“Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” – yang berarti: Allah menyertai kita. Matius 1:23
Natal kembali mendatangi kita. Bagi sebagian orang, ini adalah musim belanja dan perayaan. Bagi yang lain, ini adalah masa pelayanan yang padat di gereja. Lampu-lampu menyala, lagu-lagu Natal terdengar di mana-mana, dan kalender penuh dengan acara. Dari luar, dunia tampak meriah dan sibuk.
Namun Natal tahun ini juga datang di tengah luka yang mendalam.
Peristiwa teror kemarin siang di pantai Bondi, Sydney, mengguncang rasa aman dan menorehkan duka yang nyata. Lebih dari 10 orang tewas akibat ulah ayah dan anak yang menembaki pengunjung perayaan hari raya kaum Yahudi. Di ruang publik yang selama ini kita anggap biasa—tempat berbelanja, berjalan, dan menjalani hidup sehari-hari—kekerasan bisa datang tanpa peringatan. Banyak hati diliputi ketakutan, kesedihan, dan kebingungan.
Di saat seperti ini, wajar bila pertanyaan-pertanyaan berat muncul:
Di mana Tuhan?
Mengapa Ia membiarkan malapetaka terjadi?
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang damai Natal di tengah tragedi?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanda iman yang rapuh. Justru inilah suara hati manusia yang jujur ketika berhadapan dengan penderitaan. Alkitab tidak pernah melarang pertanyaan semacam ini. Mazmur penuh dengan ratapan. Ayub bergumul dengan ketidakmengertian. Bahkan Yesus sendiri berseru di kayu salib. Iman Kristen tidak dibangun di atas penyangkalan rasa sakit, tetapi di atas keberanian untuk membawa rasa sakit itu kepada Allah.
Ayat di atas sering kita dengar setiap Natal. Namun di tengah duka dan ketakutan, maknanya terasa jauh lebih dalam. Kata Imanuel tidak berarti Allah menjauhkan kita dari semua penderitaan. Itu berarti Allah hadir di dalam penderitaan itu.
Natal tidak menjanjikan dunia tanpa kejahatan. Natal menyatakan bahwa Allah tidak meninggalkan dunia ketika kejahatan terjadi. Ia tidak menonton dari kejauhan. Ia masuk ke dalam sejarah manusia, ke dalam dunia yang rapuh, ke dalam realitas yang penuh kekerasan dan air mata.
Yesus lahir bukan di dunia yang aman. Sejak awal hidup-Nya, ancaman sudah ada. Tak lama setelah kelahiran-Nya, anak-anak di Betlehem dibunuh oleh kekuasaan yang kejam. Kisah Natal sejak awal telah bersinggungan dengan darah dan penderitaan. Namun justru di dunia seperti itulah Allah memilih untuk hadir.
Imanuel berarti Allah berjalan bersama manusia yang terluka. Ia hadir bersama mereka yang berduka karena kehilangan. Ia hadir bersama mereka yang hidup dalam ketakutan. Ia hadir bersama mereka yang tidak menemukan jawaban atas pertanyaan “mengapa”.
Kita mungkin tidak pernah sepenuhnya mengerti mengapa Tuhan mengizinkan tragedi seperti teror di Bondi terjadi. Alkitab pun tidak memberi penjelasan yang sederhana. Tetapi iman Kristen memberi sesuatu yang lebih dari sekadar penjelasan: kehadiran Allah yang setia.
Di tengah dunia yang sibuk dan sering kali bising, Natal mengajak kita untuk berhenti sejenak. Bukan untuk melarikan diri dari kenyataan, tetapi untuk mengingat bahwa kita tidak sendirian menghadapinya. Damai Natal bukanlah damai karena semua masalah selesai, melainkan damai karena Allah menyertai kita di tengah masalah itu.
Natal juga memanggil kita untuk hidup sebagai pembawa terang. Jika Allah memilih untuk hadir di dunia yang terluka, maka umat-Nya pun dipanggil untuk hadir—menghibur yang berduka, menguatkan yang lemah, dan menolak kebencian dengan kasih. Kita mungkin tidak dapat menjelaskan penderitaan, tetapi kita dapat menghadirkan kasih di tengahnya.
Natal tahun ini mungkin terasa lebih sunyi dan berat. Namun justru di sanalah makna Natal menjadi nyata. Imanuel bukan sekadar kata indah dalam lagu dan kartu ucapan. Ia adalah pengakuan iman yang dalam: Allah menyertai kita—bahkan ketika dunia terasa gelap dan tidak masuk akal.
Dan mungkin iman yang paling murni pada Natal ini bukan iman yang memiliki semua jawaban, melainkan iman yang berani berkata:
Tuhan, kami tidak mengerti, tetapi kami percaya Engkau tetap menyertai kami.
Doa Penutup:
Tuhan Allah yang penuh kasih, di hadapan-Mu kami datang dengan hati yang berat. Kami membawa duka, ketakutan, dan pertanyaan yang tidak selalu memiliki jawaban.
Kami berdoa bagi mereka yang menjadi korban teror di Bondi, bagi keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih, dan bagi semua yang masih hidup dalam trauma dan ketakutan. Kiranya Engkau sendiri menjadi penghibur dan sumber kekuatan mereka.
Tuhan, kami tidak selalu mengerti jalan-Mu. Kami tidak memahami mengapa kejahatan diizinkan terjadi. Namun kami berpegang pada janji-Mu bahwa Engkau adalah Imanuel—Allah yang menyertai kami.
Hadirlah di tengah dunia yang terluka ini. Hadirlah di tengah hati kami yang gelisah. Jadikanlah kami alat damai-Mu, pembawa kasih di tengah kebencian, dan terang di tengah kegelapan, dalam keluarga, gereja, dan masyarakat umum.
Di Natal ini, ajarlah kami untuk tidak hanya merayakan kelahiran Kristus, tetapi juga hidup dalam kehadiran-Nya setiap hari.
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Imanuel kami, kami berdoa. Amin.
“Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: ”Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Matius 26:39
Ada doa-doa yang mengalir dengan ringan dari bibir kita. Doa sebelum makan. Doa syukur ketika kabar baik datang. Doa permohonan sederhana yang kita ucapkan hampir tanpa berpikir. Namun ada juga doa-doa yang terasa berat, bukan karena kata-katanya sulit, melainkan karena maknanya menuntut kejujuran dan keberanian yang dalam.
Salah satu doa yang paling berat sering muncul di ruang tunggu rumah sakit, di depan hasil pemeriksaan medis, atau ketika dokter berkata, “Kita perlu memastikan lebih lanjut.” Pada saat itu, hati manusia hampir secara refleks ingin berdoa: “Tuhan, semoga ini tidak serius.” Itu doa yang sangat manusiawi. Tidak ada yang salah dengan ketakutan. Tidak ada dosa dalam keinginan untuk tetap sehat, tetap kuat, tetap bersama orang-orang yang kita kasihi.
Namun ada doa lain, yang jarang diucapkan dengan spontan, dan sering muncul setelah pergumulan batin yang panjang: “Tuhan, biarlah diagnosis ini benar dan jelas, supaya pengobatan dapat dilakukan dengan tepat.” Doa ini terdengar lebih dingin, lebih rasional, bahkan mungkin kurang rohani bagi sebagian orang. Tetapi justru di sinilah iman diuji—bukan hanya iman kepada kuasa Allah, tetapi iman kepada karakter-Nya.
Ketika kita berdoa agar penyakit “tidak serius”, sesungguhnya kita sedang berdoa agar realitas disesuaikan dengan harapan kita, dan kita tidak mau menghadapi kemungkinan adanya salah diagnosis. Ini seperti orang yang menerima adanya mukjizat tanpa ingin mengetahui kebenarannya. Ketika kita berdoa agar diagnosis “akurat”, kita sedang berdoa agar kita disesuaikan dengan realitas, apa pun bentuknya, dan dengan itu bisa berdoa untuk memohon pertolongan Tuhan. Yang pertama berangkat dari keinginan untuk terhindar dari penderitaan. Yang kedua berangkat dari keinginan untuk berjalan dalam kebenaran.
Alkitab menunjukkan bahwa Allah tidak alergi terhadap doa-doa yang lahir dari ketakutan. Mazmur penuh dengan jeritan orang-orang yang ingin dilepaskan dari sakit, dari maut, dari penderitaan. Bahkan Yesus sendiri, di taman Getsemani, berdoa agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya. Ini mengingatkan kita bahwa meminta kelegaan bukanlah tanda iman yang lemah. Itu tanda kita adalah manusia.
Namun doa Yesus tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan kalimat yang sering kita kagumi tetapi jarang kita tiru sepenuh hati: “Namun bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” Di titik inilah doa berubah dari permohonan menjadi penyerahan. Dari harapan pribadi menjadi ketaatan. Dari keinginan untuk diselamatkan dari penderitaan menjadi kesediaan untuk berjalan bersama Allah di dalamnya.
Doa agar diagnosis akurat adalah doa semacam ini. Doa yang berkata, “Tuhan, aku tidak tahu apa hasilnya, tetapi aku ingin tahu kebenaran.” Ini bukan doa orang yang putus asa, melainkan doa orang yang ingin hidup dengan bijaksana. Kebenaran mungkin menyakitkan, tetapi ketidakjelasan sering kali jauh lebih berbahaya. Diagnosis yang salah, atau yang disangkal, dapat menunda pengobatan, memperparah kondisi, dan pada akhirnya membawa penderitaan yang lebih besar.
Di sinilah iman Kristen bersifat realistis. Kita tidak dipanggil untuk hidup dalam ilusi rohani. Allah yang kita sembah adalah Allah yang bekerja dalam sejarah, dalam tubuh manusia, dalam proses medis, dalam hikmat para dokter, dan dalam teknologi yang berkembang. Lukas, penulis Injil, adalah seorang tabib. Paulus menyarankan Timotius untuk menggunakan anggur demi kesehatannya. Semua ini menunjukkan bahwa mencari kejelasan medis bukanlah tanda kurang iman, melainkan bentuk tanggung jawab.
Namun tetap saja, doa agar kebenaran dinyatakan membutuhkan keberanian. Keberanian untuk menerima kabar buruk. Keberanian untuk mengakui keterbatasan tubuh. Keberanian untuk menyerahkan masa depan kepada Allah tanpa syarat. Doa ini memotong ilusi bahwa kita mengendalikan hidup kita sendiri.
“datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Matius 6:10
Menariknya, justru di sinilah banyak orang menemukan damai yang lebih dalam. Ketika kita berhenti menawar realitas dan mulai mempercayakan diri kepada Allah sepenuhnya, ketakutan perlahan berubah menjadi ketenangan. Bukan karena situasi menjadi lebih ringan, tetapi karena beban tidak lagi dipikul sendirian.
Dalam perjalanan iman, doa sering kali bertumbuh seiring usia dan pengalaman. Pada masa muda, doa kita sering berpusat pada hasil: kesembuhan, keberhasilan, jalan keluar cepat. Seiring waktu, doa berubah menjadi permohonan akan hikmat, keteguhan, dan kesetiaan. Kita mulai berdoa bukan hanya agar penderitaan dijauhkan, tetapi agar hidup kita—sehat atau sakit—tetap memuliakan Tuhan.
Doa yang matang bukan doa yang paling optimistis, melainkan doa yang paling jujur. Jujur tentang ketakutan kita, dan jujur tentang ketergantungan kita kepada Allah. Dalam kejujuran itulah iman menemukan bentuknya yang paling murni.
Maka ketika kita berdiri di persimpangan antara dua doa—doa agar penyakit tidak serius, dan doa agar diagnosis akurat—kita tidak perlu memilih salah satunya secara kaku. Kita boleh memulai dengan doa yang lahir dari ketakutan, dan berakhir dengan doa yang lahir dari penyerahan. Kita boleh berkata, “Tuhan, aku berharap ini ringan,” sambil menambahkan, “tetapi lebih dari itu, aku ingin berjalan dalam kebenaran-Mu.”
Karena pada akhirnya, iman Kristen bukan janji bahwa kita akan selalu terhindar dari penderitaan, melainkan keyakinan bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian di dalamnya.
“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Roma 8:38-39
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, Engkau mengenal tubuh kami lebih dari siapa pun. Engkau tahu ketakutan yang tersembunyi di hati kami, dan Engkau tidak menolak doa yang lahir dari kelemahan.
Kami mohon belas kasihan-Mu, ya Tuhan. Jika berkenan, jauhkanlah penyakit dan penderitaan dari kami. Namun bila kami harus menghadapi kenyataan yang sulit, berilah kami hati yang mau menerima kebenaran. Tuntunlah setiap pemeriksaan, setiap keputusan medis, dan setiap tangan yang merawat kami,supaya semua berjalan dalam hikmat dan kejelasan.
Ajarlah kami untuk tidak hanya mencari kesembuhan, tetapi juga kesetiaan. Tidak hanya kelegaan, tetapi juga kedewasaan iman. Di dalam sehat maupun sakit, biarlah hidup kami tetap berada di dalam tangan-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Mazmur 90:10
Mazmur 90 adalah satu-satunya mazmur yang ditulis oleh Musa. Dari seluruh pengalamannya memimpin umat di padang gurun, ia menyimpulkan bahwa hidup manusia sesungguhnya singkat. Ia tidak sedang menetapkan aturan baku tentang usia rata-rata, tetapi menggambarkan realitas umum pada zamannya: kehidupan penuh perjuangan, rasa letih, dan cepat berlalu. Bahkan para pemimpin besar seperti Musa sendiri menyadari bahwa manusia hanyalah debu yang bergantung sepenuhnya pada belas kasihan Allah.
Mazmur ini juga memuat nada penghakiman: generasi yang berjalan di padang gurun menyaksikan banyak yang gugur sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Namun isi mazmur tidak berhenti pada hukuman—sebaliknya, ia mengajak umat menyadari kefanaan mereka agar mereka berhikmat dalam menjalani hidup.
Di tengah gambaran tentang umur 70–80 tahun ini, Alkitab memberi perspektif yang lebih luas. Kristus sendiri hidup hanya sekitar tiga puluh tahun di dunia. Artinya, panjang umur bukan ukuran nilai hidup. Justru melalui hidup Yesus yang relatif singkat, kita melihat rencana kekal Allah yang jauh melampaui batas usia manusia.
1. Hidup Panjang Bukanlah Ukuran, Melainkan Kesempatan
Banyak orang menganggap umur yang panjang sebagai bukti berkat. Namun Mazmur ini mengingatkan bahwa angka usia tidak menentukan kualitas hidup seseorang. Seseorang bisa mencapai usia lanjut tetapi tidak pernah mengenal damai Tuhan. Sebaliknya, seseorang bisa hidup sebentar tetapi meninggalkan warisan kasih, kesetiaan, dan ketaatan yang berpengaruh sampai generasi berikutnya.
Dalam terang ini, hidup panjang sesungguhnya adalah kesempatan—bukan kebanggaan. Kesempatan untuk bertobat, belajar, mengasihi, dan melayani. Kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Dia yang memberi hidup.
2. Hidup Bernilai Ketika Dipakai untuk Memuliakan Tuhan
Mazmur lain berkata: “Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup.” Itu bukanlah pernyataan tentang berapa lama seseorang bisa bertahan, melainkan tentang kemana arah hatinya tertuju. Setiap hari adalah kesempatan memuliakan Tuhan melalui kasih yang tulus, melalui kesabaran, melalui pengampunan, melalui pekerjaan yang dilakukan dengan setia, dan melalui kehidupan yang menjadi kesaksian.
Ada orang yang hidup bertahun-tahun tetapi tidak pernah mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Ada pula orang-orang yang singkat umurnya, namun kehidupan mereka seperti pelita yang tetap menyala bagi generasi setelahnya. Ukuran kehidupan tidak ditentukan oleh panjangnya kalender, tetapi oleh kedalaman ketaatan.
3. Perumpamaan Talenta: Tuhan Menilai Isi Hidup, Bukan Lamanya Hidup
Perumpamaan talenta adalah kunci untuk memahami bagaimana Tuhan menilai kehidupan kita. Yesus sedang berbicara tentang kedatangan-Nya kembali—tentang penghakiman terakhir. Ia menggambarkan seorang tuan yang mempercayakan talenta kepada hamba-hambanya. Talenta di sini bukan hanya bakat, melainkan seluruh paket kesempatan, pengaruh, waktu, sumber daya, dan panggilan yang Tuhan titipkan kepada kita.
Yang mencolok adalah ini:
Tuan itu tidak mempersoalkan berapa lama para hamba mengerjakan talenta itu. Ia hanya melihat apa yang mereka lakukan dengan apa yang diberi.
Demikian pula dalam hidup kita:
Tuhan tidak menanyakan, “Berapa tahun kamu hidup?” Melainkan, “Apa yang kamu perbuat dengan tahun-tahun itu?”
Hamba yang setia mendapat pujian. Hamba yang menyembunyikan talenta mendapat teguran keras. Pesan Yesus jelas: hidup di dunia adalah masa penantian yang aktif. Setiap napas adalah kesempatan untuk setia, bukan untuk pasif.
4. Hidup Yang Kekal Mengubah Cara Kita Melihat Usia
Kematian bukanlah akhir bagi orang percaya. Melalui Kristus, kematian telah ditaklukkan, dan kehidupan kekal telah dibukakan. Ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya tidak berakhir di dunia, ia tidak lagi mengukur nilainya dari panjang usia.
Usia 70, 80, atau bahkan 100 tahun hanyalah titik kecil jika dibandingkan dengan kekekalan. Karena itu, yang terpenting bukanlah mempertahankan hidup sepanjang mungkin, atau bangga dengan kebugaran tubuh di hari tua, tetapi hidup setia selama Tuhan memberi.
Kualitas hidup yang memuliakan Tuhan—itulah yang bertahan sampai selamanya. Tuhan tidak mencari lilin yang bisa lama menyala, tetapi lilin yang mau menyinarkan cahaya-Nya.
Doa penutup;
Tuhan, ajarlah kami menghitung hari-hari kami sehingga kami memperoleh hati yang bijaksana. Ingatkan kami bahwa hidup ini cepat berlalu, tetapi setiap hari yang Engkau berikan penuh dengan kesempatan untuk mengasihi-Mu dan melayani sesama. Biarlah kami tidak sekadar mengejar umur panjang, tetapi mengejar hidup yang memuliakan Engkau. Pakailah setiap talenta, waktu, dan kesempatan yang Engkau titipkan agar hidup kami menjadi terang bagi dunia. Dan ketika hari-hari kami berakhir, biarlah kami menemukan diri kami dalam kemuliaan-Mu yang kekal. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.
Ada sebuah pengakuan jujur dalam Mazmur 90 yang selalu menyentuh hati manusia sepanjang zaman. Musa, pemimpin besar Israel, menuliskan refleksi hidupnya: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Ayat ini bukan sebuah vonis ilahi tentang batas usia manusia, melainkan gambaran jujur tentang kefanaan hidup manusia di dunia. Musa yang melihat begitu banyak orang Israel jatuh di padang gurun, yang menyaksikan kerapuhan manusia setiap hari, menyimpulkan bahwa hidup itu pendek, melelahkan, dan bergerak cepat seperti kabut pagi yang hilang saat matahari terbit.
