“Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus.”
— Efesus 4:7

Hari Natal 2025 telah lewat, tetapi kenangan kita masih belum lenyap. Kita merayakan hari Natal bukan untuk memperingati hari kelahiran Yesus, tetapi untuk memperingati datangnya karunia Allah yang terbesar dengan lahirnya Yesus ke dunia.
Setiap orang percaya diselamatkan oleh kasih karunia yang sama, melalui iman yang sama, diberikan oleh Juruselamat yang sama, yang merupakan Tuhan dan Tuhan dari semua. Sementara iman kita disatukan di bawah satu Tuhan, Ia juga membawa untuk setiap orang karunia rohani yang mereka butuhkan, tergantung pada siapa dan di mana mereka berada.
Dengan kata lain, rahmat Tuhan diberikan secara pribadi. Dia tahu persis apa yang kita butuhkan dan bagaimana memenuhi kebutuhan itu. Rahmat ini diberikan pada berbagai tingkatan sesuai dengan apa yang Tuhan anggap cocok, yang berarti karunia rohani diberikan kepada setiap orang percaya sesuai dengan cara distribusi Kristus, memberdayakan mereka secara unik untuk pelayanan, bukan secara kompetitif.
“Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” 1 Petrus 4:10
Ini menandakan bahwa Tuhan menganugerahkan ukuran kemampuan dan iman yang berbeda, mengharapkan setiap orang untuk menggunakan kapasitas spesifik mereka sepenuhnya untuk membangun gereja dan memuliakan Dia; dan itu termasuk karunia yang berupa kebijaksanaan.
Salomo, raja Israel ketiga, terkenal dalam Alkitab karena memohon karunia yang berupa kebijaksanaan daripada kekayaan atau umur panjang saat Allah menawarkannya (1 Raja-raja 3:5-9). Hikmat ini memampukannya memimpin, memberikan keputusan adil, dan menulis banyak amsal. Ia membangun Bait Allah yang pertama, namun masa tuanya ternoda oleh ketidaksetiaan kepada Allah. Salomo memang hebat; tetapi sebagai manusia biasa, ia tidak selalu menggunakan kebijaksanaan dari Tuhan.
Sering kali tanpa sadar kita menyamakan kebijaksanaan seorang pemimpin dengan kebijaksanaan Tuhan. Padahal Alkitab menempatkan keduanya dalam jarak yang sangat jelas. Kebijaksanaan Tuhan adalah milik-Nya sendiri—tak terselami, tak terbatas, dan melampaui segala logika manusia. Sementara kebijaksanaan adalah anugerah Tuhan yang Ia bagikan kepada manusia—nyata, berguna, tetapi tetap terbatas oleh kemanusiaan kita.
Tuhan sendiri menegaskan perbedaan ini dengan sangat tegas: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalan-Ku bukanlah jalanmu… setinggi langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8–9). Ayat ini bukan sekadar penghiburan, melainkan koreksi. Ia mengingatkan bahwa bahkan pada saat manusia merasa paling bijaksana, tetap ada jarak yang tak terjembatani antara Sang Pencipta dan ciptaan.
Namun dalam kasih-Nya, Tuhan tidak menuntut manusia memahami segala sesuatu seperti Dia. Sebaliknya, Ia menganugerahkan hikmat yang cukup untuk hidup setia di dalam panggilan masing-masing. Hikmat ini bukan untuk membuat kita merasa lebih tinggi dari sesama, melainkan untuk menolong kita berjalan benar di hadapan-Nya.
Di sinilah kita mulai melihat perbedaan antar manusia. Tuhan tidak membagikan hikmat dalam bentuk yang seragam. Ada orang yang kuat dalam penalaran logis, ada yang tajam dalam membaca hati. Ada yang cepat mengambil keputusan, ada yang berhikmat dalam menunggu. Perbedaan ini sering kali menimbulkan gesekan, terutama ketika satu cara berpikir dianggap lebih rohani atau lebih benar daripada yang lain.
