Ketika iman dipakai sebagai alat

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Matus 7:21

Matius 7:15-23 memuat peringatan dua sisi tentang orang Kristen palsu. Seorang pemimpin mungkin tampak terhormat dan bijaksana, tetapi Anda harus melihat buah kehidupannya untuk mengetahui apakah ia benar-benar mewakili Allah.

Dengan cara yang sama, seseorang pemimpin dapat mengaku mengikuti Yesus, menyebut-Nya sebagai “Tuhan,” padahal mereka bukanlah orang percaya sejati. Hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa yang akan diizinkan masuk ke dalam kerajaan surga—yang Yesus definisikan sebagai dimulai dengan iman yang sejati (Yohanes 6:28-29). Perbuatan baik kita mungkin menipu orang lain, dan bahkan mungkin menipu diri kita sendiri, tetapi perbuatan baik tidak dapat menipu Allah.

Dalam perjalanan sejarah umat manusia, agama dan kepercayaan selalu memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Iman menjadi sumber pengharapan, kekuatan, dan arah moral. Namun, tidak sedikit pula masa ketika iman dipermainkan, dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi orang banyak, atau dijadikan simbol kemurnian yang tidak lahir dari pertobatan sejati. Fenomena ini bukan hal baru. Bahkan dalam Alkitab, kita melihat peringatan demi peringatan tentang orang-orang yang menggunakan nama Tuhan, tetapi hidupnya tidak memuliakan Dia.

Yesus berkata bahwa tidak semua orang yang memanggil, “Tuhan, Tuhan,” akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, sebab yang penting adalah melakukan kehendak Bapa. Dengan kata lain, pengakuan iman tidak pernah lebih tinggi daripada ketaatan hidup. Di tengah dunia modern yang dipenuhi oleh suara politik, ajaran agama, opini publik, pencitraan, dan kepentingan pribadi, kita membutuhkan kebijaksanaan lebih besar untuk membedakan antara iman yang sejati dan iman yang diperalat.

Ayat di atas sangat menantang dan sering menjadi bahan perdebatan. Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya adalah kasih karunia melalui iman, dan bukan diperoleh melalui perbuatan baik (Titus 3:5; Galatia 2:16; Roma 11:6; Yohanes 6:28-29). Alkitab juga dengan tegas mengingatkan orang percaya bahwa semua orang—bahkan mereka yang telah lahir baru—memiliki dosa yang perlu ditebus (1 Yohanes 1:9-10; Ibrani 4:14-16).

Namun, Firman Tuhan juga menunjukkan bahwa mereka yang benar-benar lahir baru akan melihat keselamatan tercermin dalam sikap dan tindakan mereka (Yakobus 2:14-17; Yohanes 14:15). Ketegangan serupa juga terdapat dalam bagian ini—yang menekankan bahwa Kristus, bukan perbuatan, yang menyelamatkan (Yohanes 14:6), namun ketundukan kepada Kristus merupakan hasil yang diharapkan dari keselamatan (Lukas 6:46).

Meskipun ayat ini sering disalahartikan oleh mereka yang mengklaim bahwa perbuatan baik diperlukan untuk diselamatkan, pernyataan Yesus berikutnya justru menghancurkan penafsiran tersebut. Faktanya, mereka yang mendefinisikan iman mereka terutama berdasarkan apa yang telah mereka lakukan bagi Allah telah menempatkan iman mereka pada sesuatu selain Kristus (Matius 7:22-23). ​​Dalam beberapa ayat ini, Yesus secara eksplisit menjelaskan bahwa melakukan kehendak Allah berarti lebih dari sekadar tindakan—membutuhkan iman yang sejati.

Setelah memperingatkan para pendengar-Nya untuk berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu, Yesus menjelaskan bahwa orang lain dapat “berpura-pura” beriman dan menipu kita. Orang Kristen harus waspada terhadap para pemimpin palsu, dan orang lain yang mengaku mewakili Allah padahal sebenarnya tidak (Matius 7:15-20). Di sini, Ia menawarkan sisi lain dari peringatan dua bagian ini: waspadalah terhadap pengikut palsu. Secara khusus, Kristus memperingatkan mereka yang mendengarkan-Nya agar tidak menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa mereka adalah orang percaya sejati, padahal sebenarnya tidak.