Namun justru di balik pengakuan tentang singkatnya hidup ini, tersimpan undangan rohani yang mendalam: bila hidup ini tidak panjang, bagaimana kita harus menjalankannya? Bila waktu bergerak cepat dan tidak bisa ditahan, apa arti umur panjang? Dan bila umur manusia bukan ukuran nilai hidup, maka apa yang benar-benar membuat hidup bermakna di hadapan Tuhan?
Renungan tentang hidup panjang sering mengarah pada angka: apakah seseorang mencapai 70, 80, atau bahkan 100 tahun. Banyak budaya menganggap umur panjang sebagai simbol keberhasilan, berkat, atau hidup yang baik. Tetapi Alkitab memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih mendalam: panjangnya hidup bukanlah jumlah tahun, tetapi kedalaman pengabdian. Bukan lamanya napas, tetapi kepada siapa napas itu dipersembahkan. Hidup yang panjang adalah hidup yang dipenuhi makna, bukan hitungan kalender.
Bahkan Tuhan Yesus sendiri hidup relatif singkat—sekitar tiga puluh tahun. Namun tidak ada satu manusia pun yang memiliki pengaruh lebih besar dari Dia. Dari sini kita belajar: Tuhan tidak menilai panjangnya usia, tetapi kesetiaan dalam menjalani panggilan Ilahi. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk hidup lama, tetapi setiap orang diberi kesempatan untuk hidup bermakna.
Itulah sebabnya Mazmur lain mengatakan, “Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup.” Perhatikan bahwa ayat ini tidak menyebutkan panjang usia. Memuliakan Tuhan tidak membutuhkan usia tertentu, tidak membutuhkan masa hidup yang panjang atau pendek. Yang dibutuhkan adalah hati yang mau diarahkan kepada Dia. Seseorang dapat hidup lama namun tidak pernah memuliakan Tuhan. Sebaliknya, ada yang hidup singkat, namun hidupnya menjadi kesaksian yang tetap dikenang di bumi dan diperhitungkan di surga.
Ketika kita berbicara tentang hidup panjang, kita sering terpaku pada berapa lama kita bisa bertahan. Tetapi Alkitab mengarahkan fokus kita kepada apa yang kita lakukan selama kita diberi waktu. Ini ditegaskan dengan sangat kuat dalam Perumpamaan Talenta. Yesus berbicara tentang seorang tuan yang pergi jauh dan mempercayakan talenta kepada hamba-hamba-Nya. Talenta itu bukan sekadar kemampuan, tetapi seluruh kesempatan, waktu, kekuatan, pengaruh, dan karunia yang Tuhan berikan kepada kita untuk dikelola dan dikembangkan.
Yang menarik, dalam perumpamaan itu, tuan tersebut tidak bertanya berapa lama para hamba bekerja. Ia tidak menghitung jam, hari, atau tahun. Yang Ia perhatikan adalah apa yang mereka hasilkan dengan apa yang telah dipercayakan. Ada hamba yang setia mengembangkan talenta, dan ada yang memilih untuk menyembunyikannya. Perbedaan mereka bukan pada usia, melainkan pada respons. Bukan pada lamanya hidup, melainkan pada kesetiaan.
Karena itu, dunia sering mengukur keberhasilan dari berapa lama seseorang hidup. Tetapi Tuhan mengukur dari bagaimana seseorang menghidupi anugerah-Nya dari hari ke hari. Kita dapat merasakan tekanan batin ketika memikirkan usia yang terus bertambah, tubuh yang semakin lemah, atau kesempatan yang perlahan menyempit. Tetapi renungan Mazmur 90 mengajak kita memandang dari perspektif yang berbeda. Jika hidup memang singkat, maka setiap hari menjadi permata yang berharga. Jika usia manusia cepat berlalu, maka setiap jam menjadi kesempatan untuk hidup dengan bijak.
Musa sendiri memohon kepada Tuhan: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Ia tidak berdoa agar Tuhan menambah tahun hidupnya. Ia meminta hikmat untuk memakai waktu yang tersedia. Inilah doa yang memampukan manusia menjalani hari-hari tanpa penyesalan, sebab setiap langkah dipenuhi kesadaran akan tujuan yang kekal.
Hidup yang memuliakan Tuhan adalah hidup yang menyala di hadapan-Nya. Bukan karena panjangnya tahun, melainkan karena ketekunan, kasih, dan pelayanan yang terus dipersembahkan. Ibarat sebuah lilin, ada lilin yang besar dan panjang, tetapi nyalanya redup dan tidak memberi banyak cahaya. Ada juga lilin kecil yang cepat habis, tetapi selama menyala ia mengusir gelap dan menghangatkan suasana. Tuhan tidak mencari lilin yang paling panjang, tetapi lilin yang paling setia menyinarkan terang. Dia melihat kualitas, bukan kuantitas. Dia melihat hati, bukan usia.
Ketika seseorang hidup dengan cara ini—dengan kesadaran bahwa hidupnya adalah alat untuk memuliakan Tuhan—maka ia tidak takut dengan usia. Ia tidak mengeluh tentang masa lalu, tidak cemas tentang masa depan. Ia berjalan dengan damai karena tahu setiap hari adalah kesempatan untuk menyaksikan kasih Tuhan. Orang seperti ini membuat hidupnya “panjang”, bukan karena angka, tetapi karena buahnya tetap tinggal bahkan setelah ia pergi.
Pada akhirnya, renungan tentang hidup panjang membawa kita kepada satu kenyataan: hidup ini terbatas, tetapi hidup dalam Tuhan tidak pernah berakhir. Dalam Kristus, kehidupan kekal sudah dimulai di dalam diri kita sejak saat kita percaya. Karena itu, makna hidup bukan ditentukan dari berapa lama kita tinggal di dunia, tetapi bagaimana kita menghidupi anugerah yang sudah diberikan. Ketika hidup diarahkan untuk memuliakan Tuhan, ketika talenta dipakai dengan setia, ketika waktu dimanfaatkan untuk mengasihi dan melayani, maka hidup kita tidak akan pernah “pendek”—sebab buahnya melampaui batas waktu dan masuk ke dalam kekekalan.
DOA PENUTUP
Tuhan, ajarlah kami menghitung hari-hari kami dengan bijaksana. Ingatkan kami bahwa hidup ini singkat, tetapi setiap hari adalah kesempatan untuk memuliakan nama-Mu. Bentuklah hati kami agar setia dengan talenta dan waktu yang Engkau percayakan. Biarlah hidup kami dipenuhi terang-Mu dan meninggalkan jejak yang memuliakan Engkau. Ketika hari-hari kami berakhir, bawa kami masuk dalam kehidupan kekal yang telah Engkau sediakan melalui Kristus. Amin.
Jika Anda ingin, saya dapat menyiapkan versi untuk dibawakan sebagai khotbah, atau versi lebih puitis untuk renungan pribadi.
Dalam Alkitab, hidup panjang selalu dipandang bukan hanya sebagai umur yang bertambah, tetapi hidup yang dipenuhi damai, hikmat, dan kesetiaan kepada Tuhan.
Ada orang yang umurnya panjang tetapi hidupnya penuh kekosongan. Dalam keadaan demikian, bukanlah hidup yang panjang, tapi penderitaan. Namun Alkitab menunjukkan jalan untuk hidup yang panjang dan bermakna, yang berkembang dari hati yang takut akan Tuhan.
⸻
Hormat kepada Tuhan sebagai dasar hidup
“Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN…” (Amsal 9:10)
Hidup panjang dimulai dari sikap hati yang benar kepada Allah. Takut akan Tuhan bukan rasa takut yang menekan, melainkan sikap hormat, tunduk, dan ingin melakukan yang berkenan di hadapan-Nya. Hikmat lahir dari relasi ini, dan hikmat itu memelihara hidup.
Prinsip: Semakin seseorang hidup di bawah tuntunan Tuhan, semakin benar keputusan-keputusannya, dan semakin terhindar ia dari jalan yang membawa kerusakan.
⸻
Taat dan hormat kepada orang tua
“Hormatilah ayahmu dan ibumu… supaya lanjut umurmu di negeri yang diberikan Tuhan Allahmu.” (Keluaran 20:12)
Ini adalah perintah dengan janji. Hormat kepada orang tua memupuk rendah hati, disiplin, dan ketaatan pada otoritas ilahi. Dalam praktiknya, menghargai orang tua menciptakan hubungan yang diberkati Tuhan dan membentuk karakter yang sehat.
Prinsip: Sikap hati yang menghormati akan membuat seseorang bijak dalam menghadapi hidup, dan itu memanjangkan umur secara rohani dan moral.
⸻
Menjaga perkataan
“Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari kesukaran.” (Amsal 21:23)
Alkitab menunjukkan bahwa kata-kata bisa membawa kehidupan atau kematian (Amsal 18:21). Orang yang sembarangan bicara sering membawa dirinya pada masalah, konflik, dan tekanan hidup. Sebaliknya, mulut yang dijaga membawa damai.
Prinsip: Perkataan yang bijaksana menghindarkan pergumulan yang bisa merusak kesehatan, relasi, dan kualitas hidup.
⸻
Menghindari dosa yang membawa kehancuran
“Janganlah iri hati kepada orang yang berbuat jahat… sebab orang jahat akan dipotong.” (Amsal 24:19–20)
Alkitab berulang kali menyatakan bahwa dosa bukan hanya melukai hubungan dengan Tuhan, tetapi membawa konsekuensi nyata atas tubuh, jiwa, relasi, dan masa depan.
Prinsip: Hidup yang bersih dan bertanggung jawab secara moral menghindarkan seseorang dari konsekuensi pahit yang memperpendek hidup.
