Apakah kita benar-benar bijak?

“Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” Matius 2:11

Kisah kelahiran Yesus sering kita bayangkan dengan gambaran yang sederhana: sebuah kandang, palungan, para gembala, dan malaikat. Gambaran ini indah dan benar, namun Alkitab mengajak kita untuk memperhatikan detail-detail kecil yang sering terlewatkan. Salah satunya terdapat dalam Matius 2:11 yang dengan jelas menyebutkan bahwa orang-orang majus menemukan Yesus di sebuah rumah, bukan lagi di kandang.

Mengapa hal ini penting? Karena detail ini menunjukkan bahwa orang-orang majus tidak datang pada malam kelahiran Yesus. Mereka tiba kemudian, setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Yesus bukan lagi bayi yang baru lahir, melainkan seorang Anak. Ini berarti pencarian mereka bukan pencarian sesaat, bukan dorongan emosi, melainkan sebuah perjalanan iman yang tekun dan penuh kesabaran.

Kita tahu bahwa orang-orang majus berasal dari Timur, kemungkinan besar dari wilayah Persia—wilayah yang kini dikenal sebagai Iran modern. Jarak yang mereka tempuh diperkirakan sekitar 800 hingga 900 mil. Dalam konteks zaman itu, perjalanan tersebut bukan sekadar perjalanan jauh, tetapi juga berbahaya dan mahal. Mereka harus menempuh padang pasir, menghadapi ancaman perampok, cuaca ekstrem, dan ketidakpastian. Namun mereka tetap berangkat. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa apa yang mereka cari jauh lebih berharga daripada kenyamanan dan keamanan pribadi.

Di sinilah kita mulai memahami arti kebijaksanaan sejati. Orang-orang majus bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi bijak secara rohani. Mereka adalah orang-orang yang, pertama-tama, membaca dan mempercayai Firman Tuhan. Walaupun bukan orang Yahudi, mereka mengenal nubuat tentang bintang dan Raja yang akan lahir. Pengetahuan mereka tidak berhenti pada informasi; mereka menanggapinya dengan iman. Banyak orang mengetahui Firman Tuhan, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mempercayainya sampai bersedia mengubah arah hidup mereka.

Kedua, mereka setia mencari Yesus. Bintang yang mereka ikuti tidak selalu terlihat jelas. Ada saat-saat ketika mereka harus bertanya, bahkan sempat tersesat hingga tiba di istana Herodes. Namun mereka tidak berhenti. Kebijaksanaan sejati tidak menyerah ketika jalan menjadi rumit. Orang bijak tidak berhenti mencari Tuhan hanya karena doa belum dijawab atau arah terasa kabur.

Ketiga, orang-orang majus mengakui nilai Kristus. Emas, kemenyan, dan mur bukanlah hadiah sembarangan. Itu adalah persembahan mahal, simbol kehormatan, penyembahan, dan pengorbanan. Mereka mempersembahkan yang terbaik, bukan sisa. Ini menantang kita: apa yang kita anggap paling berharga dalam hidup kita? Waktu, tenaga, harta, atau ambisi—apakah semuanya kita tempatkan di bawah kaki Kristus?

Keempat, mereka merendahkan diri untuk menyembah Yesus. Bayangkan para cendekiawan, bangsawan Timur, sujud di hadapan seorang Anak kecil di sebuah rumah sederhana. Tidak ada mahkota emas, tidak ada istana megah. Namun mereka tidak kecewa. Kebijaksanaan sejati mampu melihat kemuliaan Allah di balik kesederhanaan. Orang yang benar-benar bijak tidak tersandung oleh penampilan luar.

Kelima, mereka menaati Tuhan daripada manusia. Setelah bertemu Yesus, mereka diperingatkan dalam mimpi untuk tidak kembali kepada Herodes. Maka mereka pulang melalui jalan lain. Keputusan ini tidak mudah, karena berarti menentang otoritas politik yang berkuasa. Namun mereka memilih taat kepada Allah. Kebijaksanaan sejati selalu berpihak pada kebenaran, meskipun ada risiko.

Keenam, kebijakan mereka bukan untuk jangka pendek. Mereka tidak hanya datang, menyembah, lalu kembali sama seperti sebelumnya. Alkitab mencatat bahwa mereka pulang melalui jalan lain—bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara rohani. Pertemuan dengan Kristus mengubah arah hidup. Orang bijak memikirkan dampak jangka panjang dari keputusan mereka, bukan hanya keuntungan sesaat.

Pada minggu sebelum Natal ini, pertanyaannya beralih kepada kita: apakah kita benar-benar bijak? Kita hidup di zaman yang penuh informasi, teknologi, dan kecepatan. Namun kebijaksanaan Alkitab tidak diukur dari seberapa banyak yang kita tahu, melainkan dari bagaimana kita hidup. Apakah kita membaca Firman Tuhan hanya sebagai rutinitas, ataukah kita sungguh mempercayainya? Apakah kita masih tekun mencari Yesus ketika iman diuji oleh penderitaan, usia, atau kekecewaan?

Apakah kita mengakui nilai Kristus lebih tinggi daripada kenyamanan dan keamanan kita? Apakah kita masih mau sujud menyembah, merendahkan diri, dan taat, bahkan ketika itu bertentangan dengan arus dunia? Dan yang tidak kalah penting: apakah keputusan-keputusan kita hari ini mencerminkan kebijaksanaan untuk kekekalan, atau hanya kepentingan jangka pendek?

Orang-orang majus tidak pernah tercatat berkata-kata dalam Alkitab, namun hidup mereka berbicara dengan sangat lantang. Mereka datang dari jauh untuk menyembah Sang Juruselamat. Mereka adalah saksi bahwa kebijaksanaan sejati selalu membawa seseorang lebih dekat kepada Kristus, bukan kepada diri sendiri.

Kiranya renungan ini menolong kita bercermin. Mungkin kita sudah lama berada di “sekitar” Yesus—di gereja, dalam pelayanan, atau dalam aktivitas rohani. Mungkin kita menantikan datangnya hari Natal dengan perasaan gembira. Namun pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar bijak seperti orang-orang majus itu?

Doa Penutup:

Tuhan yang Mahabijaksana, kami datang kepada-Mu dengan hati yang rindu untuk belajar. Ajarlah kami kebijaksanaan yang sejati, bukan yang berasal dari dunia, melainkan yang berakar pada takut akan Tuhan. Ampuni kami bila selama ini kami lebih mengejar kenyamanan daripada ketaatan, lebih memilih jalan mudah daripada jalan kebenaran.

Seperti orang-orang majus, berikanlah kami hati yang tekun mencari Engkau, iman untuk mempercayai Firman-Mu, dan kerendahan hati untuk menyembah-Mu. Tolong kami agar berani menaati-Mu lebih daripada manusia, dan hidup dengan perspektif kekekalan, bukan kepentingan sesaat.

Bimbing langkah hidup kami, ya Tuhan, agar setelah berjumpa dengan Kristus, kami pun pulang melalui “jalan yang lain”—jalan yang Engkau kehendaki. Di dalam nama Yesus Kristus, Sang Hikmat sejati, kami berdoa. Amin.

Tinggalkan komentar