Jalan menuju kemuliaan menurut Yesus

“Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.” Lukas 22:26

Di sepanjang sejarah manusia, perebutan kuasa adalah sesuatu yang terus berulang. Dari istana kerajaan di masa kuno hingga ruang rapat modern, manusia selalu berjuang untuk menjawab satu pertanyaan yang sama: Siapa yang terbesar? Pertanyaan itu muncul dalam banyak bentuk—siapa yang berpengaruh, siapa yang paling penting, siapa yang harus didengar, siapa yang harus mendapat tempat terhormat. Kadang-kadang kita bahkan tidak menyadari bahwa kita sendiri ikut terlibat dalam dinamika yang sama, baik di tempat kerja, dalam komunitas, maupun dalam lingkup rohani.

Menariknya, pergumulan seperti itu tidak hanya terjadi di dunia sekuler, tetapi juga pernah muncul di antara para murid Yesus. Pada malam ketika Yesus sedang mempersiapkan diri menuju salib—momen yang menjadi pusat keselamatan manusia—para murid justru sedang berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka melihat Yesus melakukan banyak hal yang luar biasa, dan mereka mungkin berpikir bahwa kerajaan duniawi akan segera datang. Dalam bayangan mereka, kedudukan dalam kerajaan itu harus ditentukan sejak sekarang. Namun Yesus melihat lebih dalam daripada sekadar perdebatan mereka. Ia melihat hati yang masih dipengaruhi ambisi dunia, hati yang belum sepenuhnya memahami siapa Tuhan yang sedang mereka ikuti.

Yesus lalu berbicara tentang raja-raja bangsa-bangsa dan cara mereka memerintah rakyat. Mereka memegang kuasa sebagai alat untuk menunjukkan kekuatan, membuat orang tunduk, dan memberi jarak antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Kepada orang-orang seperti itu, masyarakat memberikan gelar “pelindung”—suatu sebutan yang terdengar mulia namun sering kali lebih menggambarkan prestise daripada pelayanan. Dan di tengah gambaran itu, Yesus meletakkan sebuah garis demarkasi yang sangat tegas, sebuah kalimat yang benar-benar membedakan cara berpikir murid-murid-Nya dari cara berpikir dunia: “Tetapi kamu tidaklah demikian.”

Tiga kata itu mengubah segalanya. Yesus tidak hanya memberikan nasihat moral; Ia membangun ulang pandangan mereka tentang kepemimpinan, kebesaran, dan kemuliaan. Pernyataan itu seperti sebuah pintu yang memisahkan dua kerajaan—kerajaan dunia dan Kerajaan Allah. Yang satu mengangkat diri, yang satu merendahkan diri. Yang satu ingin dilayani, yang satu ingin melayani. Yang satu mengejar kehormatan, yang satu justru meninggalkan kehormatan demi kasih.

Yesus lalu menyampaikan pernyataan yang begitu radikal sehingga terus mengguncang pemikiran manusia sampai hari ini: “Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi seperti yang paling muda.” Dalam budaya Timur Dekat pada zaman itu, yang paling muda bukan sekadar lebih kecil, tetapi juga yang paling tidak memiliki hak dan kehormatan. Ia bukan pusat perhatian, melainkan orang yang ditugaskan mengerjakan hal-hal sepele. Tetapi Yesus berkata bahwa di Kerajaan-Nya, itulah posisi yang paling layak bagi orang yang ingin menjadi besar.

Yesus tidak hanya mengajarkan kalimat itu; Ia menjalankannya. Seluruh hidup-Nya adalah perwujudan dari kerendahan hati yang sempurna. Ia yang sejak kekal bersama Bapa turun menjadi manusia. Ia yang menciptakan alam semesta lahir sebagai bayi tak berdaya. Ia yang disembah malaikat tumbuh di sebuah desa kecil dan bekerja sebagai tukang kayu. Ia yang berhak memerintah semua bangsa justru menjalin persahabatan dengan orang-orang sederhana—nelayan, pemungut cukai, perempuan-perempuan yang tersisih, dan orang-orang yang dianggap tidak layak oleh masyarakat.

Dalam setiap langkah hidup-Nya, Yesus menunjukkan bahwa kemuliaan sejati tidak ditemukan melalui kedudukan, tetapi melalui karakter. Ia tidak pernah membangun bala tentara. Ia tidak memiliki istana. Ia tidak mengumpulkan kekayaan. Tetapi dunia berubah melalui hidup-Nya, karena kerendahan hati-Nya memancarkan wibawa yang tidak bisa dipalsukan. Inilah paradoks Kerajaan Allah: semakin seseorang merendahkan diri, semakin terang kemuliaan Allah tampak dalam dirinya.