⸻
Hidup dengan hati yang bersyukur dan damai
“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” (Amsal 17:22)
Hati yang bersyukur menjaga seseorang dari kepahitan. Stres, iri hati, dan kekesalan yang berkepanjangan dapat merusak tubuh dan jiwa. Sukacita dari Tuhan memberi kekuatan untuk menjalani hidup panjang tanpa kelelahan mental.
Prinsip: Sukacita bukan sekadar emosi; itu adalah buah dari hubungan sehat dengan Tuhan.
⸻
Rajin, seimbang, dan tidak malas
“Tangan orang rajin memegang kekuasaan.” (Amsal 12:24)
Kerajinan memberi hidup yang stabil dan teratur. Namun Alkitab juga mengajarkan ritme istirahat seperti Sabat—bekerja kuat, tetapi tahu berhenti.
Prinsip: Kerajinan memberi stabilitas dan kelimpahan; keseimbangan menjaga kesehatan.
⸻
Mengendalikan diri
“Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.” (Amsal 25:28)
Tanpa penguasaan diri, seseorang mudah masuk pada kebiasaan yang merusak: kemarahan, kecanduan, gaya hidup yang tidak sehat. Penguasaan diri adalah perlindungan atas masa depan.
Prinsip: Kesabaran dan disiplin memperpanjang hidup dengan menghindarkan banyak bahaya.
⸻
Mencari hikmat dan nasihat
“Dengan banyak penasihat tercapailah kemenangan.” (Amsal 24:6)
Hidup panjang butuh keputusan yang benar. Orang yang menolak nasihat sering membawa diri kepada kegagalan. Sebaliknya, yang mau belajar akan terus bertumbuh.
Prinsip: Hidup panjang adalah hasil dari hidup yang mau diarahkan.
⸻
Mengampuni dan hidup dalam damai
“Jauhkanlah kepahitan, kegeraman, dan kemarahan…” (Efesus 4:31)
Kebencian memperpendek umur—secara emosional dan bahkan fisik. Mengampuni membebaskan beban yang menekan jiwa.
Prinsip: Hidup panjang membutuhkan hati yang ringan.
⸻
Menetapkan Tuhan sebagai perlindungan
“Dengan panjang umur Aku akan memuaskannya dan memperlihatkan kepadanya keselamatan-Ku.” (Mazmur 91:16)
Hidup panjang bukan sekadar hasil usaha manusia. Itu bagian dari proteksi dan pemeliharaan Tuhan. Orang yang berlindung kepada-Nya hidup dalam damai walaupun usia bertambah.
Prinsip: Keamanan sejati ada pada perlindungan Tuhan.
⸻
Kesimpulan:
Hidup Panjang Dimulai dari Hati yang Terarah kepada Tuhan
Menurut Alkitab, hidup panjang bukan kebetulan, melainkan buah dari: • hati yang takut akan Tuhan, • hidup yang bersih, • perkataan yang dijaga, • relasi yang damai, • kebiasaan yang sehat, • dan perlindungan ilahi.
Ketika seseorang hidup demikian, umurnya belum tentu panjang secara literal, tetapi yang pasti hidupnya akan panjang dalam makna, buah, dan pengaruh rohani.
Selamat menyongsong Hari Natal, hari kelahiran Raja Damai.
“Kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.” 1 Korintus 13:5
Anda tahu apa arti istilah “kepo”? Itu adalah bahasa gaul untuk orang yang ingin tahu segalanya (dari kata kaypoh di Singapura, artinya ingin tahu urusan orang lain). Orang yang sedemikian dikenal sebagai “control freak” jika mereka juga ingin mengontrol semua gerak gerik orang lain:
Membuat aturan berlebihan dan detail yang tidak perlu.
Tidak percaya orang lain bisa melakukan tugas dengan baik, sehingga mengambil alih pekerjaan.
Sangat kaku terhadap rencana dan marah besar saat terjadi perubahan.
Sulit menerima kritik dan jarang mengakui kesalahan.
Fokus mengubah orang lain agar sesuai ekspektasinya.
Cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan saat gagal.
Biasanya orang kepo senang melakukan snooping around. Dalam bahasa Inggris, itu adalah kata kerja yang artinya mengintip, mencari-cari, atau mengorek-ngorek informasi pribadi orang lain secara sembunyi-sembunyi untuk kepentingan pribadi.
Istilah kepo dan snooping around sering dipakai untuk bercanda. Tetapi, kepo adalah hal yang serius. Ada banyak dosa yang mudah dilihat mata—dosa perbuatan, dosa perkataan, dosa moral yang mencolok. Namun kegiatan snooping around dari orang yang kepo adalah dosa yang bekerja diam-diam, hampir tidak terdengar, tetapi pelan-pelan merusak hubungan, menghancurkan kepercayaan, dan menodai karakter.
Rasa ingin tahu sebenarnya bukan hal buruk. Alkitab mendorong kita menjadi orang yang haus belajar, bijaksana, dan bertumbuh. Namun rasa ingin tahu berubah menjadi dosa ketika kita menggunakan itu untuk menelanjangi kehidupan orang lain tanpa izin, apalagi jika dengan iktikad jelek. Snooping muncul ketika seseorang merasa berhak tahu lebih banyak daripada seharusnya—tentang keadaan keluarga, pergumulan pribadi, masa lalu, masalah rumah tangga, atau kelemahan pelayanan dari orang lain.
Sikap “usil” seperti ini, sekalipun umum di Indonesia, bertentangan langsung dengan kasih, sebab kasih tidak memaksa masuk, tidak menyerobot, dan tidak memanfaatkan kerentanan orang lain untuk keuntungan diri. Kasih tidak mendobrak pintu yang tertutup; sebaliknya, kasih menunggu, menghargai, dan menjaga privasi.
Di gereja-gereja yang sehat, kepercayaan adalah pondasi relasi. Namun di gereja yang mulai disusupi budaya snooping, anggota menjadi tidak aman. Mereka merasa selalu diawasi, dinilai, atau diintip. Tidak ada lagi ruang bagi kerentanan dan kejujuran, karena setiap cerita dapat disalahgunakan atau disebarkan.
Gosip: karena informasi yang didapat secara rahasia hampir selalu dibocorkan kepada orang lain.
Fitnah: sebab informasi yang setengah matang mudah sekali diputar sesuai selera.
Manipulasi: orang yang tahu rahasia diam-diam bisa menekan atau mengendalikan pihak lain. Ini yang dinamakan control freak.
Penghakiman: sebab seseorang mulai merasa tahu seluruh konteks, padahal hanya melihat sebagian kecil.
Kesombongan rohani: ketika seseorang merasa dirinya lebih suci atau lebih benar setelah melihat kelemahan orang lain.
Snooping sering muncul sebagai ciri khas kultus dan gereja yang tidak sehat (gereja toksik). Mengapa snooping sangat umum dalam lingkungan ini? Karena kultus dan gereja toksik bertahan dengan kontrol ketat, bukan kasih.
Kultus dan gereja toksik memiliki pola yang sama: mereka mengintip kehidupan pribadi anggotanya, mereka memata-matai relasi, mereka meminta laporan tentang anggota lain, mereka memaksa transparansi sepihak, mereka menggunakan informasi untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak ada kebebasan di dalamnya., sehingga orang lain takut salah bicara, salah melangkah, atau berbagi pergumulan. Semuanya terasa diawasi. Ini bertentangan dengan Injil.
Yesus tidak membangun Gereja melalui pengawasan, tetapi melalui kasih, delegasi dan kepercayaan. Ia tidak memeriksa kelemahan murid-murid-Nya untuk mempermalukan, tetapi untuk memulihkan dan memampukan.
Komunitas Kristen yang sehat ditandai oleh keterbukaan hati, bukan keterbukaan paksa. Oleh kepercayaan, bukan rasa curiga. Oleh kerahasiaan yang dijaga, bukan informasi yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Alkitab mengajar bahwa salah satu tanda kedewasaan rohani adalah keheningan yang suci.
Paulus menulis:
“Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu,”
1 Tesalonika 4:11
Artinya, berhentilah mencampuri urusan orang lain yang bukan tanggung jawab kita. Orang Kristen yang mengasihi orang lain tidak suka menimbulkan masalah yang bisa dhindari. Mereka tidak memakai hidung mereka untuk mengendus masalah pribadi orang lain. Mereka juga tidak duduk dengan tangan terlipat dan mengharapkan orang lain untuk menyediakan segala sesuatu untuk mereka.
Budaya kepo hanya bisa berhenti jika dimulai dari hati yang dipulihkan oleh kasih karunia. Beberapa sikap yang membangun:
Belajar hidup dengan batas – hormati privasi sesama sebagaimana kita ingin privasi kita dihormati.
Tolak gosip – jika kita tidak boleh tahu, jangan mencari tahu.
Lindungi informasi orang lain – jadilah tempat aman, bukan sumber kebocoran.
Berdoa daripada menyelidiki – serahkan hal-hal tersembunyi kepada Tuhan. Bangun kepercayaan, bukan kontrol – biarkan kasih memimpin relasi.
Kecenderungan kepo dan kontrol akan padam di tangan orang yang hatinya teguh di dalam Kristus. Semoga damai Natal meyakinkan kita bahwa dalam Kristus kita aman, dan karena itu kita tidak perlu mencari keamanan dari informasi tentang kesalahan orang lain.
Doa Penutup:
Tuhan Yesus, Engkau mengenal hati kami lebih dalam daripada yang kami sadari. Kami akui bahwa terkadang rasa ingin tahu kami melewati batas, dan kami mengorek hal-hal yang bukan bagian kami. Bersihkan hati kami dari kecenderungan menghakimi, dari keinginan untuk tahu yang tidak perlu, dari ketidakamanan yang mendorong kami kehilangan integritas.
