapat digunakan dan dinikmati dengan benar tanpa dosa (Roma 14:14). Tetapi, Alkitab memang mengatakan, dalam 1 Timotius 6:10, bahwa “cinta uang adalah akar segala kejahatan.” Ayat itu mencatat bahwa keinginan yang tidak sehat akan kekayaan telah menyebabkan kehancuran banyak kehidupan.

Perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dengan hidup sebagai hamba uang. Yang pertama adalah panggilan mulia—Tuhan sendiri memerintahkan kita untuk rajin bekerja, supaya bisa memberi nafkah kepada keluarga dan menolong sesama. Tetapi yang kedua adalah perbudakan rohani—ketika uang menjadi tuan atas hidup kita, dan Kristus tidak lagi yang utama.

Kedua ayat di atas (Ibrani 13:5 dan 1 Timotius 6:10) bukan sekadar nasihat moral, melainkan sebuah peringatan rohani: cinta uang bisa membuat seseorang batal menjadi hamba Kristus. Ibrani 13:5 menekankan bahwa cinta uang membuat orang tidak pernah puas. Sebaliknya, orang percaya dipanggil untuk hidup dalam kepuasan rohani karena janji Tuhan yang setia. 1 Timotius 6:10 mengingatkan bahwa cinta uang bukan hanya masalah pribadi, tetapi bisa menjadi akar kejahatan sosial: korupsi, penindasan, iri hati, pertikaian, bahkan kejatuhan iman. Dengan kata lain, cinta uang bukan sekadar kelemahan kecil, melainkan penyakit rohani yang mematikan hidup kita di dunia jika tidak ditangani.

Kerja keras yang sehat dilakukan sebagai panggilan Tuhan. Seorang ayah atau ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mendidik anak, memberi nafkah dengan jujur. Dalam hal ini, uang hanyalah alat, bukan tujuan. Kerja keras sebagai hamba uang terjadi ketika uang menjadi tujuan utama. Orang bekerja bukan lagi untuk Tuhan atau keluarga, tetapi demi prestise, ambisi, atau demi menumpuk harta, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Akhirnya, hidupnya dikuasai oleh rasa takut kehilangan dan ketidakpuasan yang tidak pernah berakhir..

Hidup sebagai hamba uang tidak pernah membawa kebahagiaan sejati. Justru sebaliknya, hidup sedemikian penuh dengan kekuatiran Semakin banyak harta yang dikumpulkan, semakin besar pula rasa takut kehilangannya. Orang tidak bisa tidur karena khawatir dengan bisnis, harga saham, atau persaingan. Hidup seperti itu tidak pernah puas. Pepatah yang cocok untuk sikap itu adalah: “Cukup itu selalu lebih dari apa yang kita miliki sekarang.”

Orang yang cinta uang selalu merasa kurang. Banyak keluarga hancur karena perebutan warisan. Banyak persahabatan retak karena uang. Hidup kehilangan arah rohani Yesus sendiri berkata: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Siapa yang memilih Mamon, akan jauh dari Kristus.

Sebaliknya, orang percaya dipanggil untuk hidup sebagai hamba Kristus. Apa artinya? kita harus menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber rasa aman. Bukan tabungan, bukan investasi, bukan asuransi, melainkan janji Allah: “Aku tidak akan meninggalkan engkau.” Menggunakan uang sebagai sarana, bukan tujuan. Uang dipakai untuk memenuhi kebutuhan seperlunya, membiayai pendidikan, dan terutama untuk menjadi berkat bagi sesama.

Uang juga dipakai untuk melatih hati melalui memberi. Paulus menulis bahwa orang kaya dalam iman harus kaya dalam kebajikan dan siap berbagi (1 Timotius 6:17–19). Dengan memberi, kita belajar melepaskan keterikatan pada harta. Memberi membuat uang tetap di tempatnya: sebagai alat, bukan tuan.

Masyarakat modern menjadikan uang sebagai berhala baru. Tetapi orang percaya dipanggil untuk hidup berbeda: bukan diperbudak uang, melainkan menggunakannya sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan. Kekayaan sejati bukan terletak pada seberapa banyak harta kita, melainkan pada seberapa dalam relasi kita dengan Kristus dan seberapa besar kasih kita kepada sesama.

Pertanyaan Reflektif:

  • Apakah saya sedang bekerja demi Tuhan, atau demi uang semata?
  • Apakah saya merasa aman karena tabungan dan investasi saya, atau karena penyertaan Tuhan?
  • Apakah saya hidup dengan hati yang puas, atau terus dikuasai rasa iri hati dan ambisi?
  • Apakah saya rela melepaskan sebagian dari harta saya untuk menolong sesama, atau justru sulit sekali untuk memberi?

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, ampunilah kami bila seringkali hati kami lebih melekat pada uang daripada pada-Mu. Tolonglah kami agar hidup bebas dari cinta uang, cukup dengan apa yang ada, dan percaya bahwa Engkau tidak akan meninggalkan kami. Ajarlah kami menjadi pengelola yang setia, memakai uang untuk kemuliaan-Mu, bukan sebagai tuan atas hidup kami. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar