Berbahagia dalam Penderitaan karena Kristus

” Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Matius 5:11

Kata “berbahagialah” terdengar indah, tetapi ketika Yesus berkata, “Berbahagialah kamu yang dianiaya karena Aku,” banyak orang berhenti sejenak dan bertanya: “Bagaimana mungkin seseorang bisa berbahagia ketika disakiti, ditolak, atau difitnah?”

Memang pada saat Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit, penderitaan dan penganiayaan belum terjadi pada mereka yang mengikuti-Nya. Namun, berkat Yesus ini berfungsi sebagai peringatan dini bahwa pelecehan semacam itu akan datang (Yohanes 16:1-4). Dalam ayat berikutnya, Yesus akan melanjutkan penjelasannya mengapa mereka yang menderita karena terhubung dengan-Nya sudah diberkati di surga.

Sebenarnya dalam hidup setiap orang bisa disakiti, ditolak, atau difitnah, kapan saja dan di mana saja. Di rumah, sekolah, kantor, dan bahkan di gereja, kita bisa saja mengalami hal-hal yang membuat kita menderita. Apalagi, di zaman ini pergaulan bisa dilakukan di dunia maya, di mana hal-hal yang tidak baik bisa terjadi tanpa sanksi atau hukuman.

Namun Yesus tidak sedang berbicara tentang kebahagiaan duniawi. Ia tidak juga menyinggung penderitaan yang kita alami yang datang dari persoalan duniawi. Ia berbicara hanya tentang penderitaan yang kita alami karena iman kita dalam Yesus Kristus. Dalam hal itu, Ia berbicara tentang sukacita rohani yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang menyatu dengan Allah. Sukacita yang tidak tergantung pada situasi, melainkan pada kehadiran Kristus di dalam diri kita.

Mungkin ada yang bertanya: apakah baik jika kita berusaha mencari tantangan iman agar kita bisa lebih berbahagia? Jawabnya jelas: Tidak. Yesus tidak mengajar kita untuk mencari penderitaan. Tidak ada rasul yang sengaja mencari gara-gara supaya bisa dianiaya. Tidak ada murid Kristus yang bangga karena dibenci orang lain. Tapi mereka sadar bahwa itu akan dan bisa terjadi, dan mereka siap menerima akibatnya.

Yang Yesus maksud adalah jika kita tetap setia kepada-Nya, dan karena itu kita dicela atau difitnah, jangan takut, jangan akan tawar hati — sebab kita tidak akan sendirian.

Yesus juga berkata,

“Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala; sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Matius 10:16)

Dalam hal ini, kita dipanggil untuk berhikmat, bukan untuk nekat. Kita dipanggil untuk tetap tulus, bukan untuk memancing atau mengobarkan kebencian. Kesetiaan kepada Kristus bukan berarti kita harus menjerumuskan diri ke dalam bahaya, tetapi berarti kita tidak menyerah dalam kebenaran dan kasih, sekalipun dunia menolak kita.

Yesus memberikan prinsip yang bijaksana ketika Ia mengutus murid-murid-Nya, Ia berkata,

“Apabila kamu tidak diterima di suatu tempat, kebaskanlah debu dari kakimu.” (Markus 6:11)

Artinya, ketika kebaikan dan kasih kita ditolak, kita tidak perlu memaksakan diri. Kita boleh mengebaskan debu dan berjalan lanjut — bukan karena dendam, tetapi karena ini adalah lebih berguna untuk hidup dan pelayanan kita sebagai hamba Kristus. Seorang hamba yang baik tidak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna bagi majikannya, dan karena itu kita harus bijaksana dalam menggunakan kesempatan yang ada.

Mengebaskan debu bukan tanda menyerah. Itu tanda berserah. Sebuah pengakuan bahwa kita sudah melakukan bagian kita, dan sekarang waktunya menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Tuhan tidak meminta kita menanggung beban yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia hanya meminta kita tetap memiliki hati yang bersih, tanpa dendam dan tanpa kepahitan, dan terus melaksanakan tugas kita pada kesempatan lain.

Memang dunia tidak selalu menyambut terang Kristus dengan sukacita. Adanya terang sering kali membuat orang yang hidup dalam kegelapan merasa terganggu. Ketika kita jujur, ada yang mencibir. Ketika kita tulus, ada yang menuduh. Ketika kita setia kepada Kristus, ada yang menertawakan kita. Tetapi Yesus sendiri sudah lebih dahulu mengalaminya.

