“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” — Yesaya 7:14

Yesaya 7:14 sering dibacakan dan direnungkan khususnya selama masa Adven dan Natal untuk memperingati kedatangan Kristus ke dunia. Istilah “Natal” sendiri mempunyai arti “berkaitan dengan kelahiran,” dan berasal dari bahasa Latin natalis.
Ayat ini merupakan salah satu nubuatan mesianik paling terkenal dalam Alkitab yang merujuk pada kelahiran Yesus Kristus. Ini diberikan sebagai tanda kedaulatan Tuhan di tengah situasi politik yang sulit karena penindasan umat Israel oleh bangsa Romawi.
Nubuat ini digenapi dalam Perjanjian Baru, secara spesifik dicatat dalam Matius 1:22-23, yang menegaskan bahwa Yesus adalah anak yang dimaksud dalam nubuat Yesaya tersebut.
Yesus dilahirkan pada hari yang dikenal sebagai hari Natal; tetapi Alkitab tidak menjelaskan kapan terjadinya. Kita tidak tahu dengan pasti kapan Dies Natalis dari Yesus.
Walaupun demikian, pada bulan Desember dunia berubah wajah. Lampu-lampu menghiasi jalan, lagu-lagu Natal terdengar di pusat perbelanjaan, dan kalender dipenuhi acara keluarga. Namun di balik semua itu, sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendalam patut kita ajukan secara pribadi: apa arti Natal untuk Anda? Apakah ia sekadar tradisi tahunan, atau sebuah perjumpaan rohani yang memperbarui iman?
Bagi orang Kristen, Natal pada dasarnya adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus—peristiwa inkarnasi, ketika Firman menjadi manusia dan diam di antara kita.
Alkitab memang tidak mencatat tanggal kelahiran Yesus, juga tidak memerintahkan kita untuk merayakannya secara khusus. Namun Alkitab dengan sangat jelas menekankan fakta kedatangan-Nya: Sang Juruselamat masuk ke dalam sejarah manusia. Fokus Kitab Suci bukan pada kapan-Nya, melainkan pada siapa dan mengapa Ia datang.
Karena itu, Natal bukanlah soal tanggal, dekorasi, atau bentuk perayaannya, melainkan tentang pribadi Kristus sendiri. Ia adalah Immanuel—Tuhan beserta kita. Di dalam Yesus, Allah tidak tinggal jauh dan tak terjangkau, tetapi hadir, merasakan penderitaan manusia, dan akhirnya menebus dosa melalui salib. Natal mengingatkan kita bahwa kasih Allah bukan konsep abstrak, melainkan kasih yang menjelma, berjalan, menangis, dan berkorban.
Sebagian orang keberatan merayakan Natal karena menganggapnya sebagai tradisi buatan manusia atau bahkan warisan pagan. Memang, secara historis, tanggal 25 Desember kemungkinan bersinggungan dengan festival musim dingin Romawi. Namun gereja mula-mula tidak sedang melanjutkan penyembahan berhala; sebaliknya, mereka mengarahkan perhatian umat kepada Kristus sebagai terang sejati yang mengalahkan kegelapan. Fokusnya dialihkan—dari dewa palsu kepada Tuhan yang hidup. Itu bukan kompromi rohani, melainkan pernyataan iman.
Di sinilah kita belajar tentang kebebasan Kristen. Alkitab tidak memerintahkan Natal, tetapi juga tidak melarang kita untuk menghormati kelahiran Yesus. Sama seperti kita bersyukur atas ulang tahun orang yang kita kasihi, demikian pula gereja bersukacita atas kedatangan Sang Juruselamat. Yang menjadi ukuran bukanlah bentuk luar perayaan, melainkan sikap hati yang memuliakan Tuhan.
Bagi banyak orang percaya, Natal justru menjadi momen yang sangat Alkitabiah. Firman Tuhan dibacakan, Injil diberitakan, doa dinaikkan, dan umat diingatkan kembali akan janji-janji Allah yang digenapi.
Natal mengarahkan kita pada kebutuhan terdalam manusia—bukan sekadar kesejahteraan lahiriah, tetapi keselamatan jiwa. Di tengah hiruk-pikuk dunia, Natal mengundang kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan kasih karunia.
Maka pertanyaannya kembali kepada kita masing-masing: apa arti Natal untuk Anda? Apakah Natal membawa Anda lebih dekat kepada Kristus? Apakah ia mendorong Anda untuk mengasihi, melayani, dan membagikan kabar baik?
Jika Natal hanya berhenti pada kebiasaan budaya, kita telah kehilangan intinya. Tetapi jika Natal menuntun kita pada penyembahan yang sejati, maka perayaan itu, betapapun sederhana, berkenan di hadapan Tuhan.
Kiranya Natal selalu menjadi undangan untuk memandang palungan, dan melalui palungan itu, melihat salib dan kebangkitan. Di sanalah makna Natal menemukan kepenuhannya.
Doa Penutup:
Tuhan yang kami sembah, kami bersyukur karena Engkau tidak tinggal diam melihat dunia yang terhilang. Dalam kasih-Mu, Engkau mengutus Yesus, Immanuel, Tuhan beserta kami. Ajarlah kami untuk merayakan Natal bukan sekadar dengan tradisi, tetapi dengan hati yang menyembah dan hidup yang taat.
Biarlah kelahiran Kristus memperbarui iman kami, menyalakan kasih kami, dan menggerakkan kami untuk menjadi terang di dunia yang gelap. Kiranya hidup kami memuliakan Engkau, bukan hanya di hari Natal, tetapi sepanjang tahun.
Di dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.