Ketika hari-hari pelayanan Yesus mendekati puncaknya, Ia mengambil tindakan yang semakin menegaskan prinsip ini. Pada malam sebelum penyaliban, Ia bangkit dari meja, mengambil sebuah kain, mengikatkan pada pinggang-Nya, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya. Dalam budaya pada zaman itu, membasuh kaki adalah tugas budak, bukan guru. Tetapi Yesus melakukannya bukan karena Ia sedang ingin membuat drama rohani, tetapi karena itulah jati diri-Nya sebagai Tuhan yang melayani. Ia ingin murid-murid-Nya melihat bahwa jalan menuju kebesaran terletak pada kerelaan hati untuk turun ke tempat terendah.

Paradoks ini juga berlaku dalam kehidupan orang percaya sekarang. Dunia modern mungkin sudah berubah, tetapi dinamika hati manusia tidak berubah. Kita masih ingin dianggap penting. Kita masih ingin didengar. Kita masih ingin dihormati. Kadang, bahkan dalam pelayanan gereja, ambisi tersembunyi bisa muncul: ingin dikenal sebagai pemimpin yang disegani, pelayan yang dipuji, atau sosok yang memiliki pengaruh. Namun Yesus berkata bahwa jika kita ingin mengikuti Dia, kita harus mengambil sikap seperti yang paling muda—bukan karena kita tidak berharga, tetapi karena dalam kerendahan hati, kita mengakui bahwa segala sesuatu adalah anugerah.

Kerendahan hati yang Yesus ajarkan bukanlah sikap merendahkan diri secara berlebihan atau berbicara dengan cara yang tampak lembut tetapi tidak tulus. Kerendahan hati sejati lahir dari hati yang telah disentuh oleh salib Kristus. Ketika seseorang menyadari bahwa ia diselamatkan bukan karena kehebatannya, tetapi hanya oleh kasih karunia, maka ia tidak lagi perlu membuktikan diri. Ia bebas untuk melayani tanpa takut tidak dihargai. Ia bebas untuk memimpin tanpa harus memperjuangkan kehormatan. Ia bebas untuk merendahkan diri karena ia tahu bahwa martabatnya berasal dari Kristus, bukan dari pujian manusia.

Di dunia yang selalu mengejar prestise, kerendahan hati mungkin terlihat seperti kelemahan. Namun dalam terang Injil, itulah kekuatan sejati. Pemimpin terbesar bukanlah orang yang paling banyak memerintah, tetapi orang yang paling banyak berkorban. Orang yang benar-benar kuat bukanlah yang berhasil menundukkan banyak orang, tetapi yang berhasil menaklukkan dirinya sendiri. Dan orang yang terbesar dalam Kerajaan Allah bukanlah yang paling banyak ditinggikan, tetapi yang paling rela merendahkan diri.

Pada akhirnya, renungan tentang kerendahan hati ini membawa kita kembali kepada salib. Di sana kita melihat Anak Allah yang merendahkan diri setinggi-tingginya dan serendah-rendahnya pada saat yang sama. Di sana kita melihat kemuliaan dan kehinaan bertemu. Di sana kita melihat betapa besar kasih Kristus bagi manusia. Dan ketika kita memandang salib itu, kita menjadi sadar bahwa satu-satunya jalan menuju kemuliaan sejati adalah mengikuti jejak-Nya: berjalan dengan rendah hati, melayani dengan kasih, dan mengutamakan orang lain lebih daripada diri sendiri. Kita tahu bahwa itulah apa yang dituntut Tuhan atas umat-Nya yang setia dalam kesederhanaan.

“Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Matius‬ ‭25‬:‭23‬‬

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah menunjukkan kepada kami jalan menuju kebesaran yang sejati. Ajarlah kami untuk meneladani kerendahan hati-Mu. Bebaskan kami dari ambisi yang tidak perlu, dari keinginan untuk ditinggikan, dan dari dorongan untuk mencari penghormatan. Bentuklah hati kami agar semakin menyerupai hati-Mu, sehingga kami dapat memimpin dengan semangat seorang hamba dan melayani dengan kasih yang tulus. Jadikanlah hidup kami cerminan dari karakter-Mu, agar dunia dapat melihat terang-Mu melalui sikap kami. Dalam nama-Mu kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar