“Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan.” Matius 10:1

Ada satu momen yang begitu menentukan dalam pelayanan Yesus di bumi—momen ketika Ia memanggil kedua belas murid, memberi mereka kuasa, dan mengutus mereka berdua-dua. Matius 10:1–15 mencatat bagaimana Yesus memanggil mereka satu per satu, memberikan otoritas untuk mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan segala penyakit, lalu mengutus mereka untuk memberitakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat. Ini adalah titik balik penting: Yesus tidak lagi melakukan semua pekerjaan seorang diri, tetapi mulai memperluas pelayanan-Nya melalui orang-orang yang Ia latih.
Sering kali kita membaca bagian ini hanya sebagai kisah “pengutusan murid”, tetapi sesungguhnya ini adalah pelajaran emas tentang delegasi. Yesus, yang memiliki kuasa ilahi dan tidak terbatas, memilih untuk melibatkan manusia yang penuh kelemahan. Ia tidak membutuhkan mereka—tetapi Ia memilih untuk memakai mereka. Di sini, delegasi bukan sekadar strategi kepemimpinan, melainkan bagian dari cara Allah bekerja dalam sejarah: Ia memberkati, lalu Ia mengutus; Ia memperlengkapi, lalu Ia memercayakan; Ia memimpin, tetapi Ia juga membiarkan orang lain turut ambil bagian di masa sekarang maupun masa depan.
Yesus mengetahui batasan fisik manusia ketika Ia mengambil rupa sebagai manusia. Namun lebih dari itu, Ia ingin para murid mengalami pertumbuhan melalui keterlibatan, bukan hanya pengamatan. Ia bisa saja menjangkau seluruh kota sendirian dengan kuasa-Nya, tetapi Ia memilih menjangkau dunia melalui para murid—dan melalui gereja dari generasi ke generasi.
Delegasi Yesus bukan karena Ia tidak mampu, melainkan karena Ia ingin membentuk murid menjadi pemimpin di masa depan. Ia tahu bahwa pertumbuhan rohani sering terjadi ketika seseorang diberi tanggung jawab. Ada kedewasaan yang tidak dapat dibentuk hanya lewat pengajaran, tetapi harus ditempa melalui praktek. Ketika seseorang melangkah seperti burung muda yang keluar dari sarangnya, mencoba terbang, menghadapi tantangan, gagal, bangkit lagi, dan ia melihat kuasa Allah bekerja di tengah keterbatasannya—di situlah orang itu ditempa menjadi dewasa.
Yesus mendelegasikan karena Ia melihat masa depan. Ia tahu bahwa setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya, Injil harus terus diberitakan hingga ke ujung bumi. Tanpa delegasi, tidak akan ada penginjilan global. Tanpa delegasi, gereja tidak pernah lahir.
Di zaman sekarang, delegasi juga merupakan hal yang sangat penting dalam tiap keluarga, organisasi, gereja dan badan pemerintahan. Dalam delegasi, mereka yang lebih muda atau lebih junior diberi penguatan (empowerment) dari yang lebih tua atau lebih senior agar mereka bisa berdiri sendiri di masa depan. Ini juga merupakan bagian dari proses transisi yang sehat dalam semua bentuk persekutuan umat manusia.
Namun kenyataannya, delegasi bukan perkara mudah. Banyak pemimpin—baik di pelayanan, di keluarga, dalam pekerjaan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari—sering gagal mendelegasikan. Alasannya beragam, dan menariknya, alasan-alasan itu muncul dari hati manusia yang rapuh.
Ada pemimpin yang berkata, “Saya tidak punya waktu untuk melatih orang lain.” Ironisnya, mereka justru akan kelelahan karena mengerjakan semua seorang diri. Orang seperti ini lupa bahwa melatih orang membutuhkan waktu di awal, tetapi menghemat banyak waktu di kemudian hari.
Ada pula mentalitas “kalau mau hasil yang bagus, ya lakukan sendiri.” Ini adalah bentuk perfeksionisme yang sering kali tidak sehat. Ia menolak menerima variasi cara, gaya, dan kualitas, padahal orang lain dapat diajar dan ditumbuhkan.
Beberapa pemimpin merasa bahwa jika mereka menyerahkan tugas, mereka kehilangan kendali. Delegasi dianggap sebagai ancaman terhadap posisi mereka. Ada pula yang berpikir, “Saya bisa mengerjakan lebih baik daripada dia.” Betul—setidaknya sementara. Tetapi jika itu menjadi alasan selamanya, orang lain tidak akan pernah berkembang dan organisasi apa pun akan mundur karenanya.
Sebagian pemimpin bahkan terlalu keras kepala atau sombong untuk meminta bantuan. Mereka ingin terlihat kuat, tidak butuh orang lain, tidak ingin menunjukkan kelemahan. Dalam gereja, ada yang takut jika orang lain melakukan pekerjaan lebih baik daripada mereka—dan ketakutan itu menyingkap bahwa mereka melayani bukan demi kemuliaan Tuhan, tetapi demi citra diri.
