Membisu vs Mengakui

“Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkal dia di depan Bapa-Ku di sorga.” Matius 10:32–33

Dalam sistem hukum modern, khususnya di Amerika Serikat, ada hukum yang memberikan hak bagi setiap orang untuk “remain silent” (berdiam diri) ketika menghadapi interogasi hukum. Tujuannya sederhana: agar seseorang tidak dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang dapat memberatkan dirinya.

Secara yuridis, tinggal diam dalam konteks ini adalah tindakan perlindungan diri. Ini sangat masuk akal dalam sistem hukum sekuler. Bahkan para pengacara sering menasihati klien mereka untuk tidak berbicara apa pun sebelum ada penasihat hukum, demi mencegah kesalahan fatal.

Jadi, dalam logika hukum negara, diam adalah hak, diam tidak dianggap kebohongan, diam dapat menyelamatkan posisi hukum seseorang. Dengan kata lain, hukum dunia membolehkan — bahkan mendorong — warganya untuk melindungi diri melalui keheningan.

Namun dalam terang iman Kristen, diam tidak selalu netral. Dalam banyak situasi, diam dapat menjadi bentuk penyangkalan, jika keheningan itu dilakukan untuk menghindari pengakuan akan Kristus. Ayat di atas tidak hanya bicara tentang “penyangkalan lisan” seperti Petrus. Ayat itu juga menyangkut hal diam padas saat kita seharusnya bersaksi atau menyatakan bahwa kita adalah pengikut Kristus.

Dalam hukum dunia, diam untuk melindungi diri. Dalam hukum Kristus, diam dalam saat bersaksi bisa berarti kita tidak berdiri untuk Dia.

Penyangkalan aktif vs penyangkalan pasif

Pada waktu Yesus sedang diadili pada saat menjelang disalibkan, Petrus menyangkal Yesus tiga kali. Ia berkata:

“Aku tidak kenal orang itu!” (Matius 26:70, 72, 74)

Itu adalah penyangkalan aktif — kebohongan yang disengaja untuk melepaskan diri dari keterlibatan dengan Yesus. Namun mari kita renungkan sebuah kemungkinan hipotetis. Bagaimana jika Petrus saat itu tidak berkata apa-apa, alias membisu? Apakah diamnya akan dianggap “tidak bersalah”? Jawabannya tergantung motivasinya.

Jika Petrus diam untuk menghindari pengakuan dan agar orang berpikir ia bukan murid Yesus → itu tetap penyangkalan, meskipun pasif. Jika Petrus diam karena takut, tapi tidak bermaksud menyangkal dalam hati, itu bukan kebohongan aktif, tapi tetap kegagalan untuk bersaksi. Petrus bisa saja memilih untuk membisu demi melindungi dirinya, tetapi Yesus melihat hati di balik tindakan Petrus, bukan sekadar kata-kata. Ia tentu merasa sedih bahwa Petrus sudah menyangkali Dia secara pasif. Ia tahu apa yang ada dalam hati Petrus.

“Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” — 1 Samuel 16:7

Karena itu, kalau Petrus diam karena ketakutannya untuk mengakui Yesus, ia sudah berdosa.

Bagaimana dengan keadaan kita di zaman sekarang? Dalam hubungan sosial sehari-hari, kita mungkin sering diam dan “menyembunyikan” iman kita jika dihadapkan pada suasana yang membuat kita ragu-ragu: takut menyinggung orang lain, takut di tolak teman, takut di kritik atau ditertawakan oleh orang yang tidak menyenangi Yesus. Demi kenyamanan, kita mungkin memilih untuk bergaul dan berkomunikasi secara “netral” , tanpa menunjukkan bahwa kita adalah orang Kristen.

Yesus sendiri “diam” — tapi bukan untuk menyangkal

Menariknya, Yesus sendiri juga berdiam diri dalam persidangan di depan imam besar dan Pilatus.

“Tetapi Yesus tetap diam.” (Matius 26:63)

Apakah Yesus berdosa karena diam? Tentu tidak. Diam Yesus memiliki pendekatan teologis yang sangat dalam, yaitu untuk menggenapi nubuat Yesaya 53:7, untuk tidak melawan dengan kebohongan apa pun, dan karena Ia tahu siapa diri-Nya dan rencana Bapa.

