“Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Yohanes 1:3

Bab pertama Yohanes memperkenalkan Yesus sebagai “Firman,” dari kata Yunani logos. Bab ini dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Allah. Setelah prolog ini, bab ini menggambarkan Yesus merekrut murid-murid pertama-Nya, serta percakapan antara Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi. Ada tujuh nama atau gelar untuk Kristus dalam bab ini, termasuk “Anak Allah,” “Firman,” dan “Raja Israel.”
Peran Allah sebagai Pencipta ditegaskan dalam ayat di atas. Alam semesta bukanlah produk materi tanpa desain, tetapi produk yang dimaksudkan oleh Pencipta yang mahacerdas. Dalam ayat-ayat sebelumnya (Yohanes 1:1-2), Yesus dikatakan sebagai Allah. Ini adalah tujuan penting dari 18 ayat pertama Yohanes: menentang semua konsep lain tentang apa itu Allah atau bukan Allah.
Di sini, Alkitab membuat poin menarik bahwa tidak ada ciptaan yang diciptakan terpisah dari Yesus. Ini penting karena beberapa alasan. Pertama, ini membuktikan bahwa Yesus bukanlah malaikat, manusia, atau makhluk yang dibentuk lainnya (Ibrani 1:3-4). Kedua, ini menyiratkan perbedaan antara hal-hal yang mulai ada, dan Dia yang selalu ada. Dengan kata lain, ada satu hal yang tidak “mulai ada,” yang tidak “muncul.” Memang secara logis, sebab-akibat harus memiliki permulaan yang tidak disebabkan. Satu-satunya hal ini adalah Allah. Istilah yang lebih canggih untuk gagasan ini adalah “Argumen Kosmologis,” atau argumen dari “penyebab pertama.”
Argumen kosmologis adalah landasan teologi alam yang menyimpulkan keberadaan Tuhan dari keberadaan alam semesta (kosmos). Argumen ini menyatakan bahwa karena alam semesta terdiri dari makhluk-makhluk yang kontingen (bergantung) dan tunduk pada sebab akibat, maka alam semesta membutuhkan sebab pertama yang mutlak, tak diciptakan, dan transenden—yang diidentifikasi sebagai Tuhan.
Teologi alam itu mudah dimengerti, dan karena itu ada banyak orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Tidak sedikit yang mengakui bahwa Dialah Pencipta langit dan bumi, sumber awal dari seluruh alam semesta. Namun anehnya, pengakuan ini sering berhenti pada tataran intelektual. Mereka percaya Tuhan menciptakan segalanya, tetapi tidak merasa perlu memuja-Nya, menyembah-Nya, atau hidup untuk memuliakan-Nya.
Bagi sebagian orang, penciptaan dianggap sekadar peristiwa kosmis yang tidak memiliki hubungan personal dengan manusia. Tuhan dipahami sebagai “arsitek agung” yang telah menyelesaikan pekerjaan-Nya, lalu membiarkan ciptaan berjalan sendiri menurut hukum alam. Manusia, dalam pandangan ini, hidup untuk dirinya sendiri. Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya, sehingga dianggap tidak pantas jika Ia “menuntut” pujian. Bahkan ada yang berkata, “Jika Tuhan meminta penyembahan, bukankah itu tanda Dia gila hormat?”. Pandangan ini sepertinya terdengar rasional, bahkan rendah hati. Namun sesungguhnya di situlah letak kekeliruannya.
Yohanes 1:3 menegaskan bahwa segala sesuatu dijadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak ada satu pun yang ada. Ayat ini bukan sekadar pernyataan tentang asal-usul dunia, tetapi tentang ketergantungan total ciptaan kepada Sang Firman. Kita tidak hanya “pernah” diciptakan; kita terus ada karena Dia menopang keberadaan kita setiap saat. Nafas yang kita hirup, detak jantung yang kita anggap biasa, kemampuan berpikir dan merasa—semuanya bukan milik kita secara otonom. Jika demikian, maka penyembahan bukanlah pemberian tambahan dari manusia kepada Tuhan, melainkan respons yang paling wajar dari ciptaan kepada Penciptanya.