Masalah lainnya adalah kurangnya kepercayaan kepada kemampuan orang lain. Pemimpin yang demikian cenderung untuk menghindari perubahan karena terlalu takut mengambil risiko. Ia selalu berusaha mengontrol bawahannya. Ia lupa bahwa setiap murid, sebelum menjadi matang, pasti melewati masa-masa kaku, ragu-ragu, belajar dari kesalahan, dan membutuhkan kesempatan untuk terbang solo. Pemimpin yang tidak memikirkan masa depan dan pergantian posisi adalah orang yang egois dan kurang bijaksana.
Jika Yesus saja mempercayakan kuasa ilahi kepada murid-murid yang masih ragu-ragu, emosional, dan belum stabil sepenuhnya, bagaimana mungkin kita menuntut kesempurnaan mutlak dari orang yang akan kita delegasikan?
Di sisi lain, delegasi sering gagal bukan hanya karena pemimpin enggan menyerahkan tugas, tetapi juga karena penerima delegasi tidak melaksanakannya dengan baik. Ini pun terlihat dalam perjalanan para murid. Ada masa ketika mereka tidak berhasil mengusir roh jahat, ada ketika mereka saling iri hati, ada ketika mereka salah memahami misi Yesus.
Seseorang bisa gagal menjalankan tugas yang diberikan karena ia tidak memahami instruksi dengan jelas. Ia mungkin tidak merasa memiliki tugas itu—sekadar melanjutkan pekerjaan orang lain, bukan sebagai panggilan pribadi. Ada yang gagal karena takut, kurang percaya diri, kurang dihargai, atau tidak mau menanggung risiko. Ada pula yang tergoda menyimpang dari misi utama, sibuk dengan hal-hal lain yang kelihatan lebih menarik.
Kegagalan ini bukan alasan untuk berhenti mendelegasikan. Bahkan Yesus, yang sempurna, memiliki murid-murid yang tidak selalu berhasil. Namun Ia tetap memberi mereka kesempatan. Ia menegur, tetapi Ia tidak mencabut mandat itu. Delegasi adalah proses membentuk orang, bukan hanya memindahkan pekerjaan.
Delegasi sebagai Bagian dari Kerajaan Allah
Ketika Yesus mengutus kedua belas murid, Ia sebenarnya sedang menunjukkan model kepemimpinan Kerajaan Allah: kepemimpinan yang membangun orang lain, bukan kepemimpinan yang menumpuk kekuasaan pada satu individu atau hidup di masa lalu. Dalam dunia, banyak pemimpin takut kehilangan posisi atau penghormatan orang lain. Tetapi dalam Kerajaan Allah, pemimpin sejati justru ingin orang lain bertumbuh dan menjadi lebih baik. Pergantian generasi adalah salah satu tugas mulia seorang pemimpin.
Delegasi yang benar bukan sekadar membagi tugas, tetapi membagi kepercayaan. Itulah yang Yesus lakukan. Ia memberi kuasa, bukan hanya perintah. Ia memberikan visi yang jelas, bukan hanya daftar tugas. Ia membekali dengan pengajaran, tetapi juga dengan pengalaman langsung di lapangan.
Tugas yang didelegasikan kepada murid-murid itu bukan hal yang kecil. Mereka diutus untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menyucikan orang kusta, dan mengusir setan. Ini adalah bentuk delegasi yang luar biasa. Yesus memberikan kepada mereka sebagian dari pekerjaan inti pelayanan-Nya. Mereka menjadi perpanjangan tangan Sang Mesias.
Pagi ini kita membaca bahwa delegasi bukan tanda kelemahan, melainkan tanda hikmat. Delegasi bukan kehilangan kendali, melainkan memperluas hasil. Delegasi bukan sekadar memindahkan beban, tetapi membangun generasi penerus. Dan delegasi bukan hanya strategi manajemen, tetapi bagian dari misi Kristus untuk membentuk murid, bukan penonton.
Jika Yesus mempercayakan pelayanan kepada murid-murid yang masih belajar, tidakkah kita pun harus belajar mempercayakan tugas kepada orang lain?
Pelayanan akan mandek jika hanya bergantung pada satu orang. Tetapi pelayanan akan berkembang ketika setiap orang diberi kesempatan untuk melayani sesuai panggilan dan karunia yang Tuhan berikan.
Semoga kita belajar dari Sang Guru Agung—pemimpin yang tidak hanya bekerja, tetapi juga membangun pekerja; yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mengutus; yang tidak hanya berkhotbah, tetapi juga mendelegasikan.
Tuhan menolong kita menjadi pemimpin yang mempersiapkan orang lain, bukan pemimpin yang menutupi mereka. Sebab Kerajaan Allah adalah kerajaan di mana semua orang dipanggil untuk melayani. Tuhan mengutus, dan kita pun harus belajar mengutus. Karena di situlah letak pertumbuhan, pembaruan, dan berkat yang melimpah.
“Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”2 Timotius 3:17