Namun, saat pertanyaan menyentuh identitas-Nya secara langsung: “Apakah Engkau Mesias, Anak Allah?” Ia menjawab: “Engkau telah mengatakannya.” (Matius 26:64). Yesus tidak tetap berdiam diri dalam momen pengakuan iman. Ia berbicara — meski jawaban itu akan membawanya ke kayu salib.

Orang percaya tidak dipanggil untuk “berdiam diri” demi kenyamanan diri sendiri

Dalam kehidupan modern, banyak orang Kristen memilih berdiam diri jika menghadapi orang-orang yang anti Yesus dengan alasan:“tidak ingin berdebat”, “tidak ingin mempermalukan diri”, “tidak ingin bikin suasana canggung” atau “tidak mau kehilangan sahabat”. Tetapi jika keheningan itu berarti kita menyembunyikan iman kita, maka diam bukan lagi kebijaksanaan — melainkan bentuk penyangkalan halus.

Hidup Kristen bukan sekadar iman dalam hati, melainkan berani menyatakan imannya kepada siapa saja dan berani menghadapi kecaman.

“Karena itu janganlah kamu malu bersaksi tentang Tuhan kita…” 2 Timotius 1:8

Gereja mula-mula: tidak ada “hak untuk diam”

Dalam sejarah gereja mula-mula, banyak murid Kristus dipaksa menyangkal iman atau mati. Tidak ada kesempatan untuk berdiam diri. Dan yang luar biasa — banyak dari mereka memilih berbicara dan bersaksi, meski tahu akibatnya adalah kematian. Inilah yang membuat kesaksian gereja mula-mula begitu kuat. Para martir tidak mau diam demi menyelamatkan diri; mereka berdiri teguh di hadapan kuasa dunia dan berkata seperti Stefanus:

“Sebab dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” Roma 10:10

Stefanus tidak diam. Ia bersaksi — dan batu pun menghujani tubuhnya. Namun surga menyambutnya.

“Lihat, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” Kisah Para Rasul 7:56

Diam bukan berarti salah, tapi harus ditempatkan pada konteks yang benar

Dalam kehidupan iman, diam tidak selalu dosa. Ada saatnya kita:

  • Diam untuk tidak terpancing emosi.
  • Diam agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
  • Diam untuk memberi ruang bagi Roh Kudus bekerja.

Namun kita tidak boleh diam jika:

  • Iman kita dipertaruhkan,
  • Nama Kristus dihina, atau
  • Kita diminta menyangkal siapa Dia.

Apa yang dunia sebut sebagai “hak”, iman sebut “ujian”

Bagi dunia, hak untuk diam adalah alat melindungi diri. Bagi orang percaya, saat iman ditantang, diam adalah ujian keberanian dan kesetiaan. Yesus tidak memanggil kita untuk menjadi pahlawan hukum, tetapi menjadi saksi-Nya — dengan mulut, hidup, dan kasih. Itulah sebabnya Rasul Paulus berkata:

“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” 1 Korintus 9:16

Antara diam dan bersuara

Diam dapat menjadi bentuk hikmat, tetapi juga bisa menjadi bentuk penyangkalan. Dunia memberi hak untuk diam, tetapi Yesus memberi panggilan untuk bersaksi. Ketika orang bertanya siapa Yesus bagi kita, ketika nama-Nya dihina, atau ketika iman kita dipertaruhkan — kita tidak boleh berlindung di balik “lebih baik diam”. Kita dipanggil untuk berbicara, dengan kasih, bijak, dan berani.

“Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” 2 Timotius 1:7

Pagi ini kita belajar bahwa dalam hukum negara, diam adalah hak kita. Tetapi, dalam iman Kristen, diam saat iman ditantang bisa menjadi penyangkalan. Murid Kristus dipanggil untuk bersaksi, bukan bersembunyi. Dunia menghargai hak pribadi, Kristus menilai kesetiaan kepada-Nya.

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, ajarilah kami membedakan kapan harus diam, dan kapan harus bersaksi. Dalam dunia yang sering memberi kami alasan untuk bersembunyi, berikan kami keberanian untuk berdiri bagi nama-Mu. Teguhkan hati kami agar tidak menyangkal-Mu, bahkan dalam tekanan. Kiranya kesaksian kami menjadi terang di tengah dunia yang gelap. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar