“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Roma 12:18

Bertambahnya usia dan hidup jauh dari keluarga sering kali membuat seseorang lebih sadar bahwa hidup tidak hanya diukur dari harta, pencapaian, atau fasilitas kesehatan, tetapi dari hubungan. Kehadiran orang lain—saudara, teman, atau anggota gereja—sering kali menjadi sumber kekuatan ketika ada masalah dalam hidup. Namun tidak semua orang memiliki orang yang bisa mendampingi. Ada yang hidup sendirian, dan itu membuat relasi dengan orang-orang di sekitar menjadi semakin penting. Dalam kondisi seperti itu, Firman Tuhan di atas mengingatkan kita dengan sederhana namun mendalam: “hidup dalam perdamaian dengan semua orang.” Artinya, jagalah relasi—bahkan relasi yang tidak sempurna sekalipun.
Jangan bakar jembatanmu. Dalam bahasa Inggris, istilah “do not burn your bridge” sebenarnya berasal dari sebuah kisah motivasional yang terkenal. Konon katanya ada seorang jenderal perang yang membuat sebuah jembatan sehingga bisa sampai ke pihak musuh. Namun, agar para serdadunya berperang secara maksimal, maka setelah jembatan itu selesai dan dilewati, jembatan itu pun dibakar. Dengan demikian para serdadu hanya punya satu pilihan yakni bertempur sampai titik darah penghabisan sebab tidak ada lagi jembatan untuk kembali.
Dalam bahasa rohani, frasa ini bisa diartikan: jangan menutup pintu pengampunan dan persahabatan, jangan mengucapkan kata yang menghancurkan tanpa perlu, jangan memutus hubungan sampai tidak ada jalan kembali. Percayalah bahwa Tuhan adalah Allah yang mampu memulihkan. Ia adalah Bapa yang membuka pintu bagi anak yang hilang untuk pulang. Demikian pula, kita dipanggil untuk menjaga jembatan agar tetap dapat dilalui suatu hari nanti—baik untuk kita maupun untuk orang lain. Relasi yang renggang masih bisa dipulihkan, tetapi relasi yang sudah “dibakar habis” membuat hidup menjadi jauh lebih sunyi.
Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk relasional. Bahkan Adam pun, yang hidup dalam taman yang sempurna, tidak dibiarkan sendirian. Tuhan juga dapat memakai saudara, kerabat, jemaat gereja, atau bahkan tetangga sebagai saluran kasih-Nya. Namun relasi itu tidak muncul begitu saja—itu harus dijaga dan dipelihara. Dalam hal ini, sikap pragmatis adalah bagian dari hikmat Tuhan.
Tetapi, ada banyak orang yang suka menjaga jarak selama bertahun-tahun: tidak mau dekat dengan keluarga atau teman segereja, mudah tersinggung, menghindar karena pernah kecewa, tidak mau ke gereja, dan memilih kesendirian. Tetapi ketika usia senja tiba, atau jika masalah besar mendatangi, hati mulai merindukan kehangatan dan dukungan. Ayat di atas mengingatkan kita bahwa relasi itu seperti jembatan—jika tidak dirawat, bisa rapuh; jika dibakar, tidak dapat dilalui lagi. Firman Tuhan di atas mendorong kita untuk menurunkan ego, belajar mengalah, memilih kata-kata yang mendamaikan, dan membuka pintu bagi pemulihan demi kebaikan kita sendiri.
“Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.” (1 Petrus 2:15)
Tidak semua relasi harus disukai, tetapi bisa kita hadapi dengan sikap pragmatis atau praktis yang penuh kasih. Pragmatis bukan berarti munafik, tetapi bijaksana—melakukan yang terbaik agar hubungan tetap terjaga, selama itu memungkinkan. Dalam hal ini, “Don’t Burn Your Bridge” berarti “Jangan Membakar Jembatan Relasimu“.
Tuhan mengajar kita untuk mengambil langkah pertama, seperti Ia sudah mengirimkan Yesus ketika kita masih hidup dalam dosa.