Orang percaya sejati di dalam Kristus adalah orang benar di mata Allah (Roma 3:21-22; 2 Korintus 5:21; Filipi 1:11). Pengakuan iman kita kepada Yesus Kristus dan cara hidup moral orang Kristen sejati terbukti menyinggung dunia, yang mengakibatkan penganiayaan demi kebenaran. Yesus menghadapi penganiayaan dan dibenci dunia, begitu pula semua orang yang menjadi milik Kristus: “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu seperti miliknya. Tetapi kamu bukanlah dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia; sebab itulah dunia membenci kamu” (Yohanes 15:19).

Jika kita benar-benar mengikuti Dia, tidak mengherankan bila dunia pun memperlakukan kita seperti Dia. Para rasul mengerti hal ini. Setelah mereka dipukuli dan diancam karena memberitakan Kristus, mereka keluar dari mahkamah agama sambil bersukacita,karena dianggap layak menderita demi nama Yesus (Kisah 5:41). Mereka tidak marah, tidak membalas, tidak menuntut.Mereka tahu bahwa penderitaan itu bukan aib —melainkan kehormatan dari Allah.

Namun kita perlu jujur juga: tidak semua penderitaan adalah penderitaan karena Kristus. Kadang orang merasa dianiaya karena “kebenaran”, padahal yang menimbulkan masalah adalah ego, cara bicara yang sembarangan, atau sikap yang tidak bijak. Penderitaan seperti itu tidak menghasilkan pahala rohani, tetapi pelajaran untuk rendah hati.

Petrus menulis,

“Alangkah baiknya jika seorang menanggung penderitaan karena berbuat baik, dan bukan karena berbuat jahat.” (1 Petrus 2:20)

Sukacita yang Yesus maksud bukanlah tertawa di tengah air mata, tetapi damai yang melampaui pengertian. Sebuah ketenangan dapat kita peroleh dari keyakinan kita akan kedaulatan Tuhan: “Tuhan tahu apa yang akan terjadi padaku” (Matius 10:30). Damai ini tidak bisa dirampas oleh siapa pun, karena berasal dari keyakinan bahwa Tuhan memegang kendali.

Namun menguasai hati di tengah celaan bukan hal yang mudah. Kita perlu latihan — disiplin iman. Sama seperti otot yang dilatih dengan beban, jiwa kita pun perlu dilatih dengan pengendalian diri dan kesabaran. Setiap kali kita tergoda untuk membalas, itulah saatnya berlatih menahan diri. Setiap kali kita difitnah, itulah saatnya berdoa dan menyerahkan luka kepada Tuhan. Setiap kali kita tetap memilih mengasihi, itulah saat kita sedang menang — bukan kalah.

Kadang latihan ini membuat hati perih, tetapi justru di situlah kasih diuji. Kita belajar bahwa tidak semua tuduhan harus dibantah, tidak semua luka harus dibalas, dan tidak semua penolakan harus dikejar. Ada kalanya yang terbaik adalah diam, mengebaskan debu dari kaki, dan berjalan maju bersama Kristus yang memahami segalanya.

Yesus menutup ajaran-Nya dengan janji indah: “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.”(Matius 5:12). Dunia mungkin tidak memberi tepuk tangan, tetapi surga menanti dengan mahkota. Kita tidak perlu mencari penderitaan, tetapi ketika penderitaan datang karena kesetiaan kita, biarlah kita menyambutnya dengan damai. Dan bila tiba saatnya mengebaskan debu, lakukanlah dengan kasih, bukan dengan amarah.

Berbahagialah bukan karena kita dianiaya, tetapi karena Kristus hidup di dalam kita. Berbahagialah bukan karena dunia menolak kita, tetapi karena kita tidak menolak kasih-Nya. Berbahagialah karena di tengah fitnah dan celaan, karena kita tetap memiliki damai sejahtera yang tidak dapat dirampas oleh siapa pun.

Kiranya setiap celaan yang datang justru menjadi kesempatan bagi kita untuk memancarkan kasih Kristus. Dan ketika kaki kita berdebu oleh perjalanan yang panjang, semoga kita selalu ingat untuk mengebaskannya — bukan karena menyerah, tetapi karena berserah. Alih-alih merasa kecil hati, cemas, marah, atau tertekan, orang percaya yang dianiaya karena hidup secara terbuka bagi Kristus dan kerajaan-Nya memiliki alasan yang baik untuk bersukacita dan bergembira—karena pahala mereka di surga sangat besar.

Tinggalkan komentar