Rasul Paulus mengingatkan jemaat bahwa perbedaan bukanlah cacat, melainkan kehendak Allah sendiri: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak… demikian pula Kristus” (1 Korintus 12:12). Hikmat tidak dimonopoli oleh satu tipe manusia. Tuhan sengaja bekerja melalui keberagaman agar tidak ada seorang pun yang dapat menyombongkan diri.
Perbedaan ini juga menjadi semakin nyata melalui perubahan karena usia. Ketika muda, seseorang sering mencari kepastian, kecepatan, dan solusi yang jelas. Energi dan keyakinan diri begitu kuat. Namun seiring bertambahnya usia, banyak orang belajar bahwa hidup tidak selalu hitam-putih. Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logis, ada keputusan yang baru dimengerti maknanya setelah puluhan tahun berlalu.
Yang lebih muda belum tentu kurang hikmat. Yang lebih tua bukan selalu paling benar. Bentuk kebijaksanaannya saja yang berbeda. Ketika perbedaan ini tidak dipahami, konflik mudah muncul—baik dalam keluarga, gereja, maupun pelayanan. Padahal Tuhan dapat memakai hikmat generasi yang berbeda untuk saling menajamkan, bukan saling meniadakan.
Semua ini terjadi bukan secara kebetulan. Dalam iman Kristen, kita percaya bahwa semua terjadi menurut kehendak-Nya. Ini tidak berarti Tuhan menghendaki dosa atau kejahatan, tetapi tidak ada satu pun peristiwa yang luput dari kedaulatan-Nya. Bahkan keterbatasan kita, perbedaan karakter, dan proses penuaan ada dalam pengetahuan dan izin-Nya. Di dalam misteri itu, Tuhan tetap setia mengerjakan maksud-Nya yang baik.
Kesadaran akan kedaulatan Allah seharusnya melahirkan kerendahan hati. Jika hikmat yang kita miliki adalah pemberian, bukan prestasi, maka tidak ada dasar untuk merendahkan orang lain. Justru di sinilah panggilan kita menjadi nyata: kita harus saling menghargai. Menghargai berarti mengakui bahwa Tuhan juga bekerja melalui orang yang berbeda dengan kita. Menghargai berarti belajar mendengar, bukan hanya berbicara.
Amsal menegaskan dasar dari semua ini: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian” (Amsal 9:10). Hikmat sejati tidak dimulai dari kecerdasan, pengalaman, atau usia, melainkan dari sikap hati yang tunduk kepada Allah.
Pada akhirnya, kebijaksanaan Tuhan akan selalu melampaui kita. Tetapi kebijaksanaan dari Tuhan cukup untuk menuntun kita hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan saling menghargai—sampai kita kelak melihat dengan sempurna apa yang hari ini hanya kita pahami sebagian.
Doa Penutup:
Tuhan Allah kami yang Mahabijaksana, kami mengakui bahwa kebijaksanaan-Mu jauh melampaui pengertian kami.
Ampuni kami jika sering merasa paling benar, mudah menghakimi, dan kurang menghargai perbedaan di antara kami. Ajarlah kami menerima hikmat yang Engkau berikan dengan hati yang rendah dan penuh syukur. Bentuklah kami menjadi satu tubuh yang saling melengkapi, bukan saling melukai; saling meneguhkan, bukan saling meninggikan diri.
Di tengah perbedaan usia, cara berpikir, dan latar belakang, ikatlah kami dalam kasih Kristus. Berikan kami hati yang mau mendengar, hikmat untuk berkata benar dengan lemah lembut, dan kerelaan untuk berjalan bersama demi kemuliaan nama-Mu.
Kiranya gereja-Mu menjadi tempat di mana kebenaran dipegang teguh dan kasih dinyatakan nyata, sehingga dunia melihat kesatuan kami dan memuliakan Engkau.
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Sumber hikmat dan Raja damai, kami berdoa dan berserah. Amin.