Ajarlah kami hidup dengan kasih yang menghormati privasi sesama. Bentuklah kami menjadi pribadi yang dapat dipercaya, yang menjaga rahasia, yang tidak mencari celah orang lain, dan yang berjalan di dalam terang tanpa tipu.
Kiranya komunitas kami menjadi tempat yang aman, penuh kepercayaan, dan dipimpin oleh Roh-Mu, bukan oleh rasa curiga. Dalam semua hal, ajar kami meneladani-Mu—Raja yang tidak memata-matai, tetapi mengasihi dan memulihkan.
“Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: ”Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia.” Matius 2:7-8
Kisah kelahiran Yesus bukan hanya menceritakan sukacita, penyembahan, dan penantian yang tergenapi. Di balik terangnya bintang dan sorak para gembala, ada satu figur yang gelisah—seorang raja yang duduk di atas takhta tetapi hidup dalam ketakutan. Herodes menerima berita kelahiran Sang Raja, namun alih-alih bersukacita, ia justru merasa posisinya terancam. Reaksi itu lahir dari hati yang rapuh—hati yang insecure, tidak aman.
Insecurity atau perasaan tidak aman adalah keadaan batin yang merasa tidak cukup. Tidak cukup berkuasa, tidak cukup berharga, tidak cukup diterima. Orang yang hidup dalam ketidakamanan seperti ini cenderung mudah cemburu, mudah tersinggung, penuh kecurigaan, dan selalu membutuhkan pembuktian dari orang lain. Mereka membandingkan diri, menuntut pengakuan, dan sering kali bertindak tidak sesuai dengan prinsip yang mereka sendiri yakini.
Herodes adalah gambaran ekstrem dari kondisi ini. Ketika ia mendengar bahwa “seorang Raja” telah lahir, ketakutan langsung menguasai dirinya. Ia tidak dapat menerima bahwa ada kekuasaan lain yang lebih besar daripada dirinya. Insecurity-nya mendorongnya mengorbankan integritas: ia memanggil orang-orang majus secara diam-diam, bertanya-tanya dengan licik, bahkan mengatakan bahwa ia juga ingin “menyembah”—padahal yang ia inginkan adalah menyingkirkan Anak itu.
Insecurity selalu membuka pintu kompromi terhadap integritas. Hati yang tidak aman akan menggunakan tipu muslihat ketika merasa terancam, bahkan oleh hal-hal yang seharusnya membawa damai. Herodes tidak pernah benar-benar memeriksa apakah ia sedang berperang melawan rencana Allah. Ia hanya mencoba mempertahankan dirinya dengan cara snoopingaround atau memata-matai.
Dalam banyak hal, kita juga dapat jatuh ke dalam jebakan yang sama. Ketika kita merasa kurang dalam penampilan, karier, pelayanan, atau pengakuan, kita bisa saja mulai kehilangan kejujuran, mulai memaksakan pendapat, mulai membandingkan diri dengan orang lain, atau bahkan meremehkan mereka demi menutupi kelemahan kita. Insecurity bukan soal kekurangan fakta, tetapi soal cara melihat diri sendiri.
Namun berbeda dengan Herodes, orang percaya memiliki dasar keamanan yang tidak tergoyahkan. Kita aman—secure—bukan karena prestasi atau posisi kita, tetapi karena kasih karunia Allah. Keselamatan dalam Kristus memberi kita identitas yang tetap, harga diri yang teguh, dan jaminan yang tidak akan berubah oleh situasi hidup.
Kesadaran ini membangun integritas. Ketika hati kita tenang, kita tidak perlu memanipulasi keadaan. Ketika kita sadar bahwa kita diterima oleh Allah, kita tidak perlu mencari pembuktian dari manusia. Ketika kita percaya bahwa hidup kita berada dalam tangan-Nya, kita tidak perlu mengamankan diri dengan cara yang tidak benar.
Integritas bertumbuh dari hati yang aman. Orang yang secure bisa jujur, bisa mengakui kelemahan tanpa malu, bisa bersukacita atas pencapaian orang lain, dan bisa melayani tanpa motif tersembunyi. Ia tidak perlu bersaing, tidak perlu menutupi, dan tidak perlu menyakiti. Hatinya utuh karena ia tahu dirinya dikasihi.
Setiap Natal kita kembali diingatkan: Raja yang sejati datang bukan untuk merebut takhta dunia, tetapi untuk membawa damai ke dalam hati manusia. Ia datang bukan untuk menyingkirkan orang lain, tetapi untuk memulihkan. Ia tidak mengamankan diri-Nya, melainkan memberikan diri-Nya. Di dalam Dia kita belajar bahwa keamanan sejati bukan berasal dari apa yang kita miliki, tetapi dari siapa yang memegang hidup kita.
Biarlah renungan ini menolong kita memeriksa diri:
Adakah insecurity yang diam-diam membuat kita tidak jujur?
Adakah rasa kurang yang membuat kita membandingkan diri atau mencurigai orang lain?
Mari kembali kepada Yesus, sumber identitas kita. Di dalam Dia kita aman, dan karena itu kita dapat berjalan dengan integritas.
Kiranya hati yang telah dijaga oleh kasih karunia sanggup membawa kita hidup benar—bukan karena kita kuat, tetapi karena kita sudah dimenangkan oleh Dia yang lahir untuk menebus kita.
Doa Penutup:
Tuhan Yesus, kami bersyukur karena Engkau datang ke dunia untuk memberi kami keamanan yang sejati. Engkau tidak membangun kerajaan-Mu dengan ketakutan, tetapi dengan kasih dan kebenaran. Tolonglah kami agar tidak hidup seperti Herodes yang dikuasai rasa tidak aman, tetapi ajar kami bersandar pada anugerah-Mu.
Lembutkan hati kami ketika kami mulai membandingkan diri, ketika kami merasa kurang, atau ketika kami tergoda mengorbankan integritas demi kepentingan pribadi. Ingatkan kami bahwa identitas kami ada di dalam Engkau—bukan pada prestasi, kemampuan, atau penilaian manusia.
Teguhkan langkah kami agar kami dapat hidup jujur, rendah hati, dan tulus. Bentuklah karakter kami supaya apa pun yang kami lakukan mencerminkan damai-Mu. Kiranya hidup kami diisi dengan keberanian untuk melakukan yang benar, karena kami tahu Engkau menyertai dan memegang hidup kami.
Dalam nama Yesus Kristus, Raja yang datang membawa damai, kami berdoa. Amin.
“Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.” 1 Petrus 1:6
Tidak ada seorang pun yang memilih penderitaan sebagai bagian dari rencana hidupnya. Setiap manusia, dari sejak kecil hingga usia lanjut, selalu mendambakan kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan. Namun pengalaman hidup menunjukkan bahwa tidak seorang pun dapat mengendalikan seluruh jalan hidupnya. Harapan bisa pupus, rencana bisa runtuh, dan kebahagiaan bisa diguncang oleh berita atau peristiwa yang datang tiba-tiba.
Peribahasa lama berkata, “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.” Sekalipun kalimat itu kurang benar karena menekankan adanya takdir, orang percaya memang tidak kebal terhadap kemalangan, penyakit, kekecewaan, atau kehilangan. Bahkan boleh dikatakan bahwa hidup orang percaya sering kali justru dicampur dengan tantangan yang lebih tajam karena ia berusaha setia kepada kebenaran.
Ayat di atas memberikan perspektif yang berbeda tentang penderitaan. Sekilas, ayat itu terasa paradoksal—bagaimana mungkin seseorang dapat bergembira sementara ia sedang berdukacita? Bagaimana mungkin sukacita dan pencobaan hadir bersama dalam hati yang sama? Tetapi justru di sinilah kedalaman ajaran Kristen: sukacita orang percaya tidak berdiri di atas keadaan hidup, tetapi berakar pada kepastian tentang apa yang kekal.
Penderitaan, bagi banyak orang, adalah tanda kutuk atau kegagalan. Tetapi bagi orang percaya, penderitaan sering kali menjadi cermin yang memantulkan kenyataan bahwa hidup ini rapuh, dunia ini fana, dan segala yang kita miliki hanya bersifat sementara.
Banyak orang tidak menyadari betapa hidup ini mudah berubah sampai mereka menghadapi situasi yang memaksa mereka berhenti, berdiam, dan merenung. Dalam saat-saat seperti itu, dunia yang selama ini tampak begitu kuat dan menggiurkan ternyata tidak lebih dari bayang-bayang yang cepat berlalu. Yang dulu dianggap penting, mendadak terasa remeh. Yang dulu membanggakan, mendadak tidak memberi penghiburan apa-apa. Maka, tanpa disadari, penderitaan menarik pandangan kita dari dunia dan mengarahkannya kepada Kristus.
Harapan orang percaya bukanlah kenyamanan di bumi, melainkan keselamatan yang telah dinyatakan melalui darah Yesus. Keselamatan itu bukan teori, bukan slogan, bukan sekadar penghiburan murah. Keselamatan adalah realitas kekal yang dibayar dengan harga yang tak terukur.
Bila penderitaan hidup membawa kita kembali kepada kesadaran akan karya Kristus di kayu salib, maka penderitaan itu—sehancur apa pun bentuknya—tidaklah sia-sia. Justru di dalam luka, kita menemukan betapa besar kasih Tuhan. Di dalam air mata, kita melihat betapa dekat-Nya Ia kepada kita. Dan di dalam keputusasaan, kita menemukan tangan-Nya yang tidak pernah melepaskan.
Iman bukanlah kemampuan untuk tersenyum ketika hati terluka, melainkan keberanian untuk percaya bahwa Tuhan tetap berdaulat meskipun keadaan tidak seperti harapan kita.
