Orang Kristen yang suam-suam kuku

“Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” Wahyu 3:15-16

Wahyu 3:14–22 adalah pesan terakhir dan paling keras dari Yesus, yang ditujukan kepada gereja di Laodikia. Kita belajar dari penilaian ini bahwa gereja Laodikia suam-suam kuku, sombong, dan puas diri. Mereka membanggakan kekayaannya dan tidak membutuhkan apa pun. Namun gereja Laodikia menipu dirinya sendiri. Dalam hal kondisi rohaninya, gereja itu malang, menyedihkan, miskin, buta, dan telanjang. Yesus mendesak gereja untuk berpaling kepada-Nya, karena Ia berada di luar gereja, mengundang siapa pun yang mendengar suara-Nya untuk membuka pintu dan menyambut-Nya. Laodikia adalah satu-satunya gereja dari tujuh gereja yang hanya menerima teguran, dan tidak mendapat komentar positif.

Surat-surat terakhir di Alkitab ini melambangkan sejarah Gereja dari tahun 1500 M hingga saat kepindahan orang percaya dari bumi untuk pergi bersama Yesus. Orang Kristen di Laodikia bangga dengan kekayaannya, tetapi secara rohani suam-suam kuku, suatu karakteristik yang dibenci Yesus. Ia berjanji untuk bersekutu dengan siapa pun di gereja yang akan mengindahkan suara-Nya dan menyambut-Nya. Laodikia adalah satu-satunya gereja yang tidak dipuji oleh Kristus karena acuh tak acuh kepada Yesus.

Tidak ada yang luput dari perhatian Yesus. Dalam ayat ini, Ia memberi tahu jemaat Laodikia bahwa Ia mengetahui kondisi jemaat itu. Ia berkata jemaat itu tidak dingin atau panas, meskipun Ia lebih suka jika jemaat itu salah satu atau yang lain. Kutukan terhadap iman yang “suam-suam kuku” ini membawa konsekuensi yang mengerikan. Pada masa itu, air bersuhu ruangan adalah air yang berbahaya. Air dingin menunjukkan air segar dari mata air atau sungai yang mengalir, dan air panas adalah air yang telah dimasak atau dibersihkan. Apa pun di antara keduanya, tentu saja mencurigakan dan mungkin tidak berharga.

Jemaat di Laodikia tidak bersemangat atau dingin. Jemaat itu hanya puas mempertahankan posisi status quo. Jemaat itu tidak bersemangat tentang masalah-masalah aktuil kehidupan Kristen atau tidak berperasaan tentang hal-hal itu. Mereka tidak peduli akan keadaan di sekitarnya karena merasa aman dalam keadaan mereka sendiri. Mereka merasa sudah terpilih dan tidak mungkin kehilangan keselamatan mereka. Sementara Yesus tidak memberikan teguran kepada jemaat di Filadelfia, Ia tidak memberikan pujian kepada jemaat Laodikia. Tidak seperti jemaat di Sardis yang menyadari adanya hal-hal yang kurang dan perlu dikuatkan, jemaat di Laodikia yakin tidak memiliki apa pun yang perlu diperbaiki. Dalam beberapa hal, jemaat-jemaat yang ada saat ini tidak panas atau dingin.

Seperti itu juga keadaan beberapa gereja di zaman ini. Mereka hanya terus melakukan kegiatan tradisional yang sama, menawarkan ajaran “teologi unggulan” yang seakan menjamin keselamatan para pengunjung, mengikuti gerakan-gerakan liturgi yang “steril”, dan dengan demikian membuat para anggotanya bersikap pasif dalam usaha untuk hidup dalam kekudusan. Mereka juga tidak tertarik untuk giat menginjil karena semua itu dianggap kurang berguna sebab Tuhan yang mahakuasa sudah menetapkan segalanya.

Aspek lain dari keinginan Yesus agar gereja saat ini menjadi “panas atau dingin” berkaitan dengan bagaimana kita menanggapi Injil. Mereka yang “panas” dalam hal-hal rohani terlibat secara mendalam dan berkomitmen pada iman. Namun, mereka yang dingin, setidaknya berada dalam posisi di mana mereka mengakui kelemahan mereka dan dengan demikian dapat diubah oleh pekerjaan Roh Kudus. Mereka yang “suam-suam kuku” memiliki cukup pengetahuan teologi tentang Kristus sehingga mereka tidak menolak Yesus, tetapi tidak memiliki cukup iman sejati untuk terlibat sepenuhnya dalam hidup sehari-hari. Hidup mereka tidak pernah berubah dari cara hidup lamanya. Kondisi itu, sebenarnya, lebih sulit diubah daripada mengubah orang yang tidak percaya yang sepenuhnya dingin!

Perlu diketahui, Laodikia tidak memiliki sumber air sendiri. Mereka bergantung pada kota Hierapolis di dekatnya untuk mendapatkan airnya. Hierapolis dibangun di sekitar banyak sumber air panas, sehingga mereka menikmati pasokan air panas yang melimpah yang dikirim ke Laodikia melalui saluran air. Akan tetapi, pada saat air mencapai Laodikia, air tersebut telah mendingin hingga suhu suam-suam kuku. Air tersebut perlu didinginkan atau dipanaskan kembali sebelum layak untuk dikonsumsi. Rasa suam-suam kuku dari kehidupan keagamaan jemaat Laodikia membuat Yesus merasa sangat sakit sehingga Ia ingin memuntahkan jemaat itu dari mulut-Nya.

Dalam ayat ini Yesus menggambarkan jemaat di Laodikia sebagai jemaat yang suam-suam kuku. Pada zaman dahulu, orang-orang biasa minum minuman panas atau dingin pada pesta-pesta mereka dan dalam persembahan keagamaan mereka, tetapi mereka tidak pernah minum minuman yang suam-suam kuku. Air seperti itu tidak enak diminum, dan ada alasannya: cairan tersebut lebih mungkin mengandung kuman. Sekarang, pada hari yang panas, orang-orang merasa minuman dingin menyegarkan, dan pada hari yang dingin mereka merasa minuman panas menyegarkan, tetapi tidak seorang pun yang menyukai minuman yang suam-suam kuku.

Ini juga merupakan analogi yang berguna untuk penginjilan. Mereka yang “panas” secara rohani terlibat dalam iman mereka. Mereka yang “dingin” memiliki kesempatan untuk dipengaruhi dengan cara yang kuat oleh Injil. Namun, mereka yang “suam-suam kuku” sebenarnya berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada mereka yang “dingin.” Mereka tahu “cukup” tentang Yesus, jadi mereka tidak menolak, tetapi mereka juga agak tidak peduli dengan suara-Nya. Dari sudut pandang Yesus, sebenarnya lebih baik untuk menjadi “dingin” secara rohani, karena itu berarti mereka lebih mungkin memperhatikan panggilan Tuhan.

Sungguh indah untuk diingat pagi ini bahwa Juruselamat kita tidak mencurahkan diri-Nya bagi kita dengan cara yang suam-suam kuku. Dia tidak merendahkan diri-Nya kepada kita dengan cara yang ragu-ragu. Dia tidak canggung dengan pergaulan-Nya dengan para murid-Nya. Sebaliknya, Dia menjadi Gembala Utama kita, dan sudah menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Allah tidak akan menoleransi kekristenan yang suam-suam kuku atau hati yang hanya sebagian menjadi milik-Nya. Mereka yang acuh tak acuh mungkin saja belum pernah menerima uluran tangan-Nya!

Tinggalkan komentar