“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Mazmur 90:10

Mazmur 90 adalah satu-satunya mazmur yang ditulis oleh Musa. Dari seluruh pengalamannya memimpin umat di padang gurun, ia menyimpulkan bahwa hidup manusia sesungguhnya singkat. Ia tidak sedang menetapkan aturan baku tentang usia rata-rata, tetapi menggambarkan realitas umum pada zamannya: kehidupan penuh perjuangan, rasa letih, dan cepat berlalu. Bahkan para pemimpin besar seperti Musa sendiri menyadari bahwa manusia hanyalah debu yang bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Allah.
Mazmur ini juga memuat nada penghakiman: generasi yang berjalan di padang gurun menyaksikan banyak yang gugur sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Namun isi mazmur tidak berhenti pada hukuman—sebaliknya, ia mengajak umat menyadari kefanaan mereka agar mereka berhikmat dalam menjalani hidup.
Di tengah gambaran tentang umur 70–80 tahun ini, Alkitab memberi perspektif yang lebih luas. Kristus sendiri hidup hanya sekitar tiga puluh tahun di dunia. Artinya, panjang umur bukan ukuran nilai hidup. Justru melalui hidup Yesus yang relatif singkat, kita melihat rencana kekal Allah yang jauh melampaui batas usia manusia.
1. Hidup Panjang Bukanlah Ukuran, Melainkan Kesempatan
Banyak orang menganggap umur yang panjang sebagai bukti berkat. Namun Mazmur ini mengingatkan bahwa angka usia tidak menentukan kualitas hidup seseorang. Seseorang bisa mencapai usia lanjut tetapi tidak pernah mengenal damai Tuhan. Sebaliknya, seseorang bisa hidup sebentar tetapi meninggalkan warisan kasih, kesetiaan, dan ketaatan yang berpengaruh sampai generasi berikutnya.
Dalam terang ini, hidup panjang sesungguhnya adalah kesempatan—bukan kebanggaan. Kesempatan untuk bertobat, belajar, mengasihi, dan melayani. Kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Dia yang memberi hidup.
2. Hidup Bernilai Ketika Dipakai untuk Memuliakan Tuhan
Mazmur lain berkata: “Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup.” Itu bukanlah pernyataan tentang berapa lama seseorang bisa bertahan, melainkan tentang kemana arah hatinya tertuju. Setiap hari adalah kesempatan memuliakan Tuhan melalui kasih yang tulus, melalui kesabaran, melalui pengampunan, melalui pekerjaan yang dilakukan dengan setia, dan melalui kehidupan yang menjadi kesaksian.
Ada orang yang hidup bertahun-tahun tetapi tidak pernah mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Ada pula orang-orang yang singkat umurnya, namun kehidupan mereka seperti pelita yang tetap menyala bagi generasi setelahnya. Ukuran kehidupan tidak ditentukan oleh panjangnya kalender, tetapi oleh kedalaman ketaatan.
3. Perumpamaan Talenta: Tuhan Menilai Isi Hidup, Bukan Lamanya Hidup
Perumpamaan talenta adalah kunci untuk memahami bagaimana Tuhan menilai kehidupan kita. Yesus sedang berbicara tentang kedatangan-Nya kembali—tentang penghakiman terakhir. Ia menggambarkan seorang tuan yang mempercayakan talenta kepada hamba-hambanya. Talenta di sini bukan hanya bakat, melainkan seluruh paket kesempatan, pengaruh, waktu, sumber daya, dan panggilan yang Tuhan titipkan kepada kita.
Yang mencolok adalah ini:
Tuan itu tidak mempersoalkan berapa lama para hamba mengerjakan talenta itu. Ia hanya melihat apa yang mereka lakukan dengan apa yang diberi.
Demikian pula dalam hidup kita:
Tuhan tidak menanyakan, “Berapa tahun kamu hidup?” Melainkan, “Apa yang kamu perbuat dengan tahun-tahun itu?”
Hamba yang setia mendapat pujian. Hamba yang menyembunyikan talenta mendapat teguran keras. Pesan Yesus jelas: hidup di dunia adalah masa penantian yang aktif. Setiap napas adalah kesempatan untuk setia, bukan untuk pasif.
4. Hidup Yang Kekal Mengubah Cara Kita Melihat Usia
Kematian bukanlah akhir bagi orang percaya. Melalui Kristus, kematian telah ditaklukkan, dan kehidupan kekal telah dibukakan. Ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya tidak berakhir di dunia, ia tidak lagi mengukur nilainya dari panjang usia.
