“Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” – yang berarti: Allah menyertai kita.” Matius 1:23

Hari ini hari Natal. Natal bukan sekadar peringatan kelahiran seorang tokoh besar dalam sejarah. Natal adalah pernyataan iman yang paling mendasar: Allah menyertai kita. Di tengah dunia yang rapuh, penuh ketidakpastian, penderitaan, dan kegelisahan batin, Natal membawa kabar yang menenangkan—Tuhan tidak menjauh, tidak berdiam di kejauhan, melainkan datang dan hadir.
Dalam Injil Matius, Yesus disebut Immanuel. Menariknya, Immanuel bukan nama pemberian sehari-hari-Nya—nama-Nya adalah Yesus, yang berarti “Tuhan menyelamatkan.” Namun Immanuel adalah gelar kenabian yang menggambarkan hakikat-Nya. Yesus adalah Allah yang menyertai umat-Nya. Dengan kata lain, Natal bukan hanya tentang apa yang Yesus lakukan, tetapi tentang siapa Dia sesungguhnya.
Asal-usul sebutan Immanuel berakar pada nubuat Nabi Yesaya. Dalam Yesaya 7:14, Tuhan memberikan sebuah tanda kepada Raja Ahas dari Yehuda: seorang anak akan lahir dan dinamai Immanuel. Dalam konteks sejarahnya, nubuat ini merupakan jaminan bahwa Tuhan tidak meninggalkan Rumah Daud di tengah ancaman musuh. Nama Immanuel menjadi simbol perlindungan dan kehadiran Allah bagi umat-Nya.
Namun, dalam terang Perjanjian Baru, gereja melihat bahwa nubuat ini melampaui konteks awalnya. Injil Matius dengan sengaja menghubungkan kelahiran Yesus dari Perawan Maria dengan nubuat Yesaya, dan menegaskan bahwa kelahiran itu adalah penggenapan sejati dari janji Allah. Di dalam Yesus, makna Immanuel mencapai kepenuhannya: Allah benar-benar hadir dalam daging, hidup di tengah manusia, merasakan lapar, lelah, air mata, bahkan kematian.
Inilah keunikan iman Kristen. Allah yang Mahakuasa tidak memilih untuk menyelamatkan dari kejauhan. Ia masuk ke dalam sejarah manusia, ke dalam keterbatasan dan penderitaan. Palungan di Betlehem menjadi tanda bahwa Allah tidak “alergi” terhadap kelemahan manusia. Ia tidak menunggu manusia menjadi layak, tetapi datang justru ketika manusia tidak berdaya.
Makna Immanuel sangat dalam bagi kehidupan iman kita. Ini berarti bahwa Tuhan bukan hanya Allah yang kita sembah, tetapi Allah yang hadir. Hadir dalam sukacita maupun duka. Hadir dalam keberhasilan maupun kegagalan. Hadir ketika doa kita terasa dijawab, dan bahkan ketika langit terasa diam.
Yesus sendiri menegaskan kebenaran ini menjelang kenaikan-Nya: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20). Janji Immanuel tidak berhenti di palungan atau di kayu salib. Kehadiran Allah berlanjut melalui Roh Kudus, yang diam dalam hati orang percaya. Karena itu, iman Kristen bukan hanya iman tentang masa lalu, tetapi pengalaman kehadiran Allah yang nyata hari ini.
Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus menutup salah satu doanya dengan kata-kata:
“Allah, sumber damai sejahtera, menyertai kamu sekalian!” (Roma 15:33).
Mengingat keadaan Paulus dan banyak orang Kristen waktu itu, jelas bahwa damai sejahtera sejati bukan sesuatu yang lahir dari keadaan yang ideal, melainkan dari keyakinan bahwa Allah menyertai kita dalam keadaan apa pun. Natal mengingatkan kita bahwa kita tidak berjalan sendirian.
Kiranya di tengah dunia yang bising dan hati yang mudah gelisah, kita kembali pada inti Natal ini: Allah menyertai kita. Dan karena Ia menyertai, kita dapat melangkah dengan tenang, berharap, dan percaya.
Doa Penutup:
Yesus, terima kasih karena Engkau adalah Immanuel, Allah yang menyertai kami. Di dalam setiap musim hidup, ajar kami untuk percaya pada kehadiran-Mu dan hidup dalam damai sejahtera-Mu. Amin.