Iman berkata, “Aku tidak mengerti mengapa ini terjadi, tetapi aku percaya Tuhan tahu apa yang Ia kerjakan.” Iman tidak menutup mata terhadap realitas derita, tetapi menatap lebih jauh kepada kemuliaan yang akan datang. Itu sebabnya para saksi iman di sepanjang sejarah mampu berjalan dengan kepala tegak meskipun kaki mereka berada di jalan yang berat. Mereka tahu bahwa apa pun yang mereka hadapi hari ini hanyalah sekejap bila dibandingkan dengan kekekalan bersama Kristus.
Penderitaan bukan hanya mengajarkan tentang kefanaan, tetapi juga memurnikan iman. Dalam kenyamanan, iman mudah menjadi dangkal. Kita cenderung bersandar pada diri sendiri, kekuatan sendiri, dan kemampuan sendiri. Tetapi ketika hidup terguncang, barulah iman diuji. Di saat itulah tampak apakah kita sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan atau hanya mengikuti-Nya selama keadaan baik.
Petrus menegaskan bahwa berbagai pencobaan itu diperlukan untuk membuktikan kemurnian iman, seperti emas yang dimurnikan dengan api. Api itu panas, menyakitkan, bahkan dapat membuat kita ingin menyerah. Namun api pemurnian tidak merusak emas—ia justru mengangkat nilai emas itu. Demikian pula Tuhan mengizinkan pencobaan untuk membuat iman kita semakin murni, semakin teguh, dan semakin mengakar dalam kasih karunia-Nya.
Sering kali penderitaan juga membuka mata kita terhadap karya Tuhan yang tak terlihat pada masa-masa nyaman. Dalam kelemahan, kita baru menyadari bahwa kasih Allah tidak pernah berhenti menopang. Dalam ketidakpastian, kita menemukan bahwa janji-Nya lebih kokoh daripada apa pun di dunia ini. Dan dalam kesedihan yang terdalam, kita merasakan kehadiran Tuhan yang paling lembut—bukan dalam suara gemuruh, tetapi dalam bisikan lembut yang menguatkan hati.
Banyak orang justru merasakan pertumbuhan rohani terbesar bukan ketika semuanya berjalan lancar, tetapi ketika mereka berjalan di lembah kekelaman.
Alkitab tidak pernah memerintahkan kita untuk menikmati penderitaan itu sendiri. Namun Alkitab memanggil kita untuk bersukacita karena karya Tuhan yang dinyatakan melalui penderitaan. Sukacita itu bukan tawa yang dibuat-buat, bukan juga keberanian palsu yang dipaksa.
Sukacita dalam penderitaan adalah ketenangan yang lahir dari kesadaran bahwa hidup kita berada dalam tangan Tuhan yang Mahabijaksana. Ia tidak pernah salah. Ia tidak pernah terlambat. Ia tidak pernah meninggalkan kita walau sekejap pun. Penderitaan boleh mengguncang tubuh dan perasaan kita, tetapi tidak dapat mencabut keselamatan yang telah dijanjikan kepada kita.
Sesungguhnya, adanya penderitaan bisa mengingatkan kita bahwa kita sedang menuju rumah sejati kita. Ketika Petrus menulis suratnya, ia menulis kepada jemaat yang sedang ditekan dan dianiaya. Namun ia mengajak mereka bergembira karena mereka sedang berjalan menuju warisan yang kekal, murni, tidak layu, dan tidak dapat dirusakkan.
Dunia dapat mengambil banyak hal dari kita—kesehatan, keamanan, ketenangan, pekerjaan, bahkan orang-orang yang kita kasihi. Tetapi dunia tidak dapat mengambil Kristus dari kita, dan tidak dapat mengambil kita dari tangan Kristus. Itulah sumber sukacita sejati dalam penderitaan: bahwa sekalipun dunia berubah dan tubuh kita semakin lemah, pengharapan kita tetap kokoh di hadapan Allah.
Ketika pencobaan datang, janganlah kita heran seolah-olah sesuatu yang aneh sedang terjadi. Sebaliknya, pandanglah penderitaan itu sebagai kesempatan untuk mengenal Tuhan lebih dalam, mengerti kehendak-Nya lebih jelas, dan mengalami pemeliharaan-Nya lebih nyata. Di tengah air mata, percayalah bahwa Tuhan sedang bekerja. Di tengah kehilangan, percayalah bahwa Ia tetap setia. Dan di tengah dukacita, percayalah bahwa sukacita sejati tidak pernah bergantung pada keadaan, tetapi pada Dia yang telah mati dan bangkit bagi kita.
Pada akhirnya, kebahagiaan dalam penderitaan bukanlah hasil kekuatan manusia. Kebahagiaan itu adalah karya Roh Kudus dalam hati orang percaya. Roh Kuduslah yang menuntun kita untuk memahami firman, yang memberi damai di tengah badai, dan yang menolong kita berkata, “Tuhan, kehendak-Mu yang jadi,” sekalipun jalan yang harus kita tempuh terasa berat.
Dengan pertolongan-Nya, kita dapat melangkah dengan keyakinan bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia bagi orang yang mengasihi Tuhan. Setiap luka membawa pelajaran, setiap air mata membawa penghiburan, dan setiap pencobaan membawa kita lebih dekat kepada kemuliaan yang telah disediakan bagi kita.
Doa Penutup:
Tuhan yang penuh kasih, kami mengangkat hati kami kepada-Mu dengan segala beban dan pergumulan yang kami alami. Engkau tahu setiap air mata, setiap kekhawatiran, dan setiap luka yang tersembunyi di dalam hati kami. Ajarlah kami untuk melihat penderitaan dengan mata iman, bukan dengan keputusasaan. Isi hati kami dengan sukacita yang berasal dari pengharapan akan keselamatan yang telah Engkau berikan melalui Kristus. Murnikan iman kami, kuatkan langkah kami, dan tuntun kami untuk tetap setia meskipun jalan hidup tidak selalu mudah. Kiranya Roh Kudus yang menghibur senantiasa menyertai kami dan menopang kami sampai akhirnya kami tiba di rumah kekal yang Engkau sediakan. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.
“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Roma 8:29
Tidak ada kerinduan yang lebih luhur bagi seorang percaya daripada menjadi seperti Kristus. Kita mungkin mengagumi sifat-Nya, kekudusan-Nya, kelembutan-Nya, ketegasan-Nya terhadap dosa, dan kasih-Nya kepada orang yang paling tidak layak. Tetapi kekaguman saja tidak pernah cukup. Kekaguman hanya menempatkan Yesus sebagai contoh; tetapi panggilan Allah adalah menjadikan Dia sebagai gambaran yang harus diwujudkan dalam hidup kita. Paulus menulis dengan tegas bahwa mereka yang dipilih Tuhan “ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Roma 8:29). Artinya, keserupaan dengan Kristus bukanlah pilihan tambahan, tetapi inti dari identitas orang percaya.
Namun, bagaimana kita memahami panggilan ini? Bukankah menjadi seperti Kristus terasa terlalu mulia bagi manusia yang rapuh, berdosa, dan sering jatuh dalam kegagalan? Bukankah perintah untuk menjadi seperti Dia—yang sempurna, tanpa dosa, tak bercacat—terdengar seperti sebuah tuntutan yang mustahil dipenuhi?
Justru di sinilah keindahan kasih karunia bekerja. Allah tidak memanggil manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak Ia sediakan kekuatannya. Ia tidak menuntut keserupaan itu melalui kemampuan manusia, tetapi melalui karya Roh Kudus yang diam di dalam orang percaya. Keserupaan dengan Kristus bukanlah hasil kerja keras manusia tanpa pertolongan; itu adalah buah dari penyerahan diri, ketaatan, dan perjalanan yang setia dalam bimbingan Roh.
Panggilan yang tidak otomatis
Roma 8:29 sering disalahpahami sebagai ayat yang membuat orang percaya bersikap pasif. “Kalau saya dipilih, pasti saya berubah.” Tetapi Alkitab justru menunjukkan bahwa pemilihan Allah tidak pernah meniadakan tanggung jawab manusia untuk berjalan dalam kebenaran. Karena itu Yesus berkata:
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku” (Matius 7:21).
Ayat ini hadir seperti tamparan yang membangunkan kita dari rasa aman palsu—bahwa mengakui Yesus, mengetahui doktrin yang benar, atau menjadi bagian dari komunitas Kristen tidak otomatis menjadikan seseorang serupa dengan Kristus.
Di sinilah keselarasan kedua ayat itu terlihat begitu jelas. Paulus menyatakan bahwa Allah menentukan orang pilihan untuk menjadi serupa dengan Anak-Nya. Yesus menyatakan bahwa hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa yang masuk dalam Kerajaan Sorga. Maka renungan ini membawa kita pada satu kesimpulan yang penting: orang pilihan adalah mereka yang hidupnya dikerjakan oleh Roh Kudus sehingga mampu melakukan kehendak Bapa.
Orang pilihan bukan hanya mereka yang didefinisikan oleh doktrin, tetapi oleh transformasi hidup. Bukan hanya yang memiliki pengakuan iman di bibir, tetapi ketaatan dalam tindakan. Bukan hanya yang mengetahui kebenaran, tetapi yang menyerahkan diri untuk dibentuk oleh kebenaran itu.
Mengapa keserupaan dengan Kristus tidak mungkin dicapai oleh kekuatan sendiri
Siapa yang bisa menjadi seperti Kristus? Jawabannya jelas: tidak seorang pun, kecuali Allah sendiri yang mengerjakannya dalam hati orang percaya. Kita tidak mampu menciptakan kasih seperti Kristus dengan kekuatan kita. Kita tidak mampu memadamkan keinginan daging dengan tekad manusia. Kita tidak mampu mengampuni musuh, menahan lidah, merendahkan diri, menjaga kekudusan, dan tetap setia di tengah pencobaan hanya dengan moralitas atau disiplin pribadi.
