“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”Efesus 4:32
“Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Yesaya 43:25

Ada satu pergumulan yang hampir semua orang alami dalam hidup—pergumulan untuk mengampuni. Setiap kita pernah disakiti, dikhianati, disalahpahami, atau dilukai oleh orang yang kita percaya. Ada perkataan yang tidak pernah bisa ditarik kembali. Ada sikap yang meninggalkan bekas dalam. Dan ada tindakan yang melukai jauh lebih dalam daripada yang terlihat dari luar. Dalam situasi seperti itu, mengampuni terasa seperti beban yang terlalu berat.
Sementara itu, melupakan kesalahan orang lain terasa hampir mustahil. Ingatan manusia tidak bekerja seperti tombol “hapus.” Luka yang dalam bisa menyimpan memori yang kuat, bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu. Seseorang dapat mencoba mengabaikan, menyibukkan diri, atau memaksa diri untuk melupakan, tetapi memori tetap bertahan. Tidak heran banyak orang berkata, “Saya bisa mengampuni, tapi saya tidak bisa melupakan.” Kenyataannya, baik mengampuni maupun melupakan bukan perkara ringan—dan memang, keduanya tidak alami bagi hati manusia.
Namun Firman Tuhan memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, ia memberikan sebuah perintah yang tampaknya sederhana tetapi memiliki kedalaman rohani yang luar biasa: “Hendaklah kamu ramah … penuh kasih mesra … dan saling mengampuni.” Tetapi ia tidak berhenti di sana. Ia memberi alasan yang menjadi fondasi dari segala pengampunan Kristen: “sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Artinya, kita diundang untuk mengampuni karena kitalah orang-orang yang terlebih dahulu diampuni.
Yesaya menambahkan sesuatu yang bahkan lebih menakjubkan. Allah berkata: “Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Bukan hanya mengampuni, tetapi juga tidak mengingat-ingat. Bagi manusia, melupakan itu sulit. Tetapi bagi Allah, melupakan bukan berarti kehilangan memori, melainkan keputusan untuk tidak lagi memperhitungkan kesalahan kita. Ini bukan pelupaan mental, tetapi pelupaan moral—keputusan penuh kasih untuk tidak lagi menjadikan dosa itu sebagai penghalang dalam hubungan-Nya dengan kita.
Perbedaan inilah yang sering kali membuat kita terjebak dalam kebingungan: apakah mengampuni berarti harus lupa? Apakah mengampuni berarti membiarkan kesalahan terulang? Apakah mengampuni berarti memaksa hati untuk tidak merasakan sakit lagi? Firman Tuhan menunjukkan bahwa pengampunan adalah tindakan yang berakar pada kasih, tetapi bukan berarti kita menghapus memori luka; melainkan membiarkan kasih Kristus mengubah cara kita memandang luka itu.
Mengampuni adalah keputusan spiritual. Kita mengampuni karena kita memilih berjalan dalam jalan Kristus, bukan karena rasa sakit sudah hilang. Kita mengampuni karena Roh Kudus bekerja di dalam kita, bukan karena ingatan kita tiba-tiba bersih. Kita mengampuni karena kita pernah menerima pengampunan yang jauh lebih besar daripada kesalahan apa pun yang dilakukan orang kepada kita.
Namun mengampuni adalah satu hal; melupakan adalah hal yang lain. Keduanya terkait tetapi tidak identik. Mengampuni adalah tindakan hati. Melupakan adalah proses penyembuhan yang terjadi seiring waktu—dan sering kali hanya terjadi ketika luka sudah dipulihkan oleh kasih Kristus.
Seseorang mungkin tidak dapat melupakan hari ini, tetapi ketika kasih Kristus memenuhi hatinya, luka itu kehilangan kuasanya. Ingatan tetap ada, tetapi tidak lagi menyakitkan. Luka itu tetap diingat, tetapi tidak lagi menguasai respon kita. Itulah pelupaan rohani—melupakan bukan karena memori hilang, tetapi karena kasih Allah menjadi lebih besar daripada luka itu.
Mengapa sulit mengampuni? Ada banyak alasan. Ada orang yang tidak mau mengampuni karena mereka takut kesalahan yang sama akan terulang. Ada yang merasa bahwa jika mereka mengampuni, itu berarti pelaku lolos dari tanggung jawab. Ada juga yang merasa bahwa kemarahan memberi mereka kekuatan untuk bertahan. Namun, semakin lama seseorang memegang kemarahan, semakin dalam luka itu mengikat hatinya. Dendam mungkin terasa seperti perlindungan, tetapi sebenarnya ia menjadi belenggu.
Pengampunan bukanlah pengabaian. Mengampuni bukan berarti membiarkan ketidakadilan berjalan. Mengampuni tidak berarti membuka pintu untuk pelecehan atau perlakuan buruk. Pengampunan adalah keputusan untuk tidak membiarkan kepahitan merusak hati kita. Kita bisa mengampuni seseorang sambil menetapkan batas yang sehat. Kita bisa mengampuni sambil menjaga diri. Kita bisa mengampuni sambil tetap mengejar kebenaran dan pemulihan.
Bagi banyak orang, pergumulan terbesar bukan hanya mengampuni orang yang menyakiti mereka, tetapi juga mengampuni orang yang tidak pernah meminta maaf. Bagaimana mungkin mengampuni seseorang yang bahkan tidak merasa bersalah? Di sinilah kita kembali kepada dasar pengampunan Kristen: kita mengampuni karena kita telah diampuni. Kristus mengampuni kita ketika kita masih berdosa, sebelum kita sadar, sebelum kita meminta maaf. Ia mengambil langkah pertama. Dan ketika kita mengampuni berdasarkan teladan Kristus, kita sedang berjalan dalam kasih yang lebih besar daripada kemampuan manusia.
Namun ada kabar yang jauh lebih indah: Allah bukan hanya mengampuni dosa kita—Dia juga memilih untuk tidak mengingatnya. “Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Ini bukan sekadar janji, tetapi penghiburan yang dalam. Allah tidak melihat kita melalui lensa masa lalu kita. Dia tidak menahan berkat-Nya karena kesalahan kita yang lama. Dia tidak mengungkit-ungkit dosa yang sudah diampuni. Dia tidak menuntut kita membayar sesuatu yang sudah dibayar oleh Kristus di kayu salib.
Jika Allah memperlakukan kita seperti itu, mengapa kita masih menyimpan catatan kesalahan orang lain? Mengapa jatuhnya seseorang di masa lalu menjadi definisi dirinya? Mengapa kesalahan yang pernah dibuat seseorang menjadi beban yang kita gunakan melawannya? Mengampuni adalah cara kita meniru kasih Allah. Melupakan—dalam pengertian Alkitabiah—adalah cara kita membebaskan diri dari masa lalu yang seharusnya sudah diserahkan kepada Tuhan.
Ketika seseorang memilih untuk mengampuni, hatinya menjadi ringan. Hubungan yang rusak bisa dipulihkan. Luka yang lama mulai sembuh. Dan seseorang mulai melihat diri dan orang lain dengan cara yang baru—cara yang dipenuhi kasih, bukan kecurigaan. Pengampunan bukan hanya hadiah bagi orang yang bersalah, tetapi juga bagi orang yang mengampuni.
Kiranya renungan ini menolong kita melihat bahwa mengampuni mungkin sulit, melupakan mungkin lebih sulit lagi, tetapi Allah telah memberikan teladan sempurna. Dia mengampuni dengan murah hati. Dia melupakan kesalahan kita dengan kasih yang dalam. Dan melalui karya Kristus, Dia memberikan kemampuan kepada kita untuk mengikuti jejak-Nya.
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, Engkau mengenal setiap luka yang kami bawa dan setiap kesalahan yang orang lain lakukan terhadap kami. Ajarlah kami untuk mengampuni sebagaimana Engkau telah mengampuni kami. Berikanlah kami hati yang lembut, roh yang rendah, dan keberanian untuk melepaskan kepahitan. Pulihkanlah luka-luka yang masih membekas dan gantikanlah dengan damai sejahtera-Mu. Tuntunlah kami untuk hidup dalam kasih yang tidak mengingat-ingat kesalahan, sebagaimana Engkau tidak mengingat dosa kami. Bentuklah kami menjadi pribadi yang mencerminkan kasih Kristus dalam setiap hubungan. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.