“Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” Mazmur 103:2

Banyak orang yang tidak percaya kepada Tuhan mengatakan, “Kalau Tuhan itu benar-benar ada dan Mahakuasa, mengapa Dia perlu disembah? Bukankah Tuhan itu Mahasempurna dan tidak membutuhkan apa pun dari manusia?” Pertanyaan serupa mungkin muncul dalam hati Anda berkenaan dengan berapa sering kita harus berbakti kepada-Nya. Mengapa, Tuhan memerintahkan kita untuk selalu ingat untuk menyembah Dia?
Sekilas, pernyataan ini terdengar logis. Orang bisa saja membayangkan penyembahan Tuhan seperti kewajiban untuk menyenangkan seorang raja yang haus pujian. Apalagi, ada agama-agama tertentu yang tidak menekankan penyembahan ilahi, tetapi mementingkan perbatan baik. Asal kita rajin berbuat baik, masa depan kita akan baik. Tetapi, konsep penyembahan Tuhan menurut Alkitab jauh dari itu. Ini bukan soal Tuhan “butuh” penyembahan kita, tetapi soal siapa kita di hadapan-Nya.
Tuhan tidak menciptakan manusia karena Ia kesepian atau kurang pujian. Dia adalah Allah yang self-sufficient — cukup dalam diri-Nya sendiri. Tetapi Ia menciptakan kita untuk hidup dalam relasi kasih dengan-Nya. Penyembahan adalah bagian dari relasi itu — ekspresi kasih, ucapan syukur, dan pengakuan atas kemuliaan dan kedaulatan-Nya.
Beberapa poin penting yang perlu kita ingat:
1. Tuhan Tidak Membutuhkan Kita — Tapi Kita Membutuhkan Dia
Alkitab dengan jelas menyatakan:
“Allah, yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil buatan tangan manusia, dan Ia juga tidak dilayani oleh tangan manusia seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.” Kisah Para Rasul 17:24–25
Tuhan tidak pernah meminta penyembahan karena kekurangan. Ia adalah sumber hidup. Justru sebaliknya, kitalah yang membutuhkan Dia. Seperti tanaman tidak bisa hidup tanpa matahari, demikian pula jiwa manusia tidak bisa hidup tanpa hadirat Allah. Ketika manusia menyembah, ia memilih untuk kembali ke posisi semula, sewaktu dia baru diciptakan — sebagai makhluk yang bergantung dan bersyukur kepada Penciptanya.
2. Penyembahan Menyembuhkan Jiwa Kita
Mazmur 103 dimulai dengan seruan pribadi Daud kepada dirinya sendiri: “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” Ia tidak sedang memerintah orang lain — ia sedang mengingatkan dirinya sendiri untuk bersyukur.
Penyembahan bukan untuk menyenangkan Tuhan, tetapi untuk menyelaraskan hati kita dengan Dia. Saat kita menyembah, kita mengingat kasih setia dan kebaikan-Nya, melepaskan beban kekhawatiran, menempatkan diri dalam posisi rendah hati di hadapan kemuliaan Allah,dan menyadari kembali siapa kita dan siapa Tuhan.
Penyembahan adalah terapi rohani bagi jiwa manusia yang mudah lupa. Dunia mengajarkan kita untuk memuja diri sendiri, tetapi penyembahan mengembalikan fokus kita kepada Tuhan yang layak dimuliakan.
3. Jika Kita Tidak Menyembah Tuhan, Kita Akan Menyembah yang Lain
Alkitab mengingatkan kita bahwa ketika manusia menolak menyembah Sang Pencipta, mereka akan menyembah benda atau makhluk lain yang diciptakan Allah. Ini adalah suatu kebodohan yang luar biasa.
“Mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja serta menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya…” Roma 1:25
Ini berarti penyembahan bukan pilihan antara “ya atau tidak” — melainkan “kepada siapa.” Kalau bukan Tuhan, maka uang, kuasa, prestasi, kesenangan, tokoh yang dikagumi, atau diri sendirilah yang akan menjadi “allah” dalam hidup kita. Dan semua allah palsu itu tidak dapat menyelamatkan. Inilah suatu ironi karena banyak orang merasa “bebas” karena tidak menyembah Tuhan, padahal mereka sedang diperbudak oleh berhala yang mereka sembah secara tak sadar.
4. Penyembahan Adalah Respon Kasih, Bukan Kewajiban karena Terpaksa
Tuhan tidak memaksa penyembahan seperti diktator haus kuasa. Ia mengundang kita untuk mengasihi-Nya karena Ia terlebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Ketika kita mengingat salib Kristus — bahwa Yesus mati menggantikan kita yang berdosa — maka penyembahan bukan beban, tetapi kerinduan. Orang yang menyadari kasih karunia Allah akan secara alami menyembah-Nya. Seperti seorang anak kecil yang memeluk ayahnya karena diselamatkan dari bahaya, demikianlah penyembahan sejati lahir dari hati yang bersyukur.
5. Penyembahan Membentuk Karakter Kekal
Di surga nanti, tidak akan ada dosa, tidak ada kesedihan, tidak ada perebutan kuasa — tetapi akan ada penyembahan yang kekal (Wahyu 7:9–12). Mengapa? Karena penyembahan adalah kehidupan manusia sebagaimana seharusnya: hidup dalam kasih, kekaguman, dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Saat kita belajar menyembah Tuhan di dunia ini, kita sedang dibentuk untuk kehidupan kekal itu. Penyembahan bukan tugas sementara, melainkan latihan untuk hidup dalam kekekalan. Mereka yang tidak pernah mau belajar menyembah Tuhan, pada akhirnya mungkin tidak akan berdiam bersama Tuhan di surga.
Refleksi Pribadi:
Banyak orang salah paham tentang penyembahan karena melihatnya sebagai “kewajiban religius.” Tapi penyembahan sejati bukan soal rutinitas, melainkan relasi. Ketika hati kita jauh dari Tuhan, penyembahan terasa berat. Tapi ketika kita mengenal kasih-Nya yang besar, penyembahan menjadi sukacita.
Mazmur 103 bukan hanya perintah, tetapi ajakan lembut: “Pujilah Tuhan, hai jiwaku…” Ini adalah panggilan untuk mengingat semua kebaikan Tuhan — pengampunan, pemulihan, dan kasih setia yang tidak pernah berhenti. Dalam dunia yang penuh kebisingan, penyembahan mengarahkan hati kita kembali kepada Dia.
Doa Penutup:
Tuhan, Engkau tidak membutuhkan pujian kami, tetapi kami membutuhkan Engkau. Ajari kami untuk menyembah-Mu dengan hati yang bersyukur, bukan karena kewajiban, tetapi karena kasih yang Kau curahkan kepada kami. Ampuni kami bila kami sering melupakan kebaikan-Mu. Pulihkanlah jiwa kami, dan jadikan hidup kami pujian bagi nama-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.