Jika keserupaan dengan Kristus hanya bergantung pada usaha manusia, maka semua orang, tanpa kecuali, akan gagal. Keserupaan itu adalah karya Roh Kudus. Ia yang menginsafkan, mengajar, menegur, menguatkan, memperbaharui, dan memampukan.
Ketika kita membaca Injil, kita melihat betapa sering murid-murid gagal: mereka salah mengerti, takut, lemah, bahkan menyangkal. Tetapi setelah Roh Kudus datang, mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang rela mati demi Injil. Ketika Roh Kudus bekerja, hal yang mustahil pun terjadi. Sifat manusiawi yang tidak mungkin memancarkan karakter Kristus tiba-tiba berubah bagaikan besi yang dimasukkan ke dalam api: besi tidak menjadi api, tetapi ia dipenuhi panas dan cahaya api. Demikian juga orang percaya tidak menjadi Allah, tetapi hidup mereka dipenuhi karakter Anak Allah.
Mengapa sebagian orang tidak pernah mengalami perubahan
Jika demikian, mengapa ada orang yang bertahun-tahun beribadah, bertumbuh dalam komunitas Kristen, tetapi tetap sama? Mengapa ada yang tahu begitu banyak tentang teologi tetapi hidupnya tidak pernah memantulkan kasih Kristus?
Jawabannya kembali pada panggilan Yesus dalam Matius 7:21: “melakukan kehendak Bapa-Ku”. Banyak orang berseru “Tuhan, Tuhan” tanpa benar-benar membuka hidupnya bagi karya Roh Kudus. Mereka mendengar firman, tetapi menolaknya. Mereka menerima pengajaran, tetapi tetap memelihara dosa tertentu. Mereka ikut pelayanan, tetapi hati tidak mau dibentuk. Mereka ingin keselamatan Kristus, tetapi menolak salib-Nya. Mereka ingin janji-Nya, tetapi menghindari disiplin-Nya.
Keserupaan dengan Kristus hanya terjadi pada orang yang mau berjalan menurut bimbingan Roh Kudus. Roh bekerja, tetapi manusia harus menyerah. Roh memimpin, tetapi manusia harus mengikuti. Roh menegur, tetapi manusia harus bertobat. Roh memberi kekuatan, tetapi manusia harus memilih taat.
Orang pilihan tidak ditandai oleh hidup yang tanpa dosa, tetapi oleh hati yang tidak mau hidup dalam dosa. Mereka mungkin jatuh, tetapi mereka tidak tinggal dalam kejatuhan. Mereka mungkin lemah, tetapi mereka kembali mencari pertolongan Roh. Mereka mungkin menangis, tetapi mereka tidak menyerah. Ada kerinduan yang konsisten dalam hati mereka: menjadi seperti Kristus.
Keserupaan dengan Kristus adalah perjalanan
Menjadi seperti Kristus bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah perjalanan yang berlangsung seumur hidup. Allah tidak menuntut kesempurnaan yang instan. Ia memanggil kita untuk berjalan bersama-Nya setiap hari, menjalani proses pemurnian yang kadang menyakitkan tetapi selalu membuahkan sukacita.
Perubahan itu bisa muncul perlahan—melunaknya hati, menurunnya kemarahan, meningkatnya kesabaran, bertumbuhnya pengampunan, kepekaan terhadap dosa, dan kasih yang semakin menyerupai Kristus. Orang luar mungkin tidak langsung melihat perubahan itu, tetapi Roh Kudus sedang bekerja di hati, membentuk dari dalam ke luar.
Dan pada akhirnya, keserupaan dengan Kristus bukanlah tentang apa yang kita capai, tetapi tentang siapa yang sedang membentuk kita.
Hidup di bawah bimbingan Roh Kudus
Bagaimana kita berjalan di dalam bimbingan Roh?
Pertama, dengan membuka firman setiap hari. Roh Kudus memakai firman untuk mengarahkan, memperbaiki, dan membentuk hati. Tanpa firman, kita berjalan tanpa kompas.
Kedua, dengan memelihara kepekaan hati melalui doa. Doa bukan hanya meminta, tetapi membiarkan Tuhan berbicara dan membentuk kehendak kita agar selaras dengan kehendak-Nya.
Ketiga, dengan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus. Orang yang dipimpin Roh adalah orang yang cepat bertobat ketika ditegur, bukan cepat membela diri.
Keempat, dengan ketaatan kecil sehari-hari. Terkadang keserupaan dengan Kristus tidak muncul dari keputusan besar, tetapi dari kebiasaan kecil: memilih jujur, memilih mengampuni, memilih mengalah, memilih berkata benar, memilih berlaku lembut.
Jadi, siapa yang bisa menjadi seperti Kristus? Bukan mereka yang kuat, pintar, atau berbakat. Bukan mereka yang paling disiplin atau paling religius. Jawabannya sederhana dan sekaligus dalam:
Orang pilihan—yaitu mereka yang mau berjalan menurut bimbingan Roh Kudus.
Mereka yang menyerahkan diri untuk dibentuk oleh firman.
Mereka yang memilih taat dan setia walau terasa berat.
Mereka yang membuka hati untuk ditegur, dibentuk, dan diperbaharui.
Mereka yang mau berkata setiap hari: “Tuhan, aku ingin menjadi seperti Kristus. Pimpinlah aku.”
Dan bagi mereka inilah, janji Roma 8:29 menjadi kenyataan—Allah sedang, dan akan terus, membentuk mereka menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.
Kiranya renungan ini menolong kita menyerahkan diri lebih dalam kepada karya Roh Kudus, sebab hanya Dialah yang mampu membuat kita menjadi seperti Kristus.
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Matius 5:44
Daftar panjang koreksi atas pedoman hidup orang Yahudi yang Yesus lakukan dalam pasal 5 diakhiri dengan ayat yang satu ini. Para pendengar-Nya telah tumbuh di bawah ajaran yang sebagian memang benar tapi bisa menyesatkan. Firman Tuhan memang memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Imamat 19:18). Namun, tampaknya para pemimpin agama juga mengajarkan bahwa membenci musuh diperbolehkan—bahkan mungkin wajib (Matius 5:43). Yesus kembali menyatakan bahwa adalh maksud Allah agar kebenaran umat-Nya melampaui keegoisan dan legalisme. Ini menyiratkan sesuatu yang jauh lebih sulit untuk dilakukan karena itu menuntut kita untuk bisa menyerupai Allah sendiri.
Alih-alih hanya bertindak dalam kasih terhadap sesama, Yesus memberi tahu murid-murid-Nya untuk mengasihi musuh mereka dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya mereka. Meskipun hanya sedikit orang yang mengamalkannya secara bermakna, gagasan ini telah tertanam kuat dalam budaya modern. Banyak orang zaman ini yang telah mendengar ajaran ini, atau variasinya, sepanjang hidup mereka; walaupun mereka mungkin memandangya sebagai “teori” yang indah. Hal itu membuat kita mudah melupakan betapa radikalnya ajaran tersebut pada saat Yesus mengucapkannya, terutama bagi mereka yang hidup dengan ancaman musuh bebuyutan setiap hari, seperti halnya bangsa Israel abad pertama.
Di satu sisi, menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi membawa manfaat. Roma biasanya tidak menghancurkan mereka yang mereka taklukkan—sebaliknya, mereka memberikan kebebasan relatif dengan serangkaian syarat. Israel tetap berfungsi sebagai Israel dalam banyak hal, dan mereka mengalami suatu bentuk perdamaian di bawah kekuasaan Romawi. Meskipun demikian, Roma memerintah bangsa-bangsa yang ditaklukkan secara absolut dan keras. Perbedaan pendapat di luar batas yang ditetapkan dihukum dengan kejam. Penyaliban adalah hal yang biasa dan brutal. Tentara Romawi menikmati hak istimewa dan mengambil kebebasan dengan warga negara Yahudi di bawah kendali mereka. Beban pajak Romawi membuat banyak orang hampir jatuh miskin. Wajar jika orang Yahudi memandang Roma sebagai musuh mereka. Seperti bangsa Indonsia sebelum 1945, bangsa Israel ingin untuk merdeka dari penjajahan.
Namun, seseorang yang lahir di kandang domba di Betlehem dan kemudian dianggap oleh banyak orang sebagai Mesias, Juruselamat yang seharusnya membebaskan Israel dari musuh-musuhnya, baru saja memerintahkan murid-murid-Nya untuk mengasihi dan mendoakan musuh-musuh mereka. Lebih buruk lagi, Ia menyamakan hal ini dengan kehidupan benar yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Hal ini cukup sulit dipahami sampai sekarang, tetapi ketika kata-kata itu pertama kali diucapkan, pastilah akan mengejutkan.
Ayat di atas bisa diterjemahkan sebagai “Tidak ada orang yang patut kita benci”. Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersimpan panggilan yang paling menantang dalam kehidupan umat percaya. Ketika Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” , Ia tidak sedang memberikan sebuah opsi spiritual yang hanya berlaku bagi mereka yang sudah “lebih rohani.” Ia sedang membuka jantung ajaran Kerajaan Allah: bahwa kasih tidak pernah berhenti pada batas-batas manusiawi kita, dan bahwa kebencian kepada sesama manusia bukanlah ruang yang boleh dihuni oleh murid-murid-Nya.
