“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!”1 Korintus 9:24

Sejak kapan Anda menjadi orang Kristen? Sebagian orang mungkin bisa menjawab dengan menyebut tahun tertentu, tetapi sebagian lagi mungkin tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Mengapa demikian? Karena menjadi orang Kristen bukanlah hal identitas administratif seperti surat baptis, dan bukan pula kebiasaan yang melekat sejak kecil. Paulus tidak pernah menggambarkan kehidupan Kristen sebagai sesuatu yang santai, statis, atau sekadar label yang dipakai tanpa proses perjuangan.
Sebaliknya, Paulus memakai gambaran seorang pelari yang sedang bertanding, yang berlari dengan tekun, yang memandang lurus ke depan, dan yang tidak berhenti sebelum mencapai garis finis. Dengan demikian, orang Kristen sejati bukanlah orang biasa dalam pengertian umum. Bukan karena mereka lebih mulia dari siapa pun, tetapi karena mereka hidup dalam sebuah panggilan yang jauh lebih besar daripada sekadar rutinitas keagamaan atau warisan orang tua.
Paulus memahami kehidupan sebagai sebuah perlombaan. Ia berkata bahwa kita semua dipanggil untuk “berlari dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” dengan tekun, sambil menyingkirkan segala beban dan dosa yang begitu mudah memperlambat langkah (Ibrani 12:1)
Gambaran ini menunjukkan bahwa iman bukanlah perjalanan pasif. Iman menuntut gerak, arah, fokus, dan komitmen. Seseorang tidak mungkin berlari tanpa kesadaran bahwa ia sedang menuju ke suatu tujuan. Demikian pula orang Kristen sejati tidak hidup tanpa arah; mereka tahu bahwa hidup ini memiliki garis finis rohani yang harus dicapai—suatu tujuan surgawi di mana Kristus sendiri menanti.
Banyak orang menganggap bahwa menjadi Kristen sejak kecil sudah cukup untuk menjamin kualitas rohani seseorang. Namun Paulus tidak pernah mengatakan bahwa awal yang baik menjamin akhir yang baik. Ia justru menekankan pentingnya ketekunan, karena di tengah perjalanan iman akan ada kejenuhan, kelelahan, pencobaan, dan pergumulan yang menguji kemurnian hati.
Seorang pelari yang hanya mengandalkan awal yang cepat tetapi tidak memiliki daya tahan tidak akan pernah menyelesaikan lomba. Demikian juga, orang Kristen yang hanya mengandalkan kebiasaan masa kecil tanpa komitmen pribadi untuk mengikut Kristus akan mudah berhenti di tengah jalan. Kekristenan bukan tentang siapa yang berangkat paling awal, tetapi siapa yang setia sampai akhir.
Paulus sendiri adalah contoh pelari yang pantang menyerah. Ia pernah mengalami kapal karam, dipukul, dipenjara, dan ditolak oleh bangsanya sendiri. Namun ia tidak berhenti. Ia berkata, “Aku melupakan apa yang di belakang dan mengarahkan diri kepada apa yang di depan.” Kata-kata ini menegaskan bahwa seorang pelari tidak boleh terus menoleh ke masa lalu.
Penyesalan, kegagalan, keberhasilan, kebosanan, kesibukan, luka batin, atau nostalgia dapat menjadi beban yang membuat seseorang tersangkut dalam apa yang sudah lewat. Paulus memilih untuk tetap bergerak maju. Ia tidak menyangkal masa lalunya, tetapi ia tidak membiarkan masa itu menentukan masa depannya. Ini adalah sikap iman yang matang: hidup bukan dari kenangan, tetapi dari panggilan Allah yang terus mendorong kita ke depan.
Bila seorang atlet dunia saja rela berlatih keras demi sebuah mahkota yang fana, betapa lebih lagi orang percaya dipanggil untuk bertekun demi mahkota kehidupan yang kekal? Di sinilah letak perbedaan orang Kristen sejati dan mereka yang hanya memakai label Kristen.
Orang Kristen yang asli tidak hidup hanya untuk apa yang terlihat, tetapi untuk apa yang kekal. Mereka berlari bukan untuk mendapat penghargaan manusia, tetapi untuk menyenangkan Tuhan. Mereka menolak gaya hidup yang longgar dan kompromistis, bukan karena ingin terlihat lebih suci, tetapi karena mereka tahu bahwa beban apa pun dapat menghambat larinya.
Banyak hal yang dianggap lumrah oleh masyarakat, tetapi tetap bisa menjadi beban. Kesibukan yang berlebihan, ambisi pribadi, rasa iri, hobi yang mengikat, kemarahan yang dipelihara, atau kenyamanan hidup yang membuat seseorang malas mengejar hal-hal rohani—semua itu dapat memperlambat laju seorang pelari rohani.
Kita hidup di dunia di mana identitas Kristen mudah dipakai, tetapi komitmen Kristen semakin jarang diperjuangkan. Banyak orang ingin berkat Kristus, tetapi tidak ingin memikul salib. Banyak yang ingin damai sejahtera, tetapi tidak mau hidup dalam ketaatan. Mereka ingin sampai ke garis finis, tetapi larinya sering terhenti karena hal-hal kecil: sedikit ejekan, sedikit kekecewaan, sedikit ketidakadilan, atau sedikit pertentangan dalam gereja.
Paulus tahu bahwa perjalanan iman seperti ini penuh tantangan. Karena itu ia menasihati, “Jangan hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala, dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11). Pernyataan ini seakan berkata: jangan berhenti hanya karena perjalanan terasa berat. Jangan biarkan kelesuan menggantikan panggilan. Teruslah berlari, meskipun langkah terasa lambat.
Banyak orang Kristen mulai dengan semangat, tetapi mengakhiri dengan kekecewaan. Ada yang merasa imannya tidak lagi sekuat dulu. Ada yang merasa pelayanan pernah begitu menggairahkan, tetapi kini terasa hambar. Ada yang melihat masalah hidup bertambah, sementara tenaga dan usia menurun. Dalam kondisi seperti ini, seorang pelari rohani mungkin bertanya, “Apakah aku masih mampu mencapai finis?”
Jawaban Paulus tegas: kita mampu, bukan karena kekuatan kita, tetapi karena Kristus yang sudah memanggil kita. Kita berlari bukan sendirian; Yesus berlari bersama kita. Bahkan Ia telah lebih dulu berlari dan menang, sehingga kita memiliki teladan sekaligus jaminan kemenangan. Kita tidak mengejar kegelapan yang tidak pasti; kita mengejar Kristus yang sudah menanti.
Ketika usia bertambah, banyak orang mengira bahwa iman akan bisa menjadi semakin kuat. Namun pengalaman menunjukkan sebaliknya. Justru pada usia lanjut, perjuangan iman bisa menjadi lebih berat karena tubuh melemah, relasi berubah, dan banyak sahabat mulai dipanggil Tuhan. Namun panggilan untuk tetap berlari justru menjadi semakin relevan.
Bagi banyak orang Kristen, garis finis semakin dekat, tetapi godaan untuk menyerah juga semakin besar. Paulus memahami dinamika ini ketika ia berkata bahwa perjalanan iman harus diselesaikan, bukan ditinggalkan di tengah jalan. Ada sukacita besar menanti bagi mereka yang setia sampai akhir. Ada mahkota kebenaran yang dijanjikan Tuhan kepada setiap orang yang tetap setia dalam mengasihi Dia.
Oleh sebab itu, mari kita hidup sebagai orang Kristen yang benar-benar mengerti panggilan kita. Jangan biarkan diri kita menjadi “orang Kristen biasa” hanya karena kita sudah lama berada dalam lingkungan gereja atau karena lahir dalam keluarga Kristen.
Kekristenan bukan warisan pasif; itu adalah komitmen aktif untuk mengikuti Yesus setiap hari, dalam suka dan duka, dalam pengharapan maupun kelelahan. Bila langkah kita melemah, mari kita kembali menguatkan diri dalam firman, doa, dan persekutuan. Bila hati kita mulai dingin, mintalah agar Roh Kudus kembali menyalakan bara kerinduan kepada Tuhan. Bila kita jatuh, bangkitlah lagi dan lanjutkan perlombaan.
Kita semua sedang berlari menuju garis finis yang sama. Tidak ada yang tahu kapan kita akan mencapainya, tetapi kita tahu siapa yang menanti kita di sana. Kristus sendiri—Dia yang memulai dan yang akan menyempurnakan iman kita. Karena itu, jangan berhenti. Jangan menyerah. Teruslah berlari, sampai hari ketika kita dapat berkata bersama Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7).