Usia 70, 80, atau bahkan 100 tahun hanyalah titik kecil jika dibandingkan dengan kekekalan. Karena itu, yang terpenting bukanlah mempertahankan hidup sepanjang mungkin, atau bangga dengan kebugaran tubuh di hari tua, tetapi hidup setia selama Tuhan memberi.
Kualitas hidup yang memuliakan Tuhan—itulah yang bertahan sampai selamanya. Tuhan tidak mencari lilin yang bisa lama menyala, tetapi lilin yang mau menyinarkan cahaya-Nya.
Doa penutup;
Tuhan, ajarlah kami menghitung hari-hari kami sehingga kami memperoleh hati yang bijaksana. Ingatkan kami bahwa hidup ini cepat berlalu, tetapi setiap hari yang Engkau berikan penuh dengan kesempatan untuk mengasihi-Mu dan melayani sesama. Biarlah kami tidak sekadar mengejar umur panjang, tetapi mengejar hidup yang memuliakan Engkau. Pakailah setiap talenta, waktu, dan kesempatan yang Engkau titipkan agar hidup kami menjadi terang bagi dunia. Dan ketika hari-hari kami berakhir, biarlah kami menemukan diri kami dalam kemuliaan-Mu yang kekal. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.
Ada sebuah pengakuan jujur dalam Mazmur 90 yang selalu menyentuh hati manusia sepanjang zaman. Musa, pemimpin besar Israel, menuliskan refleksi hidupnya: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Ayat ini bukan sebuah vonis ilahi tentang batas usia manusia, melainkan gambaran jujur tentang kefanaan hidup manusia di dunia. Musa yang melihat begitu banyak orang Israel jatuh di padang gurun, yang menyaksikan kerapuhan manusia setiap hari, menyimpulkan bahwa hidup itu pendek, melelahkan, dan bergerak cepat seperti kabut pagi yang hilang saat matahari terbit.
Namun justru di balik pengakuan tentang singkatnya hidup ini, tersimpan undangan rohani yang mendalam: bila hidup ini tidak panjang, bagaimana kita harus menjalankannya? Bila waktu bergerak cepat dan tidak bisa ditahan, apa arti umur panjang? Dan bila umur manusia bukan ukuran nilai hidup, maka apa yang benar-benar membuat hidup bermakna di hadapan Tuhan?
Renungan tentang hidup panjang sering mengarah pada angka: apakah seseorang mencapai 70, 80, atau bahkan 100 tahun. Banyak budaya menganggap umur panjang sebagai simbol keberhasilan, berkat, atau hidup yang baik. Tetapi Alkitab memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih mendalam: panjangnya hidup bukanlah jumlah tahun, tetapi kedalaman pengabdian. Bukan lamanya napas, tetapi kepada siapa napas itu dipersembahkan. Hidup yang panjang adalah hidup yang dipenuhi makna, bukan hitungan kalender.
Bahkan Tuhan Yesus sendiri hidup relatif singkat—sekitar tiga puluh tahun. Namun tidak ada satu manusia pun yang memiliki pengaruh lebih besar dari Dia. Dari sini kita belajar: Tuhan tidak menilai panjangnya usia, tetapi kesetiaan dalam menjalani panggilan Ilahi. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk hidup lama, tetapi setiap orang diberi kesempatan untuk hidup bermakna.
Itulah sebabnya Mazmur lain mengatakan, “Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup.” Perhatikan bahwa ayat ini tidak menyebutkan panjang usia. Memuliakan Tuhan tidak membutuhkan usia tertentu, tidak membutuhkan masa hidup yang panjang atau pendek. Yang dibutuhkan adalah hati yang mau diarahkan kepada Dia. Seseorang dapat hidup lama namun tidak pernah memuliakan Tuhan. Sebaliknya, ada yang hidup singkat, namun hidupnya menjadi kesaksian yang tetap dikenang di bumi dan diperhitungkan di surga.
Ketika kita berbicara tentang hidup panjang, kita sering terpaku pada berapa lama kita bisa bertahan. Tetapi Alkitab mengarahkan fokus kita kepada apa yang kita lakukan selama kita diberi waktu. Ini ditegaskan dengan sangat kuat dalam Perumpamaan Talenta. Yesus berbicara tentang seorang tuan yang pergi jauh dan mempercayakan talenta kepada hamba-hamba-Nya. Talenta itu bukan sekadar kemampuan, tetapi seluruh kesempatan, waktu, kekuatan, pengaruh, dan karunia yang Tuhan berikan kepada kita untuk dikelola dan dikembangkan.
