“Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.” 1 Petrus 1:6

Tidak ada seorang pun yang memilih penderitaan sebagai bagian dari rencana hidupnya. Setiap manusia, dari sejak kecil hingga usia lanjut, selalu mendambakan kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan. Namun pengalaman hidup menunjukkan bahwa tidak seorang pun dapat mengendalikan seluruh jalan hidupnya. Harapan bisa pupus, rencana bisa runtuh, dan kebahagiaan bisa diguncang oleh berita atau peristiwa yang datang tiba-tiba.
Peribahasa lama berkata, “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.” Sekalipun kalimat itu kurang benar karena menekankan adanya takdir, orang percaya memang tidak kebal terhadap kemalangan, penyakit, kekecewaan, atau kehilangan. Bahkan boleh dikatakan bahwa hidup orang percaya sering kali justru dicampur dengan tantangan yang lebih tajam karena ia berusaha setia kepada kebenaran.
Ayat di atas memberikan perspektif yang berbeda tentang penderitaan. Sekilas, ayat itu terasa paradoksal—bagaimana mungkin seseorang dapat bergembira sementara ia sedang berdukacita? Bagaimana mungkin sukacita dan pencobaan hadir bersama dalam hati yang sama? Tetapi justru di sinilah kedalaman ajaran Kristen: sukacita orang percaya tidak berdiri di atas keadaan hidup, tetapi berakar pada kepastian tentang apa yang kekal.
Penderitaan, bagi banyak orang, adalah tanda kutuk atau kegagalan. Tetapi bagi orang percaya, penderitaan sering kali menjadi cermin yang memantulkan kenyataan bahwa hidup ini rapuh, dunia ini fana, dan segala yang kita miliki hanya bersifat sementara.
Banyak orang tidak menyadari betapa hidup ini mudah berubah sampai mereka menghadapi situasi yang memaksa mereka berhenti, berdiam, dan merenung. Dalam saat-saat seperti itu, dunia yang selama ini tampak begitu kuat dan menggiurkan ternyata tidak lebih dari bayang-bayang yang cepat berlalu. Yang dulu dianggap penting, mendadak terasa remeh. Yang dulu membanggakan, mendadak tidak memberi penghiburan apa-apa. Maka, tanpa disadari, penderitaan menarik pandangan kita dari dunia dan mengarahkannya kepada Kristus.
Harapan orang percaya bukanlah kenyamanan di bumi, melainkan keselamatan yang telah dinyatakan melalui darah Yesus. Keselamatan itu bukan teori, bukan slogan, bukan sekadar penghiburan murah. Keselamatan adalah realitas kekal yang dibayar dengan harga yang tak terukur.
Bila penderitaan hidup membawa kita kembali kepada kesadaran akan karya Kristus di kayu salib, maka penderitaan itu—sehancur apa pun bentuknya—tidaklah sia-sia. Justru di dalam luka, kita menemukan betapa besar kasih Tuhan. Di dalam air mata, kita melihat betapa dekat-Nya Ia kepada kita. Dan di dalam keputusasaan, kita menemukan tangan-Nya yang tidak pernah melepaskan.
Iman bukanlah kemampuan untuk tersenyum ketika hati terluka, melainkan keberanian untuk percaya bahwa Tuhan tetap berdaulat meskipun keadaan tidak seperti harapan kita.
Iman berkata, “Aku tidak mengerti mengapa ini terjadi, tetapi aku percaya Tuhan tahu apa yang Ia kerjakan.” Iman tidak menutup mata terhadap realitas derita, tetapi menatap lebih jauh kepada kemuliaan yang akan datang. Itu sebabnya para saksi iman di sepanjang sejarah mampu berjalan dengan kepala tegak meskipun kaki mereka berada di jalan yang berat. Mereka tahu bahwa apa pun yang mereka hadapi hari ini hanyalah sekejap bila dibandingkan dengan kekekalan bersama Kristus.
Penderitaan bukan hanya mengajarkan tentang kefanaan, tetapi juga memurnikan iman. Dalam kenyamanan, iman mudah menjadi dangkal. Kita cenderung bersandar pada diri sendiri, kekuatan sendiri, dan kemampuan sendiri. Tetapi ketika hidup terguncang, barulah iman diuji. Di saat itulah tampak apakah kita sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan atau hanya mengikuti-Nya selama keadaan baik.
Petrus menegaskan bahwa berbagai pencobaan itu diperlukan untuk membuktikan kemurnian iman, seperti emas yang dimurnikan dengan api. Api itu panas, menyakitkan, bahkan dapat membuat kita ingin menyerah. Namun api pemurnian tidak merusak emas—ia justru mengangkat nilai emas itu. Demikian pula Tuhan mengizinkan pencobaan untuk membuat iman kita semakin murni, semakin teguh, dan semakin mengakar dalam kasih karunia-Nya.