Kasih yang diajarkan Alkitab bukanlah emosi manis yang muncul secara otomatis. Kasih itu bukan kesukaan, bukan persetujuan, bukan pula toleransi tanpa arah. Kasih yang dimaksud Yesus adalah keputusan untuk memandang sesama—bahkan yang menyakiti kita—sebagai ciptaan yang berharga di hadapan Allah. Namun, kasih ini tidak pernah menyamakan orang dengan dosanya. Firman Tuhan konsisten mengajar bahwa “mencintai orang berdosa” tidak berarti kita ikut merangkul, menikmati, atau menyetujui dosa yang mereka lakukan. Kita dapat memegang teguh nilai-nilai kebenaran, sambil tetap menegakkan kasih terhadap pribadi yang mungkin telah gagal, tersesat, atau menyakiti kita.
Bahkan, kasih sejati sering kali justru lahir dari ketegangan itu—antara menghargai seseorang sebagai ciptaan Allah, tetapi membenci tindakan yang merusak, menghancurkan, atau melukai diri sendiri dan orang lain. Kita dapat menolak perilaku yang salah, sambil tetap mendoakan pemulihan pelakunya. Kita dapat berkata “tidak” terhadap dosa, sambil tetap mengatakan “ya” terhadap kemungkinan seseorang berubah oleh anugerah Tuhan. Kasih semacam inilah yang membuat Yesus berdoa bagi mereka yang menyalibkan-Nya.
Menerapkan Matius 5:44 bukanlah perkara mudah ketika musuh yang dimaksud bukan sekadar orang yang tidak sepaham dengan kita, tetapi orang yang benar-benar melukai, merendahkan, atau melecehkan kita. Luka seperti itu menyentuh bagian terdalam dari martabat manusia, dan Tuhan tidak menuntut kita untuk memungkiri rasa sakit itu. Ayat ini tidak pernah berarti bahwa kita harus pura-pura tidak terluka, pura-pura semuanya baik-baik saja, atau bahkan membiarkan pelaku terus berbuat jahat. Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk mencintai dosa; Ia memerintahkan kita untuk mengasihi orangnya, sambil membenci tindakan yang menghancurkan itu. Bagaimana kita bisa melakukannya?
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa kasih yang diperintahkan Yesus dalam ayat ini bukanlah rasa sentimental yang lembut, bukan perasaan hangat, dan bukan penerimaan tanpa syarat terhadap perilaku jahat. Kasih yang dimaksud adalah tindakan rohani: sebuah keputusan untuk menyerahkan orang itu ke dalam tangan Tuhan—bukan tangan kebencian kita. Mendoakan orang yang menganiaya kita berarti berkata, “Tuhan, Engkaulah Hakim yang adil. Bukan aku. Aku serahkan luka dan keadilan ini kepada-Mu.” Ini bukan pengampunan murahan; ini adalah penyerahan diri kepada keadilan Allah yang sempurna.
Kedua, mengasihi musuh berarti tidak menginginkan mereka binasa dalam dosa mereka. Kebencian selalu menginginkan kehancuran seseorang. Kasih yang datang dari Roh Kudus bekerja sebaliknya: ia ingin bahkan orang yang jahat berubah, bertobat, dan menemukan keselamatan. Kita boleh membenci pelecehan itu dengan seluruh keberadaan kita—bahkan Tuhan sendiri membencinya lebih dari kita—tetapi kita tidak dibiarkan menginginkan neraka bagi siapa pun. Neraka adalah akhir yang terlalu tragis, bahkan bagi seseorang yang telah menyakiti kita dalam kehidupan ini. Ketika kita berkata, “Aku tidak ingin dia masuk neraka,” itu bukan berarti kita menyetujui dosanya; itu berarti kita memahami hati Allah. Tuhan “tidak menghendaki seorang pun binasa” (2 Petrus 3:9). Dan ketika kita berdoa agar pelaku bertobat, berubah, atau dihentikan oleh Tuhan dari perbuatannya, kita sebenarnya sedang bekerja sama dengan kerinduan hati Allah sendiri.
Ketiga, mengasihi musuh tidak berarti berhubungan kembali, berdamai secara sosial, atau membuka diri untuk disakiti lagi. Mengampuni tidak sama dengan mengizinkan seseorang masuk kembali ke dalam hidup kita. Mendoakan seseorang bukan berarti menghapus batasan; justru sering kali itu berarti menetapkan batasan yang lebih sehat. Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi, tetapi Ia juga memberikan kebijaksanaan untuk menjaga diri. Kasih dalam Matius 5:44 tidak meniadakan perlindungan diri.Justru, untuk dapat mengampuni dan melepaskan kepahitan, kita sering memerlukan jarak, perlindungan, bahkan proses penyembuhan yang panjang.
Keempat, kasih kepada musuh yang menyakiti kita selalu dimulai dengan memohon kuasa Roh Kudus. Tidak seorang pun mampu melakukan ini dengan kekuatan manusia. Ini adalah pekerjaan ilahi di dalam hati manusia yang rapuh. Ketika kita mengatakan, “Tuhan, aku tidak sanggup mengasihi orang ini. Tetapi aku tidak ingin hatiku menjadi rusak oleh kebencian. Tolong aku untuk menyerahkan dia kepada-Mu,” maka kita sudah sedang menaati perintah Yesus. Kasih seperti ini tidak diukur dari perasaan yang muncul, tetapi dari kesediaan untuk tidak membalas, tidak mendoakan keburukan, dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Kelima, perlahan-lahan kita akan menemukan bahwa kasih kepada musuh bukan pertama-tama tentang karena mereka layak dikasihi, tetapi karena kita sendiri telah dikasihi Tuhan ketika kita tidak layak. Kita pernah menjadi musuh Allah, namun diselamatkan. Dari pengalaman itu, lahir kemampuan untuk berkata, “Tuhan, biarlah anugerah-Mu juga menyentuh orang itu—entah melalui pertobatan, teguran, kebenaran, atau menghentikan perbuatannya.”
Pada akhirnya, kasih kepada orang lain—termasuk kepada mereka yang menyakiti kita—adalah cermin apakah kita sudah benar-benar mengasihi Tuhan. Tidak seorang pun patut kita benci, bukan karena mereka selalu benar, tetapi karena Tuhan selalu benar. Tuhan memanggil kita untuk membenci dosa, tetapi tidak pernah memerintahkan kita untuk membenci manusia. Dan di antara kedua kebenaran itu, kita belajar bahwa kasih adalah jalan yang paling sukar sekaligus paling indah, jalan yang membawa kita semakin dekat kepada hati Allah sendiri.
Namun, Alkitab tidak berhenti di situ. Kasih yang benar selalu menempatkan Tuhan sebagai pusat. Ketika Yesus berkata bahwa siapa pun yang mengasihi ayah, ibu, atau anaknya lebih daripada Dia tidak layak menjadi murid-Nya, Ia sedang menunjukkan bahwa kasih manusiawi, betapapun pentingnya, tidak boleh merampas posisi Tuhan sebagai sumber utama cinta. Bila kasih kita kepada manusia tidak lahir dari kasih kepada Tuhan, kasih itu akan mudah berubah menjadi kebanggaan, ketergantungan, atau bahkan idolatri. Hanya ketika Tuhan menjadi prioritas, kita mampu mengasihi orang lain dengan benar—bukan berdasarkan kepentingan diri sendiri, bukan berdasarkan keinginan untuk mendapat balasan, tetapi berdasarkan karakter kasih-Nya yang tetap.
Dan di sinilah tantangan terbesar itu berada: kita tidak dapat mengklaim bahwa kita mengasihi Tuhan bila kebencian masih memerintah di dalam hati kita. Rasul Yohanes menyatakannya dengan tegas: bagaimana mungkin seseorang berkata ia mengasihi Allah yang tidak dapat ia lihat, sementara ia membenci saudaranya yang dapat ia lihat? Bagi Alkitab, kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama bukanlah dua perintah yang terpisah, melainkan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kasih kepada sesama adalah bukti nyata cinta kepada Tuhan. Tidak ada ruang abu-abu di antara keduanya.
Maka ketika kita menyimpan kebencian terhadap seseorang—entah karena konflik lama, luka masa lalu, atau perbedaan yang tidak pernah didamaikan—sesungguhnya kita sedang memutus aliran kasih Allah dalam hidup kita. Kebencian bukan hanya memenjarakan orang lain, tetapi juga memenjarakan kita sendiri. Ia mengaburkan mata rohani, merampas kedamaian, dan menciptakan jarak antara diri kita dan Tuhan. Sebaliknya, ketika kita memilih mengasihi, bahkan saat itu terasa pahit dan berat, kita sedang membuka pintu bagi Roh Kudus untuk bekerja menyembuhkan, memulihkan, dan membentuk kita menjadi seperti Kristus.
Kasih dalam Alkitab bukanlah perasaan lembut yang harus muncul terlebih dahulu. Kasih adalah keputusan untuk taat. Kita mengasihi karena Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kita. Kita mengasihi karena itu mencerminkan siapa Allah itu. Kita mengasihi karena di sanalah kehadiran Kristus dinyatakan melalui hidup kita. Kita mengasihi bukan karena orang lain layak menerima kasih itu, tetapi karena Tuhan layak untuk ditaati.
Pada akhirnya, membenci kejahatan sambil tetap menginginkan keselamatan bagi pelaku bukanlah kelemahan. Itu adalah kekuatan spiritual yang hanya dimiliki anak-anak Tuhan. Itulah wajah kasih Yesus di kayu salib: membenci dosa sampai mati karenanya, tetapi tetap berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka.” Dan di situlah kita menemukan kedamaian yang sesungguhnya—bukan karena pelaku berubah, tetapi karena hati kita tidak lagi dikuasai oleh kebencian, melainkan oleh Tuhan.