Yang menarik, dalam perumpamaan itu, tuan tersebut tidak bertanya berapa lama para hamba bekerja. Ia tidak menghitung jam, hari, atau tahun. Yang Ia perhatikan adalah apa yang mereka hasilkan dengan apa yang telah dipercayakan. Ada hamba yang setia mengembangkan talenta, dan ada yang memilih untuk menyembunyikannya. Perbedaan mereka bukan pada usia, melainkan pada respons. Bukan pada lamanya hidup, melainkan pada kesetiaan.
Karena itu, dunia sering mengukur keberhasilan dari berapa lama seseorang hidup. Tetapi Tuhan mengukur dari bagaimana seseorang menghidupi anugerah-Nya dari hari ke hari. Kita dapat merasakan tekanan batin ketika memikirkan usia yang terus bertambah, tubuh yang semakin lemah, atau kesempatan yang perlahan menyempit. Tetapi renungan Mazmur 90 mengajak kita memandang dari perspektif yang berbeda. Jika hidup memang singkat, maka setiap hari menjadi permata yang berharga. Jika usia manusia cepat berlalu, maka setiap jam menjadi kesempatan untuk hidup dengan bijak.
Musa sendiri memohon kepada Tuhan: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Ia tidak berdoa agar Tuhan menambah tahun hidupnya. Ia meminta hikmat untuk memakai waktu yang tersedia. Inilah doa yang memampukan manusia menjalani hari-hari tanpa penyesalan, sebab setiap langkah dipenuhi kesadaran akan tujuan yang kekal.
Hidup yang memuliakan Tuhan adalah hidup yang menyala di hadapan-Nya. Bukan karena panjangnya tahun, melainkan karena ketekunan, kasih, dan pelayanan yang terus dipersembahkan. Ibarat sebuah lilin, ada lilin yang besar dan panjang, tetapi nyalanya redup dan tidak memberi banyak cahaya. Ada juga lilin kecil yang cepat habis, tetapi selama menyala ia mengusir gelap dan menghangatkan suasana. Tuhan tidak mencari lilin yang paling panjang, tetapi lilin yang paling setia menyinarkan terang. Dia melihat kualitas, bukan kuantitas. Dia melihat hati, bukan usia.
Ketika seseorang hidup dengan cara ini—dengan kesadaran bahwa hidupnya adalah alat untuk memuliakan Tuhan—maka ia tidak takut dengan usia. Ia tidak mengeluh tentang masa lalu, tidak cemas tentang masa depan. Ia berjalan dengan damai karena tahu setiap hari adalah kesempatan untuk menyaksikan kasih Tuhan. Orang seperti ini membuat hidupnya “panjang”, bukan karena angka, tetapi karena buahnya tetap tinggal bahkan setelah ia pergi.
Pada akhirnya, renungan tentang hidup panjang membawa kita kepada satu kenyataan: hidup ini terbatas, tetapi hidup dalam Tuhan tidak pernah berakhir. Dalam Kristus, kehidupan kekal sudah dimulai di dalam diri kita sejak saat kita percaya. Karena itu, makna hidup bukan ditentukan dari berapa lama kita tinggal di dunia, tetapi bagaimana kita menghidupi anugerah yang sudah diberikan. Ketika hidup diarahkan untuk memuliakan Tuhan, ketika talenta dipakai dengan setia, ketika waktu dimanfaatkan untuk mengasihi dan melayani, maka hidup kita tidak akan pernah “pendek”—sebab buahnya melampaui batas waktu dan masuk ke dalam kekekalan.
DOA PENUTUP
Tuhan, ajarlah kami menghitung hari-hari kami dengan bijaksana. Ingatkan kami bahwa hidup ini singkat, tetapi setiap hari adalah kesempatan untuk memuliakan nama-Mu. Bentuklah hati kami agar setia dengan talenta dan waktu yang Engkau percayakan. Biarlah hidup kami dipenuhi terang-Mu dan meninggalkan jejak yang memuliakan Engkau. Ketika hari-hari kami berakhir, bawa kami masuk dalam kehidupan kekal yang telah Engkau sediakan melalui Kristus. Amin.
Jika Anda ingin, saya dapat menyiapkan versi untuk dibawakan sebagai khotbah, atau versi lebih puitis untuk renungan pribadi.