“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Matius 11:29

Natal sering kita bayangkan sebagai kisah yang indah: malaikat bernyanyi, gembala datang, bintang bersinar, dan seorang Bayi terbaring di palungan. Namun palungan itu bukan sekadar latar romantis. Ia adalah pendahuluan dari seluruh kisah hidup Yesus. Dari awal hingga akhir, hidup-Nya adalah satu kesaksian yang konsisten tentang kerendahan hati—kerendahan hati yang mengajak setiap orang yang merayakan Natal untuk berubah.
Yesus tidak lahir di istana, tidak disambut upacara kerajaan, dan tidak dikelilingi kemewahan. Ia lahir di tempat yang sederhana, bahkan hina menurut ukuran dunia. Pilihan ini bukan kebetulan. Sejak awal, Allah menyatakan bahwa jalan keselamatan tidak dibangun di atas kekuasaan, gengsi, atau kehebatan manusia, melainkan di atas kasih yang rela merendahkan diri. Palungan itu menjadi simbol bahwa Kerajaan Allah datang dengan cara yang berlawanan dengan logika dunia.
Kerendahan hati Yesus bukan hanya terlihat pada kelahiran-Nya, tetapi juga terwujud nyata sepanjang hidup-Nya. Ia sendiri berkata, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28). Ia, Sang Tuhan, memilih jalan seorang hamba. Ia mendekati orang-orang kecil, orang sakit, orang berdosa, dan mereka yang tersisih. Ia tidak menjaga jarak demi wibawa, melainkan mendekat demi pemulihan relasi.
Puncak dari teladan itu terlihat ketika Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh budak paling rendah, namun Yesus melakukannya dengan sadar dan sengaja. Dalam tindakan sederhana itu, Ia mengajarkan bahwa kebesaran sejati bukan terletak pada posisi, melainkan pada kesediaan melayani dengan kasih.
Yesus juga memilih hidup yang sederhana. Ia berkata, “Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Matius 8:20). Kemuliaan-Nya tidak bergantung pada harta, kenyamanan, atau pengakuan manusia. Ia menunjukkan bahwa hidup yang berkenan kepada Allah tidak diukur dari apa yang kita miliki, tetapi dari kepada siapa kita hidup. Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk memiliki lebih, Natal mengajak kita untuk bertanya: apakah kita sanggup untuk hidup sebagai orang yang sederhana demi ketaatan?
Dalam segala hal, Yesus tidak mencari kemuliaan diri. Ketika dipuji sebagai “Guru yang baik,” Ia mengarahkan kembali perhatian kepada Bapa (Markus 10:17–18). Seluruh hidup-Nya adalah hidup yang memuliakan Allah. Ketaatan-Nya mencapai puncaknya di kayu salib, ketika Ia merendahkan diri sampai mati, bahkan mati yang hina (Filipi 2:8). Inilah kerendahan hati yang tertinggi—ketaatan total demi kasih.
Yesus sendiri merangkum semua itu dalam undangan yang lembut: “Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.” Kerendahan hati bukan sekadar sikap moral, melainkan jalan menuju ketenangan jiwa. Itu berguna untuk kebaikan hidup kita karena tidak ada lagi keinginan untuk bersaing dengan orang lain.
Ayat di atas mengingatkan kita bahwa dalam Kristus kita bisa dan bebas memilih. Dunia mengajarkan kita untuk meninggikan diri agar diakui, tetapi Yesus berkata, “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan; barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12). Siapa yang rendah hati akan berbahagia, sedangkan mereka yang sombong tidak akan mempunyai kedamaian.
Natal, karena itu, bukan hanya perayaan tahunan, melainkan panggilan untuk perubahan. Kita diajak untuk meninggalkan kesombongan, belajar melayani, mengosongkan diri, dan memuliakan Tuhan, bukan diri sendiri. Jika makna palungan itu benar-benar kita renungkan, maka Natal tidak akan berakhir dengan dekorasi dan lagu, tetapi berlanjut dalam hidup yang semakin serupa dengan Kristus—lemah lembut, rendah hati, dan penuh kasih.
Doa Penutup:
Tuhan Yesus, terima kasih untuk Natal yang kembali mengingatkan kami akan kasih dan kerendahan hati-Mu. Engkau rela datang ke dunia, merendahkan diri, dan melayani kami dengan kasih yang sempurna.
Ajarlah kami untuk memikul kuk-Mu, belajar dari kelemahlembutan dan kerendahan hati-Mu, serta mengubah hidup kami agar semakin memuliakan Bapa. Bentuklah hati kami supaya tidak mencari kemuliaan diri, melainkan setia melayani sesama dengan kasih. Kiranya damai sejahtera-Mu memenuhi jiwa kami, hari ini dan seterusnya.
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Amin.