Yesus menyatakan bahwa tidak semua orang yang menyebut-Nya “Tuhan” akan masuk ke dalam kerajaan surga. Gelar “Tuhan” menyiratkan seorang tuan, seorang pemimpin, dan seseorang yang kepadanya pembicara tunduk. Dalam pengajaran sebelumnya, Yesus menunjukkan bahwa perkataan dan tindakan belaka tidaklah cukup—harus dimotivasi oleh ketulusan dan kebenaran (Matius 6:1, 5, 16).

Dengan cara yang sama, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa sekadar menyebut-Nya “Tuhan” tidaklah cukup. Begitu pula tindakan yang dianggap benar. Jalan masuk ke dalam kerajaan surga terbatas bagi mereka yang sungguh-sungguh dan sepenuhnya melakukan kehendak Bapa-Nya di surga (2 Korintus 13:5). Hal itu dimulai dengan iman yang tulus kepada Kristus (Yohanes 6:28-29) dan meluas hingga kerendahan hati dalam cara kita menjalani hidup (Yohanes 14:15).

Baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus mengajarkan bahwa kedatangan Yesus di bumi berarti Kerajaan Surga sudah dekat (Matius 3:1-2; 4:17). Inilah Kerajaan Kristus yang kekal, yang akan dimulai di hati semua orang yang benar-benar milik-Nya (Yeremia 31:31-33; Ibrani 8:6-7). Kerajaan ini pada akhirnya akan menjadi kerajaan yang sejati dan kekal di mana kehendak Allah terjadi di bumi seperti di surga (Wahyu 20:4-6). Hanya mereka yang datang kepada Bapa melalui iman sejati kepada Kristus yang akan menjadi warga kerajaan itu selamanya.

1. Iman Yang Sejati Tidak Bersandar Pada Kata-Kata, Tetapi Pada Buah Kehidupan

Yesus mengajarkan prinsip sederhana namun sangat kuat: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:16). Ini berarti bahwa seseorang boleh saja pandai berbicara tentang Tuhan, mengutip ayat, atau mengaku beragama, tetapi buah hidupnya—perilaku, integritas, kerendahan hati, kesabaran, kasih, dan pengendalian diri—lah yang menjadi bukti.

Dalam hidup sehari-hari, kata-kata sering kali jauh lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Banyak pemimpin mengucapkan jargon rohani untuk meraih hati pemilih atau untuk mengkritik orang lain, tetapi hidup mereka tidak mencerminkan kasih Kristus. Ketika iman dijadikan alat persuasi atau simbol kekuatan, kita harus ingat bahwa Tuhan tidak melihat penampilan luar. Dia melihat hati. Dan buah kehidupan seseorang tidak dapat dipalsukan dalam jangka panjang.

2. Bahaya Ketika Iman Dijadikan Alat

Sejak zaman Perjanjian Lama, kita melihat bagaimana pemimpin dapat menyalahgunakan nama Tuhan. Nabi Yesaya menegur bangsa yang menghormati Allah dengan bibir, tetapi hati mereka jauh dari-Nya (Yesaya 29:13). Penggunaan agama untuk keuntungan pribadi bukan hanya persoalan moral, tetapi juga persoalan spiritual. Ketika nama Tuhan dipakai untuk membenarkan ambisi manusia, kehendak Allah menjadi kabur, dan umat mudah disesatkan.

Di zaman modern, seorang pemimpin dapat menggunakan citra “religius” untuk menunjukkan dirinya bermoral atau dekat dengan nilai-nilai keagamaan, padahal hidupnya tidak mencerminkan sikap dan kasih seorang murid Kristus. Inilah bahaya besar: ketika masyarakat mulai menganggap simbol-simbol religius sebagai tanda kesalehan, padahal Alkitab secara konsisten mengingatkan bahwa kesalehan tidak terletak pada simbol, tetapi pada karakter.

3. Godaan Orang Percaya: Salah Menafsirkan Identitas Rohani Seorang Pemimpin

Umat Kristen sering kali rindu melihat pemimpin yang takut akan Tuhan. Keinginan ini baik dan wajar. Tetapi kerinduan itu dapat dimanipulasi oleh tokoh-tokoh yang hanya mengklaim iman tanpa hidup dalam pertobatan. Ketika seorang pemimpin mengatakan dirinya seorang Kristen, atau mengangkat tinggi nilai-nilai religius, kita cenderung menyambutnya dengan sukacita, tanpa terlebih dahulu menguji buah hidupnya.