Tuhan memang tidak membutuhkan pujian kita. Ia sempurna tanpa kita. Namun justru di situlah bedanya antara Tuhan yang sejati dan berhala. Berhala membutuhkan pujian agar tampak berkuasa; Tuhan layak dipuja karena Dia memang berkuasa. Penyembahan tidak menambah kemuliaan Tuhan, tetapi mengembalikan posisi kita pada tempat yang benar: sebagai ciptaan yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Masalahnya, banyak orang—termasuk yang mengaku Kristen—ingin menerima berkat dari Tuhan tanpa menyerahkan hidup untuk Tuhan. Mereka bersyukur atas kesehatan, pekerjaan, keluarga, dan perlindungan-Nya, tetapi enggan hidup dalam ketaatan, pelayanan, dan pengorbanan. Tuhan dijadikan sumber pertolongan, bukan tujuan hidup.
Di sinilah penyembahan menjadi isu hati, bukan sekadar ritual. Penyembahan sejati tidak berhenti pada lagu, doa, atau kehadiran di gereja. Penyembahan adalah sikap hidup yang mengakui: “Tuhan, Engkau layak atas hidupku, waktuku, kemampuanku, dan keputusanku.” Ketika seseorang berkata percaya kepada Tuhan tetapi tidak mau melakukan apa pun untuk memuliakan-Nya, sesungguhnya ia belum mengenal siapa Tuhan itu. Orang Kristen yang sedemikian, bukanlah orang Kristen sejati.
Melalui Alkitab, kita diajar bahwa tujuan utama manusia adalah memuliakan Tuhan dan menikmati Dia selama-lamanya. Ini bukan beban, melainkan pembebasan. Dunia modern mendorong manusia untuk hidup bagi diri sendiri, mengejar makna dari prestasi, kenyamanan, dan pengakuan. Namun semakin manusia berpusat pada diri, semakin kosong jiwanya. Penyembahan mengalihkan pusat hidup dari “aku” kepada Dia yang menciptakan dan menyelamatkan aku.
Yesus Kristus, Sang Firman yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, tidak hanya layak dipuja karena kuasa-Nya sebagai Pencipta, tetapi juga karena kerendahan hati-Nya sebagai Penebus. Dia yang menciptakan segala sesuatu rela masuk ke dalam ciptaan, menderita, dan mati bagi manusia yang sering mengabaikan-Nya. Jika penciptaan saja sudah cukup menjadi alasan untuk memuja Tuhan, apalagi penebusan-Nya.
Maka pertanyaannya bukanlah, “Apakah Tuhan membutuhkan pujianku?” melainkan, “Bagaimana mungkin aku yang diciptakan dan ditebus tidak hidup untuk memuliakan Dia?” Ketika kita memahami siapa Tuhan dan siapa diri kita di hadapan-Nya, penyembahan tidak lagi terasa sebagai kewajiban, melainkan kerinduan.
Pagi ini biarlah kita sadar sepenuhnya akan kebesaran Tuhan kita. Kiranya kita tidak menjadi orang yang mengakui Tuhan dengan mulut, tetapi menyangkal-Nya dengan hidup. Biarlah seluruh keberadaan kita—pikiran, perkataan, dan perbuatan—menjadi pujian yang hidup bagi Dia yang oleh-Nya segala sesuatu ada.
Doa Penutup:
Tuhan yang Mahamulia, kami mengaku bahwa sering kali kami menikmati ciptaan-Mu tanpa memuliakan Engkau sebagai Pencipta. Ampuni hati kami yang berpusat pada diri sendiri. Ajar kami menyadari bahwa hidup kami sepenuhnya berasal dari-Mu dan ada bagi-Mu. Bentuklah kami menjadi pribadi yang menyembah Engkau bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan seluruh hidup kami. Di dalam nama Yesus Kristus, Sang Firman yang hidup, kami berdoa. Amin.