“Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” — Lukas 2:20

Malam itu sunyi, namun penuh kejutan ilahi. Bukan istana yang menjadi tujuan malaikat, bukan pula para imam atau penguasa. Tuhan memilih ladang dan para gembala—orang-orang sederhana yang bekerja di pinggiran, sering dianggap rendah dan tak penting. Kepada merekalah kabar terbesar sepanjang sejarah disampaikan: Juruselamat telah lahir.
Setelah melihat Sang Bayi di palungan, para gembala kembali ke pekerjaan mereka, tetapi hati mereka tidak lagi sama. Mereka pulang sambil memuji dan memuliakan Allah. Natal telah mengubah arah batin mereka.
Inilah keindahan Natal: Kristus datang bukan pertama-tama untuk yang merasa layak, tetapi untuk yang rendah hati dan yang mau menurut panggilan Tuhan.
Para gembala tidak membawa persembahan mewah. Mereka hanya membawa diri mereka apa adanya—tangan yang kasar, pakaian yang berbau padang, dan hati yang terbuka. Namun justru itulah yang berkenan. Allah tidak menunggu kesempurnaan; Ia menyambut kerendahan hati. Ia menghargai hati yang tanggap atas panggilan-Nya.
Pesan ini digemakan secara indah dalam lagu The Little Drummer Boy. Lagu ini mengisahkan seorang anak yatim piatu yang miskin, dipanggil untuk melihat Bayi Yesus. Ia gelisah karena tidak memiliki hadiah berharga seperti orang-orang lain. Di tangannya hanya ada sebuah drum kecil. Dengan ragu namun tulus, ia memainkan lagu sederhana. Maria tersenyum, dan Bayi Yesus tampak berkenan. Pesannya jelas: persembahan dari hati yang tulus diterima oleh Allah.
Seperti gembala-gembala dan si penabuh drum kecil itu, kita sering merasa ragu untuk datang kepada Tuhan. Kita menilai diri dari ukuran dunia: prestasi, reputasi, kelayakan rohani. Kita berkata, “Nanti saja kalau hidupku lebih rapi,” atau “Aku tidak punya apa-apa untuk dipersembahkan.” Namun Natal membalikkan logika itu. Allah justru datang ketika kita tidak punya apa-apa selain kebutuhan akan Dia.
Kerendahan hati bukan merendahkan diri secara palsu, melainkan kejujuran di hadapan Allah. Para gembala tidak berpura-pura menjadi orang lain. Mereka datang, melihat, percaya, lalu pulang dengan hati yang memuji. Mereka tidak tinggal di palungan; mereka kembali ke ladang. Tetapi pujian mereka menunjukkan bahwa perjumpaan dengan Kristus memberi makna baru pada rutinitas lama.
Natal yang praktis berarti membawa sikap itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin hadiah kita bukan besar: doa yang singkat, pelayanan kecil yang tak terlihat, kesetiaan dalam pekerjaan yang biasa, atau kesediaan mengampuni. Seperti denting drum sederhana, persembahan itu mungkin terdengar kecil di telinga manusia, tetapi bernilai di hadapan Tuhan bila lahir dari hati yang tulus mengakui bahwa kita bukan apa-apa.
Di dunia yang gemar memamerkan yang besar dan berkilau, Kristus lahir di tempat yang sunyi. Ia memilih palungan agar setiap orang—siapa pun—mau datang. Ia menyambut gembala dan anak miskin, dan Ia juga menyambut kita hari ini. Pertanyaannya bukan apa yang kita miliki, melainkan bagaimana hati kita mau datang dengan rendah hati kepada-Nya.
Kiranya Natal ini kita belajar dari para gembala: datang dengan sederhana, pulang dengan pujian. Dan seperti si penabuh drum kecil, mari mempersembahkan apa yang ada di tangan kita—waktu, kasih, ketaatan—dengan hati yang tulus. Sebab Kristus datang untuk mereka yang rendah hati, dan di sanalah sukacita Natal menemukan rumahnya.
Doa Penutup:
Tuhan Allah kami yang penuh kasih, kami bersyukur untuk anugerah Natal— bahwa Engkau berkenan datang ke dunia ini, bukan untuk orang-orang yang merasa besar dan layak, melainkan untuk mereka yang rendah hati dan haus akan kasih-Mu.
Kami belajar dari para gembala yang datang dengan sederhana dan pulang dengan hati yang memuji. Kami juga belajar dari kisah si penabuh drum kecil, bahwa Engkau tidak menuntut persembahan yang megah, tetapi hati yang tulus dan taat.
Ampuni kami, ya Tuhan, jika sering kali kami menunda datang kepada-Mu karena merasa diri tidak cukup baik, tidak cukup rohani, atau tidak punya apa-apa untuk dipersembahkan. Mungkin juga kami segan untuk datang karena kesibukan kami.
Di Natal ini, ubahlah hati kami, supaya dalam setiap langkah kehidupan sehari-hari kami hidup sebagai orang yang telah berjumpa dengan Juruselamat: penuh syukur, penuh damai, dan penuh ketaatan.
Kami serahkan hidup kami ke dalam tangan-Mu, dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Sang Raja yang lahir di palungan.
Amin.