Namun Alkitab memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5:21) dan membedakan roh (1 Yohanes 4:1). Kita dipanggil bukan untuk menghakimi keselamatan seseorang—karena hanya Tuhan yang mengetahui hati—tetapi untuk mengenali apakah seseorang memimpin dengan semangat yang sesuai dengan Kristus atau tidak.

Di sinilah orang percaya harus bersikap bijaksana: jangan sampai kita mendukung ambisi manusia karena kita terkecoh oleh simbol rohani yang kosong.

4. Ketika Pemimpin Menggunakan Iman Untuk Memecah Belah

Salah satu tanda paling bahaya dari iman yang diperalat adalah ketika seorang pemimpin, secara sadar atau tidak, menggunakan keyakinan pribadinya untuk membelah masyarakat dengan menciptakan pandangan “kami versus mereka” dan selalu menyalahkan pihak lain sebagai “tidak benar” serta membuat dirinya seolah-olah selalu benar.

Jika kita melihat pemimpin yang memakai bahasa religius hanya untuk menguatkan argumennya, sementara hidupnya jauh dari kasih, kesabaran, dan kerendahan hati, kita harus berhati-hati. Iman tidak boleh menjadi alat untuk membenarkan kekerasan, kemarahan, atau penghinaan terhadap sesama.

Yesus berkata bahwa dunia akan mengenal para murid-Nya dari kasih mereka, bukan dari ajaran atau kekuasaan (Yohanes 13:35). Ketika seorang pemimpin mengaku beriman tetapi memakai retorika amarah dan kebencian secara bebas, jelas ada ketidaksesuaian yang perlu kita waspadai.

5. Sikap Orang Kristen: Tidak Naif, Tidak Sinis

Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pemimpin kita, baik pemimpin negara, perusahaan atau gereja?

Pertama, jangan naif. Jangan mudah terpesona oleh pemimpin yang memakai simbol rohani tetapi hidupnya tidak mencerminkan buah Roh. Kita harus menguji integritas, karakter, dan perilaku mereka.

Namun kedua, jangan menjadi sinis. Dunia ini memang sering mengecewakan, tetapi Tuhan tetap bekerja dalam hidup manusia. Kita dapat tetap mengharapkan pemimpin yang berintegritas, sambil menjaga hati agar tidak pahit atau kehilangan pengharapan.

6. Iman Tidak Seharusnya Menjadi Alat Manusia, Melainkan Jalan Hidup

Pada akhirnya, iman bukan dekorasi luar. Iman bukan slogan. Iman bukan sarana untuk mengejar kekuasaan atau dukungan orang lain. Iman adalah jalan hidup—jalan yang menuntut kerendahan hati, pengampunan, belas kasihan, dan kesiapan untuk memikul salib.

Ketika seorang pemimpin menjadikan iman sebagai alat untuk mencari dukungan atau kepentingan pribadi, ia sebenarnya sedang menjauhkan diri dari fungsi iman itu sendiri. Sebab iman pada akhirnya harus digunakan untuk memuliakan Tuhan. Dan ketika umat percaya tidak berhati-hati, mereka dapat turut terjebak dalam politik identitas yang mengaburkan Injil.

7. Kembali Kepada Kristus

Dalam dunia yang semakin bising dan penuh manipulasi, kita dipanggil untuk kembali kepada Kristus sebagai sumber hikmat. Kita tidak boleh tertipu oleh penampilan lahiriah atau kata-kata manis. Kita harus melihat dengan mata rohani, menilai dengan kasih, dan tetap setia pada Injil yang sejati.

Biarlah kita selalu mengingat firman Tuhan yang memperingatkan kita:

“Mereka mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka menyangkal Dia.” (Titus 1:16)

Semoga kita menjadi umat yang bijaksana dan berhati-hati, tidak mudah disesatkan oleh pemimpin mana pun yang memanfaatkan iman hanya sebagai topeng. Dan lebih daripada itu, semoga hidup kita sendiri menjadi kesaksian bahwa iman yang sejati bukanlah alat untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk melakukan perjalanan menuju keserupaan dengan Kristus. Soli Deo Gloria. Hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Tinggalkan komentar