“Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: ”Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Matius 26:39

Ada doa-doa yang mengalir dengan ringan dari bibir kita. Doa sebelum makan. Doa syukur ketika kabar baik datang. Doa permohonan sederhana yang kita ucapkan hampir tanpa berpikir. Namun ada juga doa-doa yang terasa berat, bukan karena kata-katanya sulit, melainkan karena maknanya menuntut kejujuran dan keberanian yang dalam.
Salah satu doa yang paling berat sering muncul di ruang tunggu rumah sakit, di depan hasil pemeriksaan medis, atau ketika dokter berkata, “Kita perlu memastikan lebih lanjut.” Pada saat itu, hati manusia hampir secara refleks ingin berdoa: “Tuhan, semoga ini tidak serius.” Itu doa yang sangat manusiawi. Tidak ada yang salah dengan ketakutan. Tidak ada dosa dalam keinginan untuk tetap sehat, tetap kuat, tetap bersama orang-orang yang kita kasihi.
Namun ada doa lain, yang jarang diucapkan dengan spontan, dan sering muncul setelah pergumulan batin yang panjang: “Tuhan, biarlah diagnosis ini benar dan jelas, supaya pengobatan dapat dilakukan dengan tepat.” Doa ini terdengar lebih dingin, lebih rasional, bahkan mungkin kurang rohani bagi sebagian orang. Tetapi justru di sinilah iman diuji—bukan hanya iman kepada kuasa Allah, tetapi iman kepada karakter-Nya.
Ketika kita berdoa agar penyakit “tidak serius”, sesungguhnya kita sedang berdoa agar realitas disesuaikan dengan harapan kita, dan kita tidak mau menghadapi kemungkinan adanya salah diagnosis. Ini seperti orang yang menerima adanya mukjizat tanpa ingin mengetahui kebenarannya. Ketika kita berdoa agar diagnosis “akurat”, kita sedang berdoa agar kita disesuaikan dengan realitas, apa pun bentuknya, dan dengan itu bisa berdoa untuk memohon pertolongan Tuhan. Yang pertama berangkat dari keinginan untuk terhindar dari penderitaan. Yang kedua berangkat dari keinginan untuk berjalan dalam kebenaran.
Alkitab menunjukkan bahwa Allah tidak alergi terhadap doa-doa yang lahir dari ketakutan. Mazmur penuh dengan jeritan orang-orang yang ingin dilepaskan dari sakit, dari maut, dari penderitaan. Bahkan Yesus sendiri, di taman Getsemani, berdoa agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya. Ini mengingatkan kita bahwa meminta kelegaan bukanlah tanda iman yang lemah. Itu tanda kita adalah manusia.
Namun doa Yesus tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan kalimat yang sering kita kagumi tetapi jarang kita tiru sepenuh hati: “Namun bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” Di titik inilah doa berubah dari permohonan menjadi penyerahan. Dari harapan pribadi menjadi ketaatan. Dari keinginan untuk diselamatkan dari penderitaan menjadi kesediaan untuk berjalan bersama Allah di dalamnya.
Doa agar diagnosis akurat adalah doa semacam ini. Doa yang berkata, “Tuhan, aku tidak tahu apa hasilnya, tetapi aku ingin tahu kebenaran.” Ini bukan doa orang yang putus asa, melainkan doa orang yang ingin hidup dengan bijaksana. Kebenaran mungkin menyakitkan, tetapi ketidakjelasan sering kali jauh lebih berbahaya. Diagnosis yang salah, atau yang disangkal, dapat menunda pengobatan, memperparah kondisi, dan pada akhirnya membawa penderitaan yang lebih besar.
Di sinilah iman Kristen bersifat realistis. Kita tidak dipanggil untuk hidup dalam ilusi rohani. Allah yang kita sembah adalah Allah yang bekerja dalam sejarah, dalam tubuh manusia, dalam proses medis, dalam hikmat para dokter, dan dalam teknologi yang berkembang. Lukas, penulis Injil, adalah seorang tabib. Paulus menyarankan Timotius untuk menggunakan anggur demi kesehatannya. Semua ini menunjukkan bahwa mencari kejelasan medis bukanlah tanda kurang iman, melainkan bentuk tanggung jawab.
Namun tetap saja, doa agar kebenaran dinyatakan membutuhkan keberanian. Keberanian untuk menerima kabar buruk. Keberanian untuk mengakui keterbatasan tubuh. Keberanian untuk menyerahkan masa depan kepada Allah tanpa syarat. Doa ini memotong ilusi bahwa kita mengendalikan hidup kita sendiri.
“datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Matius 6:10
Menariknya, justru di sinilah banyak orang menemukan damai yang lebih dalam. Ketika kita berhenti menawar realitas dan mulai mempercayakan diri kepada Allah sepenuhnya, ketakutan perlahan berubah menjadi ketenangan. Bukan karena situasi menjadi lebih ringan, tetapi karena beban tidak lagi dipikul sendirian.
Dalam perjalanan iman, doa sering kali bertumbuh seiring usia dan pengalaman. Pada masa muda, doa kita sering berpusat pada hasil: kesembuhan, keberhasilan, jalan keluar cepat. Seiring waktu, doa berubah menjadi permohonan akan hikmat, keteguhan, dan kesetiaan. Kita mulai berdoa bukan hanya agar penderitaan dijauhkan, tetapi agar hidup kita—sehat atau sakit—tetap memuliakan Tuhan.
Doa yang matang bukan doa yang paling optimistis, melainkan doa yang paling jujur. Jujur tentang ketakutan kita, dan jujur tentang ketergantungan kita kepada Allah. Dalam kejujuran itulah iman menemukan bentuknya yang paling murni.
Maka ketika kita berdiri di persimpangan antara dua doa—doa agar penyakit tidak serius, dan doa agar diagnosis akurat—kita tidak perlu memilih salah satunya secara kaku. Kita boleh memulai dengan doa yang lahir dari ketakutan, dan berakhir dengan doa yang lahir dari penyerahan. Kita boleh berkata, “Tuhan, aku berharap ini ringan,” sambil menambahkan, “tetapi lebih dari itu, aku ingin berjalan dalam kebenaran-Mu.”
Karena pada akhirnya, iman Kristen bukan janji bahwa kita akan selalu terhindar dari penderitaan, melainkan keyakinan bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian di dalamnya.
“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Roma 8:38-39
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, Engkau mengenal tubuh kami lebih dari siapa pun. Engkau tahu ketakutan yang tersembunyi di hati kami, dan Engkau tidak menolak doa yang lahir dari kelemahan.
Kami mohon belas kasihan-Mu, ya Tuhan. Jika berkenan, jauhkanlah penyakit dan penderitaan dari kami. Namun bila kami harus menghadapi kenyataan yang sulit, berilah kami hati yang mau menerima kebenaran. Tuntunlah setiap pemeriksaan, setiap keputusan medis, dan setiap tangan yang merawat kami,supaya semua berjalan dalam hikmat dan kejelasan.
Ajarlah kami untuk tidak hanya mencari kesembuhan, tetapi juga kesetiaan. Tidak hanya kelegaan, tetapi juga kedewasaan iman. Di dalam sehat maupun sakit, biarlah hidup kami tetap berada di dalam tangan-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.