Sering kali penderitaan juga membuka mata kita terhadap karya Tuhan yang tak terlihat pada masa-masa nyaman. Dalam kelemahan, kita baru menyadari bahwa kasih Allah tidak pernah berhenti menopang. Dalam ketidakpastian, kita menemukan bahwa janji-Nya lebih kokoh daripada apa pun di dunia ini. Dan dalam kesedihan yang terdalam, kita merasakan kehadiran Tuhan yang paling lembut—bukan dalam suara gemuruh, tetapi dalam bisikan lembut yang menguatkan hati.
Banyak orang justru merasakan pertumbuhan rohani terbesar bukan ketika semuanya berjalan lancar, tetapi ketika mereka berjalan di lembah kekelaman.
Alkitab tidak pernah memerintahkan kita untuk menikmati penderitaan itu sendiri. Namun Alkitab memanggil kita untuk bersukacita karena karya Tuhan yang dinyatakan melalui penderitaan. Sukacita itu bukan tawa yang dibuat-buat, bukan juga keberanian palsu yang dipaksa.
Sukacita dalam penderitaan adalah ketenangan yang lahir dari kesadaran bahwa hidup kita berada dalam tangan Tuhan yang Mahabijaksana. Ia tidak pernah salah. Ia tidak pernah terlambat. Ia tidak pernah meninggalkan kita walau sekejap pun. Penderitaan boleh mengguncang tubuh dan perasaan kita, tetapi tidak dapat mencabut keselamatan yang telah dijanjikan kepada kita.
Sesungguhnya, adanya penderitaan bisa mengingatkan kita bahwa kita sedang menuju rumah sejati kita. Ketika Petrus menulis suratnya, ia menulis kepada jemaat yang sedang ditekan dan dianiaya. Namun ia mengajak mereka bergembira karena mereka sedang berjalan menuju warisan yang kekal, murni, tidak layu, dan tidak dapat dirusakkan.
Dunia dapat mengambil banyak hal dari kita—kesehatan, keamanan, ketenangan, pekerjaan, bahkan orang-orang yang kita kasihi. Tetapi dunia tidak dapat mengambil Kristus dari kita, dan tidak dapat mengambil kita dari tangan Kristus. Itulah sumber sukacita sejati dalam penderitaan: bahwa sekalipun dunia berubah dan tubuh kita semakin lemah, pengharapan kita tetap kokoh di hadapan Allah.
Ketika pencobaan datang, janganlah kita heran seolah-olah sesuatu yang aneh sedang terjadi. Sebaliknya, pandanglah penderitaan itu sebagai kesempatan untuk mengenal Tuhan lebih dalam, mengerti kehendak-Nya lebih jelas, dan mengalami pemeliharaan-Nya lebih nyata. Di tengah air mata, percayalah bahwa Tuhan sedang bekerja. Di tengah kehilangan, percayalah bahwa Ia tetap setia. Dan di tengah dukacita, percayalah bahwa sukacita sejati tidak pernah bergantung pada keadaan, tetapi pada Dia yang telah mati dan bangkit bagi kita.
Pada akhirnya, kebahagiaan dalam penderitaan bukanlah hasil kekuatan manusia. Kebahagiaan itu adalah karya Roh Kudus dalam hati orang percaya. Roh Kuduslah yang menuntun kita untuk memahami firman, yang memberi damai di tengah badai, dan yang menolong kita berkata, “Tuhan, kehendak-Mu yang jadi,” sekalipun jalan yang harus kita tempuh terasa berat.
Dengan pertolongan-Nya, kita dapat melangkah dengan keyakinan bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia bagi orang yang mengasihi Tuhan. Setiap luka membawa pelajaran, setiap air mata membawa penghiburan, dan setiap pencobaan membawa kita lebih dekat kepada kemuliaan yang telah disediakan bagi kita.
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, kami mengangkat hati kami kepada-Mu dengan segala beban dan pergumulan yang kami alami. Engkau tahu setiap air mata, setiap kekhawatiran, dan setiap luka yang tersembunyi di dalam hati kami. Ajarlah kami untuk melihat penderitaan dengan mata iman, bukan dengan keputusasaan. Isi hati kami dengan sukacita yang berasal dari pengharapan akan keselamatan yang telah Engkau berikan melalui Kristus. Murnikan iman kami, kuatkan langkah kami, dan tuntun kami untuk tetap setia meskipun jalan hidup tidak selalu mudah. Kiranya Roh Kudus yang menghibur senantiasa menyertai kami dan menopang kami sampai akhirnya kami tiba di rumah kekal yang Engkau sediakan. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.