“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” Efesus 4:26

Satu hal yang harus saya akui adalah sulitnya bagi saya untuk menghindari kemarahan. Saya pernah bertanya bagaimana caranya kepada beberapa teman saya yang sepertinya tidak pernah marah. Kebanyakan jawaban yang saya terima adalah bantahan bahwa mereka tidak pernah marah. Siapa sih yang tidak pernah marah? Mereka juga marah pada saat mengalami sesuatu yang menyinggung perasaan; hanya saja, itu mungkin tidak terlihat karena mereka bisa mengendalikan emosi.
Setiap orang tentu pernah marah. Amarah adalah emosi alami yang Tuhan tanamkan dalam diri manusia. Marah bukanlah dosa itu sendiri, karena bahkan Tuhan Yesus pernah menunjukkan kemarahan-Nya ketika melihat rumah Allah dijadikan sarang penyamun. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengendalikan amarah itu. Jika tidak dikendalikan, amarah bisa melahirkan dosa. Sebaliknya, jika diarahkan dengan benar, amarah bisa menjadi tenaga untuk menegakkan kebenaran.
Firman Tuhan melalui Rasul Paulus dalam Efesus 4:26 mengingatkan kita dengan jelas: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” Ayat ini seakan menegaskan dua hal penting:
1. Marah boleh, tetapi jangan jatuh ke dalam dosa. Marah harus segera dipadamkan, jangan dipelihara sampai berlarut-larut.
Sayangnya, dalam kenyataan sehari-hari, betapa mudahnya kita melupakan peringatan ini. Kita sering merasa wajar untuk menyimpan kemarahan, bahkan kadang kita memeliharanya berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Padahal, amarah yang dibiarkan bisa menjadi racun yang merusak jiwa kita dan menghancurkan hubungan kita dengan orang lain.
2. Marah Itu Mudah, Menguasai Amarah Itu Sulit
Mengapa kita begitu gampang marah? Karena amarah muncul secara spontan sebagai respon terhadap situasi yang tidak kita sukai. Marah ketika disakiti, diremehkan, atau diperlakukan tidak adil adalah hal yang wajar. Namun, yang sulit adalah menguasai diri dalam kemarahan itu.
——————–
Kita bisa melihat betapa besar tantangannya. Menguasai amarah tidak terjadi secara otomatis. Sama seperti tubuh kita perlu dilatih untuk sehat melalui olahraga, begitu pula jiwa kita perlu dilatih untuk menguasai diri. Mengendalikan amarah membutuhkan latihan dan disiplin rohani. Tanpa itu, kita akan selalu dikuasai emosi, bukan menguasai emosi.
Lalu bagaimana kalau kita menghindari kemarahan dengan mengabaikan apa yang terjadi? Banyak orang yang berpikir bahwa ini adalah cara yang terbaik. Tetapi ini bukanlah pesan Alkitab. Alkitab tidak melarang kita marah atau menganjurkan kita untuk tidak marah. Sebab sebagai ciptaan Tuhan berdasarkan gambar-Nya, kita diberi kemampuan untuk marah. Jika kita tidak pernah marah, itu mungkin berarti kita sering mengabaikan adanya kejahatan kepada diri kita, kepada orang lain dan kepada bahkan Tuhan kita. Tuhan sendiri bisa marah, tetapi Ia tetap suci. Karena itu, masalahnya adalah bagaimana kita bisa marah dan tetap mempertahankan kesalehan.
Alkitab Menunjukkan Pentingnya Latihan Rohani
Paulus menulis kepada Timotius: “Latihlah dirimu beribadah.” (1 Timotius 4:7). Kata “latihlah” di sini berasal dari kata Yunani gumnazo, yang berarti berlatih seperti seorang atlet. Seorang atlet tidak akan pernah berprestasi tanpa latihan terus-menerus, pengulangan, disiplin, dan pengendalian diri.
Demikian pula dalam hal mengendalikan amarah. Tidak cukup hanya tahu bahwa kita harus sabar. Tidak cukup hanya mendengar khotbah atau membaca ayat. Kita harus berlatih untuk sabar. Kita harus melatih diri untuk menahan diri ketika marah. Tanpa disiplin, kita akan jatuh lagi dan lagi ke dalam dosa yang sama.
Latihan Menguasai Amarah
Bagaimana cara melatih diri untuk menguasai amarah? Belajar mengenali pemicu amarah Setiap orang punya titik lemah yang berbeda. Ada yang mudah marah jika diremehkan, ada yang cepat emosi jika pekerjaannya dikritik, ada juga yang tersulut ketika menghadapi kemacetan. Dengan mengenali pemicu amarah, kita bisa lebih waspada sebelum emosi itu meledak. Sering kali, kita bisa menghindari kemarahan dengan menjauhkan diri dari suasana yang membuat kita marah – jika itu bisa dilakukan.
