“Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Filipi 2:3–4

Di Indonesia mungkin frasa “ladies first” mungkin jarang di dengar, kecuali dalam kalangan orang yang terbiasa dengan budaya barat. Frasa ini dalam bahasa Inggris berarti “wanita lebih dulu”, sebuah ungkapan kesopanan yang mempersilakan kaum wanita untuk mendahului pria dalam situasi tertentu seperti masuk atau keluar ruangan, mengantre makanan dan sebagainya. Ungkapan ini bisa menandakan penghargaan terhadap wanita, meskipun ada juga perdebatan mengenai asal-usulnya yang konon berasal dari etiket kesatria abad pertengahan untuk melindungi wanita dari bahaya.
Pada zaman modern, wanita tidak dipandang sebagai makhluk yang lebih lemah dari pria. Tetapi, secara umum, “ladies first” tetap merupakan gestur sopan santun yang menunjukkan rasa hormat dengan mempersilakan wanita untuk mendahului pria. Tindakan ini sering kali dilakukan untuk membuat wanita merasa dihargai, didahulukan, dan diperhatikan. Sebaliknya, bagi kaum pria, ini dipandang sebagai etiket pergaulan yang baik yang seharusnya dimiliki oleh semua pria yang tahu sopan santun. Selain “ladies first”, terkadang frasa “ladies and children first” sekarang kadang-kadang masih ditemui sekalipun tidak ditetapkan hukum, untuk mendahulukan kaum wanita dan anak-anak pada situasi tertentu, seperti menaiki perahu atau kendaraan lain.
Bagaimana dengan konsep mendahulukan orang lain menurut Alkitab? Kita bisa belajar dari ayat-ayat di atas. Kehidupan jemaat di Filipi pada masa Paulus sebenarnya cukup baik. Mereka dikenal sebagai jemaat yang penuh kasih dan dermawan, bahkan membantu pelayanan Paulus ketika ia berada di penjara. Namun, di balik semangat itu, tersimpan benih-benih perpecahan kecil. Ada anggota jemaat yang merasa lebih penting, ada yang ingin diakui, dan ada pula yang berjuang mempertahankan pandangannya sendiri. Paulus, yang begitu mengenal jemaat itu dengan kasih pastoral, menulis dengan lembut tetapi tegas: “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.”
Konteks nasihat ini bukan hubungan dengan orang luar atau masyarakat umum, melainkan hubungan antar jemaat, antar sesama orang percaya yang sudah ditebus Kristus. Paulus tahu, jika tubuh Kristus di Filipi retak karena ambisi pribadi dan kebanggaan rohani, maka kesaksian mereka di hadapan dunia akan kehilangan maknanya. Kerendahan hati bukan sekadar sikap sopan atau etika sosial, melainkan cerminan kasih Kristus sendiri yang hidup di dalam umat-Nya.
Paulus menegaskan bahwa orang percaya dipanggil untuk menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. Kristus, yang memiliki segala kemuliaan dan kuasa, justru mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, dan taat sampai mati di kayu salib. Inilah inti dari iman Kristen: kasih yang rela menanggalkan hak demi kepentingan orang lain. Bagi Paulus, kerendahan hati bukan kelemahan, melainkan kekuatan rohani yang lahir dari pengenalan akan kasih karunia Tuhan.
Jika kita merenungkan ayat ini dalam kehidupan jemaat masa kini, kita bisa melihat betapa relevannya pesan ini. Banyak gereja modern yang memiliki liturgi indah, pelayanan lengkap, dan aktivitas padat, tetapi di dalamnya kadang muncul persaingan halus — siapa yang lebih dihormati, siapa yang lebih “rohani,” siapa yang lebih didengar. Lebih dari itu, terkadang sebagian para pemimpin gereja mungkin ada yang merasa bahwa mereka seharusnya menerima penghormatan dan prioritas yang lebih besar dari orang lain. Dalam situasi seperti ini, nasihat Paulus bergema kembali: berilah kesempatan bagi orang lain.
Memberi kesempatan bukan berarti mengabaikan diri sendiri atau meniadakan kebutuhan pribadi. Paulus tidak meminta jemaat untuk hidup dalam ketimpangan, tetapi untuk menyeimbangkan kepentingan diri dan sesama dengan kasih yang tulus. Dalam gereja, memberi kesempatan bisa berarti mendengarkan sebelum menilai, berbagi kesempatan pelayanan tanpa iri hati, memberi dorongan ketika yang lain tampil di depan, dan menerima bahwa cara Tuhan bekerja melalui setiap orang bisa berbeda-beda dan setiap orang mempunyai kelemahan dan kekuatan tersendiri.
Kita sering melihat bagaimana perbedaan pendapat dalam pelayanan bisa menimbulkan luka. Selain itu, kita sadar bahwa setiap manusia umumnya cenderung menuntut perhatian dan penghargaan orang lain. Namun, jika kita meneladani Kristus yang tidak menuntut hak-Nya, maka kita akan belajar menundukkan diri bukan karena kalah, melainkan karena kasih. Kerendahan hati tidak membuat kita kecil, justru membesarkan ruang hati agar kasih Kristus dapat bekerja melalui kita. Kesediaan untuk mendahulukan kepentingan orang lain adalah kualitas kekristenan yang diajarkan Paulus.
Alkitab mengajarkan bahwa perbuatan baik kita seharusnya terlihat oleh orang di luar gereja sehingga mereka memuliakan Bapa di surga. Kutipan utama yang mendukung hal ini adalah Matius 5:16 yang menyatakan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga”. Hal ini bertujuan agar kebaikan kita bukan untuk diri sendiri, melainkan sebagai kesaksian akan kehadiran Allah dan memimpin orang lain kepada kebenaran.
Pagi ini kita belajar bahwa kasih yang sejati tidak bersaing untuk menonjol, tetapi bersaing untuk melayani. Dan hanya kasih Kristus yang bisa menumbuhkan semangat itu. Ketika kita memandang orang lain melalui mata Allah, kita tidak lagi melihat saingan atau ancaman, melainkan sesama yang dikasihi Tuhan. Kita tidak lagi menghitung siapa lebih besar, tetapi bersyukur bahwa setiap orang mendapat bagian yang indah dalam rencana-Nya.
Kerendahan hati dan kasih dalam jemaat bukanlah hasil usaha manusia semata, melainkan karya Roh Kudus dalam hati yang telah dikosongkan. Maka doa kita hari ini kiranya sederhana tetapi dalam: “Ya Tuhan, tolong aku untuk mengosongkan diriku dan memberi ruang bagi sesamaku.” Dengan demikian, gereja bukan sekadar tempat beribadah, melainkan rumah kasih di mana setiap orang belajar melihat dan melayani dengan hati Kristus.
“Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Markus 10:43-45