“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Roma 5:8
Dengan demikian, kita juga harus menunjukkan kasih kita sekalipun orang lain sering memusuhi kita. Roma 12:9-21 adalah daftar berbagai perintah singkat yang berisi poin-poin penting. Secara keseluruhan, perintah-perintah tersebut melukiskan gambaran tentang bagaimana seharusnya kehidupan Kristen yang hidup dan berkorban. Tema pemersatu dari daftar tersebut adalah mengesampingkan diri kita sendiri, untuk secara efektif mengasihi dan melayani Tuhan, satu sama lain, dan bahkan musuh kita.
“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” (Efesus 4:26-27)
Tujuan kita sebagai orang Kristen adalah untuk saling mengasihi dan menghormati. Kita harus memfokuskan pengharapan kita pada kekekalan dan menanti dengan sabar dan berdoa agar Bapa kita menyediakan kebutuhan kita. Kita harus menolak untuk jatuh ke dalam kejahatan, memberikan kebaikan kepada mereka yang menyakiti kita, alih-alih membalas dendam.
Apa yang dibutuhkan untuk bisa hidup seperti ini? Kita harus mau mengambil tindakan: mengakui kesalahan kita, meminta maaf, memperbaiki keadaan, dan memaafkan. Di sinilah gagasan “sejauh itu bergantung padamu” berperan. Ego, kesombongan, keinginan, dan prasangka kita sendiri tidak boleh menghalangi kita untuk hidup damai dengan orang lain. Itu berarti kita tidak boleh melakukan tindakan yang “keliru” terhadap orang lain.
Sebagai orang percaya, kita harus hidup damai dengan semua orang. Ini termasuk saudara-saudara kita di dalam Kristus, serta orang-orang yang tidak percaya. Cara lain untuk membaca perintah ini adalah, “Jangan pernah membiarkan diri Anda menjadi alasan untuk hubungan yang tidak damai dengan orang lain. Sebakiknya, tunjukkanlah kasih Anda.”
Untuk menunjukkan kasih kita, kdang satu sapaan kecil sudah cukup: “Apa kabar?” “Selamat ulang tahun.” “Semoga sehat selalu.” “Saya minta maaf kalau dulu ada salah.”
Langkah kecil itu bisa menjadi awal dari jembatan yang baru. Dan sering kali, Tuhan bekerja melalui langkah-langkah kecil seperti ini untuk memulihkan fungsi jembatan relasi kita.
Namun, ini bukan pernyataan pasifisme total atau apatis sepenuhnya. Paulus memberikan dua syarat yang jelas: “Jika mungkin” dan “sejauh itu bergantung padamu.” Perintah ini mengakui bahwa konflik terkadang tidak dapat dihindari. Beberapa orang memang tidak tertarik untuk berdamai dengan kita. Ada waktu dan tempat yang tepat untuk tidak setuju, untuk berdebat, atau bahkan untuk bertengkar. Tidak semua tindakan yang menyenangkan orang lain adalah sesuatu yang baik, atau sesuatu yang Tuhan inginkan agar kita lakukan.
Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa ketika menciptakan “perdamaian” hanya mungkin dengan mengkompromikan kebenaran atau perintah-perintah Allah (Kisah Para Rasul 5:28-29), penyelesaiannya tidak lagi bergantung pada pendapat kita. Kita harus lebih taat kepada Allah daripada manusia. Sikap ini mungkin bisa mengakibatkan penderitaan atau penganiayaan kita sendiri. Tetapi Paulus telah menunjukkan bahwa lebih penting bagi kita untuk mewakili Kristus dengan baik daripada mendapatkan hasil yang kita anggap menguntungkan (Filipi 4:11-13).
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, ajarlah kami untuk menjaga hubungan dengan orang-orang yang Engkau hadirkan dalam hidup kami. Berikan kami hati yang rendah, sabar, dan penuh hikmat, khususnya dalam menghadapi sanak keluarga yang sulit atau tidak cocok dengan kami. Jangan biarkan kami membakar jembatan yang Engkau maksudkan sebagai saluran berkat di masa depan. Tolong kami menabur benih kasih dan kedamaian hari ini, agar ketika kami menghadapi masalah, kami menuai ketenangan, bukan kesunyian. Di dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.