Mengambil jeda sejenak Amsal 14:29 berkata: “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa yang lekas naik darah membesarkan kebodohan.” Saat amarah mulai muncul, latih diri untuk berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam, menghitung sampai sepuluh, atau bahkan meninggalkan tempat yang kurang nyaman untuk sementara waktu bisa menjadi latihan praktis yang sederhana namun efektif. Ini termasuk meninggalkan grup chat yang tidak membawa kebaikan atau kedamaian.
Banyak orang yang menganjurkan kita untuk berdoa ketika kita marah. Tetapi, mengganti respon spontan dengan doa secara alami adalah sulit. Doa sendiri adalah latihan rohani yang mengubah hati, tetapi kita secara manusiawi adalah tidak mampu berdoa dengan benar. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus mengajarkan kita Doa Bapa Kami yang mengandung kalimat “ampunilah kami seperti kami mengampuni” dalam Matius 6:12. Ungkapan ini memiliki makna bahwa pengampunan dari Tuhan akan diterima sesuai dengan cara kita mengampuni orang lain, di mana kita mengakui dosa kita dan berharap akan pengampunan, seperti yang sudah kita berikan kepada orang lain.
Mengucapkan doa singkat, “Tuhan, tolong aku untuk tidak jatuh dalam dosa,” mungkin bisa membantu kita meredakan emosi. Semakin sering kita melatih doa spontan ini, semakin mudah kita menguasai diri ketika marah. Belajar mengampuni dengan cepat Paulus menekankan: “Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” Ini berarti kita harus melatih diri untuk menyelesaikan konflik dengan cepat, tidak menunda pengampunan.
Semakin lama kita menahan amarah, semakin sulit untuk padam. Sama seperti api kecil, lebih mudah dipadamkan sebelum membesar. Mengisi pikiran dengan firman Tuhan Pikiran yang dipenuhi firman akan lebih mudah dikendalikan. Mazmur 119:11 berkata: “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.” Melatih diri dengan merenungkan firman setiap hari membuat kita memiliki “filter rohani” ketika emosi ingin menguasai.
Disiplin Membentuk Karakter Kristus
Disiplin menguasai amarah bukanlah sekadar teknik psikologis, tetapi bagian dari proses pembentukan karakter Kristus dalam diri kita. Galatia 5:22-23 menyebutkan buah Roh, salah satunya adalah penguasaan diri. Buah Roh tidak muncul sekaligus, tetapi bertumbuh melalui latihan dan disiplin rohani setiap hari.
Sama seperti seorang murid belajar dari gurunya, kita pun belajar dari Yesus yang lemah lembut dan rendah hati. Semakin kita melatih diri meneladani-Nya, semakin nyata kesabaran dan penguasaan diri dalam hidup kita.
Marah yang Benar vs Marah yang Berdosa
Kita juga perlu membedakan antara marah yang benar dan marah yang berdosa. Marah yang benar adalah marah terhadap dosa, ketidakadilan, atau penghinaan terhadap nama Tuhan. Marah jenis ini lahir dari kasih, bukan dari ego. Marah yang berdosa adalah marah karena ego terluka, gengsi dijatuhkan, atau keinginan pribadi tidak terpenuhi. Marah seperti ini harus segera dipadamkan. Latihan dan disiplin rohani membantu kita membedakan keduanya.
Pagi ini kita harus menyadari bahwa marah itu manusiawi. Tetapi menguasai amarah adalah tanda kedewasaan rohani. Sama seperti tubuh memerlukan latihan fisik, jiwa kita pun memerlukan latihan dan disiplin untuk menguasai emosi. Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dimampukan untuk tidak membiarkan amarah menguasai kita. Kiranya kita menjadi orang-orang yang terlatih dalam penguasaan diri, sehingga hidup kita memancarkan damai Kristus.
Pertanyaan Reflektif:
- Apakah selama ini saya membiarkan amarah menguasai hidup saya? Apakah saya mudah marah atas ha-hal yang sepele?
- Apakah saya sudah melatih diri untuk menahan amarah, atau saya selalu membiarkannya meledak begitu saja?
- Adakah orang yang masih saya benci atau simpan dendamnya sampai hari ini?
Doa Penutup:
Tuhan Yesus, aku sering gagal menguasai amarahku. Aku sadar bahwa aku perlu melatih diri, berdisiplin, dan membiarkan Roh-Mu bekerja dalam hidupku. Tolong aku agar tidak membiarkan amarah berlarut-larut, tetapi menyerahkannya kepada-Mu sebelum matahari terbenam. Bentuklah aku menjadi pribadi yang sabar, penuh kasih, dan memancarkan damai sejahtera-Mu. Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin.