Adanya kasih menunjukkan adanya karunia Tuhan

“Jadi, saudara-saudariku, ketika kalian berkumpul bersama untuk makan, tunggulah dan berilah kesempatan kepada orang lain dulu.” 1 Korintus 11:33 (AMD)

Ayat ini ditulis Paulus kepada jemaat di Korintus untuk menegur kebiasaan mereka ketika merayakan perjamuan kasih. Alih-alih mencerminkan kasih Kristus, pertemuan mereka justru diwarnai egoisme, ketidaksabaran, dan perbedaan perlakuan antara yang kaya dan miskin. Dalam konteks itu, Paulus mengingatkan jemaat untuk menunggu satu sama lain — memberi kesempatan bagi semua orang untuk ikut serta dalam persekutuan dengan sikap saling menghormati dan mengasihi.

Namun, makna ayat ini jauh melampaui sekadar etika makan bersama. Ini adalah seruan untuk belajar menahan diri, mendahulukan orang lain, dan membuka hati pada tuntunan Roh Kudus dalam setiap hubungan antar manusia. Kasih yang sejati bukan sekadar perasaan hangat; kasih sejati ditunjukkan dalam kesabaran, penghargaan, dan kerendahan hati untuk tidak menjadikan diri sendiri pusat segalanya.

Di dalam kehidupan modern saat ini, kebiasaan menunggu bukanlah hal yang populer. Dunia mendorong kita untuk bergerak cepat, mengambil yang kita mau, dan memastikan kita tidak “ketinggalan.” Ini bukan saja ketika kita sedang di jalan yang ramai dengan pengemudi kendaraan yang ingin saling mendahului, tetapi juga dalam semua segi kehidupan. Namun, kasih sering kali menuntut kita untuk melambat. Menunggu adalah tindakan kasih — bukan karena kita tidak sanggup bergerak lebih cepat, tetapi karena kita mau memberi ruang bagi orang lain. Menunggu berarti kita mengakui bahwa orang lain pun berharga di mata Tuhan.

Perhatikan bahwa Paulus tidak berkata, “Ambillah lebih dulu karena kamu lebih terpandang.” Sebaliknya, ia mengajarkan untuk menunggu dan memberi kesempatan. Inilah sikap hati seorang murid Kristus yang telah disentuh oleh kasih karunia-Nya. Ketika hati dipenuhi kasih, kita tidak merasa dirugikan saat memberi jalan bagi orang lain. Sebaliknya, ada sukacita batin karena kita ikut memperluas ruang kasih di tengah komunitas.

Jika kita jujur, salah satu ujian kasih terbesar adalah saat kita merasa harus menunggu orang lain atau mengalah kepada mereka yang “tingkatnya lebih rendah”. Di jalan raya, kita mungkin merasa mampu untuk mendahului yang lain dengan mobil sport kita yang lincah, atau karena kita mengendarai sebuah mobil utility besar yang bisa menakut-nakuti pengemudi mobil lain. Dalam keluarga, sering kali kita tidak sabar terhadap anak-anak atau pasangan. Dalam gereja, kita mudah jengkel terhadap anggota gereja yang lamban. Dalam masyarakat, kita kesal pada mereka yang dianggap “menghambat.” Namun, justru dalam momen-momen seperti inilah kasih diuji dan dimurnikan.

Masalahnya, sebagai orang Kristen kita masig sering terjebak dalam perasaan “saya mau duluan” (me first!). Kita mungkin sudah lam berusaha untuk menghindari hal ini, tetapi itu tetap saja kita lakukan. Ini persis seperi apa yang dialami rasul Paulus.

“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” Roma 7:19

Ini merujuk pada pergumulan batin di mana ia berkehendak melakukan hal baik, namun justru melakukan hal jahat yang ia benci. Paulus menggambarkan bagaimana ia merasa tidak berdaya melawan dosa dan hukum dosa yang ada dalam dirinya, sampai ia menemukan jalan keluar melalui Yesus Kristus dan kuasa Roh Kudus. Paulus menemukan jawaban dari pergumulannya ini bukan dengan usaha sendiri untuk menaati hukum, tetapi dengan bergantung pada kasih karunia, kemurahan, dan kekuatan Yesus Kristus, serta kuasa Roh Kudus yang memerdekakan dari perbudakan dosa.

Kasih sejati memang tidak bersumber dari kemampuan kita, tetapi dari Roh Kudus yang bekerja di dalam kita. Kasih sering kali bukan hal yang rumit, tetapi selalu membutuhkan pencerahan Roh Kudus. Tanpa pertolongan-Nya, kita cenderung mementingkan diri sendiri. Roh Kuduslah yang mengubah kesabaran dari sekadar kewajiban menjadi sukacita rohani. Ia menolong kita melihat bahwa menunggu orang lain bukanlah kehilangan waktu, melainkan kesempatan untuk memperlihatkan kasih Allah dalam tindakan nyata.

Dalam budaya jemaat yang mula-mula, perjamuan kasih (agape meal) bukan sekadar makan bersama, melainkan lambang kesatuan tubuh Kristus. Ketika satu anggota tidak dihargai, maka seluruh tubuh menderita. Hal ini mengingatkan kita bahwa kasih bukan tindakan individualistik, melainkan komunal. Jika kasih hanya memikirkan diri sendiri, maka kasih itu kehilangan Rohnya. Kasih sejati memperhatikan dan merangkul sesama.

Dalam kehidupan bergereja hari ini, ketika kita berkumpul, baik dalam ibadah, persekutuan, atau kegiatan pelayanan, semangat yang harus mewarnai semuanya adalah memberi kesempatan kepada yang lebih membutuhkan — bukan berebut posisi, hak, atau kehormatan. Setiap orang memiliki tempat dalam keluarga Tuhan. Tugas kita bukan memastikan kita duduk di kursi terbaik, sekalipun kita berhak, melainkan memastikan semua orang merasa diterima.

Pernyataan “Orang Kristen tidak mementingkan hak tapi kewajibannya” adalh benar. Itu mencerminkan penekanan ajaran Kristen pada kewajiban mengasihi sesama, tanggung jawab pribadi kepada Allah, dan mengikuti teladan Yesus Kristus yang tidak mementingkan diri. Meskipun tidak meniadakan hak, prinsip dasarnya adalah hidup untuk melayani dan menempatkan kebutuhan orang lain di atas keinginan pribadi, sebagaimana dicontohkan oleh Yesus yang “memberikan diri-Nya sendiri”.

Kita tentu ingat bahwa Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya sebelum Paskah untuk mengajarkan kerendahan hati dan teladan pelayanan, menunjukkan bahwa pemimpin sejati harus melayani dan merendahkan diri seperti hamba. Yesus, meskipun Tuhan dan guru, melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh budak dengan kasta terendah pada masa itu, yaitu membasuh kaki yang kotor karena berjalan di jalanan berlumpur. Melalui tindakan ini, Yesus memberikan teladan bagi kita untuk saling melayani dan mengasihi satu sama lain.

Memberi kesempatan bagi orang lain juga dapat dimaknai sebagai tindakan percaya kepada Tuhan. Dalam masyarakat moderen yang bergerak cepat, orang yang mau menunggu sering kali dianggap lemah atau lamban. Namun, dalam Kerajaan Allah, orang yang menunggu dengan kasih adalah orang yang mengerti Siapa yang sebenarnya berdaulat. Kita tidak perlu terburu-buru untuk memastikan agar kepentingan kita terjamin, sebab kita tahu Tuhan sendiri yang memelihara. Itulah sebabnya, kasih sejati tidak hanya memberi kesempatan kepada sesama, tetapi juga membuka ruang bagi karya Allah. Ketika kita berhenti mendorong kepentingan diri, kita memberi ruang bagi kasih karunia Tuhan untuk bekerja di tengah komunitas.

Ada satu hal menarik dari perintah Paulus ini: kasih tidak pernah dipaksakan. Paulus tidak berkata, “Tunggulah, kalau tidak, kamu tidak layak ikut.” Ia berbicara sebagai seorang rasul yang memahami bahwa kasih tidak dapat tumbuh dari perintah yang kaku, tetapi dari hati yang telah disentuh Kristus. Hanya mereka yang telah menerima kasih karunia Kristus yang sanggup membagikannya kepada orang lain.

Maka dari itu, kasih membutuhkan pencerahan Roh Kudus. Tidak cukup hanya tahu ayatnya; kita perlu mengalami kasih itu secara pribadi. Roh Kudus mengajarkan kita melihat sesama bukan sekadar sebagai “orang lain” melainkan sebagai sesama anggota tubuh Kristus. Ketika pandangan kita diubahkan, tindakan kita pun akan berubah — kita akan lebih sabar, lebih mengerti, lebih bersedia memberi tempat.

Dalam kehidupan sehari-hari, perintah ini dapat diterapkan dalam banyak bentuk:

  • Menunggu giliran dengan sikap menghormati.
  • Memberi kesempatan bagi yang lebih lemah atau yang datang belakangan.
  • Mendengarkan orang lain lebih dahulu sebelum berbicara.
  • Menahan keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian.
  • Menunjukkan kasih dengan kerelaan hati.

Hal-hal ini mungkin terlihat sederhana, tetapi dampaknya sangat besar. Dalam keluarga, ini bisa membangun suasana penuh kasih. Dalam jemaat, ini mempererat persaudaraan. Dalam masyarakat, ini menjadi kesaksian nyata tentang kasih Kristus.

Yesus sendiri memberi teladan tentang kasih yang memberi ruang bagi orang lain. Ia tidak memaksa, tapi mengundang. Ia tidak menyingkirkan orang lemah, Ia justru memberi tempat terhormat kepada mereka. Ia menunggu murid-murid memahami kebenaran-Nya, dengan kesabaran yang sempurna. Ketika kita mengikuti jejak-Nya, kita belajar bahwa kasih bukan tentang siapa yang lebih dulu atau lebih penting, melainkan siapa yang lebih rela mengasihi.

Akhirnya, kasih yang sejati selalu akan memuliakan Allah. Ketika kita memberi kesempatan kepada orang lain, kita sedang mengatakan kepada dunia bahwa hidup kita bukan tentang “aku,” tetapi tentang “kita di dalam Kristus.” Kita menyatakan bahwa kasih lebih kuat daripada ego sehingga “hidupku bukanlah aku lagi, tapi Kristus dalamku”.

Doa saya, kiranya kita sebagai umat percaya — baik di keluarga, jemaat, maupun komunitas — menjadi orang-orang yang siap menunggu, memberi ruang, dan mendahulukan sesama dengan kasih Kristus. Sebab kasih seperti inilah yang akan membuat dunia melihat Kristus melalui hidup kita.

Doa Penutup:

Tuhan, terima kasih atas kasih-Mu yang sabar, panjang sabar, dan selalu memberi kesempatan kepada kami. Ajari kami untuk menunggu, mengasihi, dan memberi tempat bagi orang lain seperti Engkau telah memberi tempat bagi kami. Penuhi hati kami dengan Roh Kudus-Mu, supaya kami dapat mengasihi bukan dengan kekuatan kami sendiri, tetapi dengan kasih yang berasal dari-Mu. Di dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar