Pentingnya delegasi dalam pelayanan di masa depan

“Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan.” Matius‬ ‭10‬:‭1‬‬

Ada satu momen yang begitu menentukan dalam pelayanan Yesus di bumi—momen ketika Ia memanggil kedua belas murid, memberi mereka kuasa, dan mengutus mereka berdua-dua. Matius 10:1–15 mencatat bagaimana Yesus memanggil mereka satu per satu, memberikan otoritas untuk mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan segala penyakit, lalu mengutus mereka untuk memberitakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat. Ini adalah titik balik penting: Yesus tidak lagi melakukan semua pekerjaan seorang diri, tetapi mulai memperluas pelayanan-Nya melalui orang-orang yang Ia latih.

Sering kali kita membaca bagian ini hanya sebagai kisah “pengutusan murid”, tetapi sesungguhnya ini adalah pelajaran emas tentang delegasi. Yesus, yang memiliki kuasa ilahi dan tidak terbatas, memilih untuk melibatkan manusia yang penuh kelemahan. Ia tidak membutuhkan mereka—tetapi Ia memilih untuk memakai mereka. Di sini, delegasi bukan sekadar strategi kepemimpinan, melainkan bagian dari cara Allah bekerja dalam sejarah: Ia memberkati, lalu Ia mengutus; Ia memperlengkapi, lalu Ia memercayakan; Ia memimpin, tetapi Ia juga membiarkan orang lain turut ambil bagian di masa sekarang maupun masa depan.

Yesus mengetahui batasan fisik manusia ketika Ia mengambil rupa sebagai manusia. Namun lebih dari itu, Ia ingin para murid mengalami pertumbuhan melalui keterlibatan, bukan hanya pengamatan. Ia bisa saja menjangkau seluruh kota sendirian dengan kuasa-Nya, tetapi Ia memilih menjangkau dunia melalui para murid—dan melalui gereja dari generasi ke generasi.

Delegasi Yesus bukan karena Ia tidak mampu, melainkan karena Ia ingin membentuk murid menjadi pemimpin di masa depan. Ia tahu bahwa pertumbuhan rohani sering terjadi ketika seseorang diberi tanggung jawab. Ada kedewasaan yang tidak dapat dibentuk hanya lewat pengajaran, tetapi harus ditempa melalui praktek. Ketika seseorang melangkah seperti burung muda yang keluar dari sarangnya, mencoba terbang, menghadapi tantangan, gagal, bangkit lagi, dan ia melihat kuasa Allah bekerja di tengah keterbatasannya—di situlah orang itu ditempa menjadi dewasa.

Yesus mendelegasikan karena Ia melihat masa depan. Ia tahu bahwa setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya, Injil harus terus diberitakan hingga ke ujung bumi. Tanpa delegasi, tidak akan ada penginjilan global. Tanpa delegasi, gereja tidak pernah lahir.

Di zaman sekarang, delegasi juga merupakan hal yang sangat penting dalam tiap keluarga, organisasi, gereja dan badan pemerintahan. Dalam delegasi, mereka yang lebih muda atau lebih junior diberi penguatan (empowerment) dari yang lebih tua atau lebih senior agar mereka bisa berdiri sendiri di masa depan. Ini juga merupakan bagian dari proses transisi yang sehat dalam semua bentuk persekutuan umat manusia.

Namun kenyataannya, delegasi bukan perkara mudah. Banyak pemimpin—baik di pelayanan, di keluarga, dalam pekerjaan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari—sering gagal mendelegasikan. Alasannya beragam, dan menariknya, alasan-alasan itu muncul dari hati manusia yang rapuh.

Ada pemimpin yang berkata, “Saya tidak punya waktu untuk melatih orang lain.” Ironisnya, mereka justru akan kelelahan karena mengerjakan semua seorang diri. Orang seperti ini lupa bahwa melatih orang membutuhkan waktu di awal, tetapi menghemat banyak waktu di kemudian hari.

Ada pula mentalitas “kalau mau hasil yang bagus, ya lakukan sendiri.” Ini adalah bentuk perfeksionisme yang sering kali tidak sehat. Ia menolak menerima variasi cara, gaya, dan kualitas, padahal orang lain dapat diajar dan ditumbuhkan.

Beberapa pemimpin merasa bahwa jika mereka menyerahkan tugas, mereka kehilangan kendali. Delegasi dianggap sebagai ancaman terhadap posisi mereka. Ada pula yang berpikir, “Saya bisa mengerjakan lebih baik daripada dia.” Betul—setidaknya sementara. Tetapi jika itu menjadi alasan selamanya, orang lain tidak akan pernah berkembang dan organisasi apa pun akan mundur karenanya.

Sebagian pemimpin bahkan terlalu keras kepala atau sombong untuk meminta bantuan. Mereka ingin terlihat kuat, tidak butuh orang lain, tidak ingin menunjukkan kelemahan. Dalam gereja, ada yang takut jika orang lain melakukan pekerjaan lebih baik daripada mereka—dan ketakutan itu menyingkap bahwa mereka melayani bukan demi kemuliaan Tuhan, tetapi demi citra diri.

Masalah lainnya adalah kurangnya kepercayaan kepada kemampuan orang lain. Pemimpin yang demikian cenderung untuk menghindari perubahan karena terlalu takut mengambil risiko. Ia selalu berusaha mengontrol bawahannya. Ia lupa bahwa setiap murid, sebelum menjadi matang, pasti melewati masa-masa kaku, ragu-ragu, belajar dari kesalahan, dan membutuhkan kesempatan untuk terbang solo. Pemimpin yang tidak memikirkan masa depan dan pergantian posisi adalah orang yang egois dan kurang bijaksana.

Jika Yesus saja mempercayakan kuasa ilahi kepada murid-murid yang masih ragu-ragu, emosional, dan belum stabil sepenuhnya, bagaimana mungkin kita menuntut kesempurnaan mutlak dari orang yang akan kita delegasikan?

Di sisi lain, delegasi sering gagal bukan hanya karena pemimpin enggan menyerahkan tugas, tetapi juga karena penerima delegasi tidak melaksanakannya dengan baik. Ini pun terlihat dalam perjalanan para murid. Ada masa ketika mereka tidak berhasil mengusir roh jahat, ada ketika mereka saling iri hati, ada ketika mereka salah memahami misi Yesus.

Seseorang bisa gagal menjalankan tugas yang diberikan karena ia tidak memahami instruksi dengan jelas. Ia mungkin tidak merasa memiliki tugas itu—sekadar melanjutkan pekerjaan orang lain, bukan sebagai panggilan pribadi. Ada yang gagal karena takut, kurang percaya diri, kurang dihargai, atau tidak mau menanggung risiko. Ada pula yang tergoda menyimpang dari misi utama, sibuk dengan hal-hal lain yang kelihatan lebih menarik.

Kegagalan ini bukan alasan untuk berhenti mendelegasikan. Bahkan Yesus, yang sempurna, memiliki murid-murid yang tidak selalu berhasil. Namun Ia tetap memberi mereka kesempatan. Ia menegur, tetapi Ia tidak mencabut mandat itu. Delegasi adalah proses membentuk orang, bukan hanya memindahkan pekerjaan.

Delegasi sebagai Bagian dari Kerajaan Allah

Ketika Yesus mengutus kedua belas murid, Ia sebenarnya sedang menunjukkan model kepemimpinan Kerajaan Allah: kepemimpinan yang membangun orang lain, bukan kepemimpinan yang menumpuk kekuasaan pada satu individu atau hidup di masa lalu. Dalam dunia, banyak pemimpin takut kehilangan posisi atau penghormatan orang lain. Tetapi dalam Kerajaan Allah, pemimpin sejati justru ingin orang lain bertumbuh dan menjadi lebih baik. Pergantian generasi adalah salah satu tugas mulia seorang pemimpin.

Delegasi yang benar bukan sekadar membagi tugas, tetapi membagi kepercayaan. Itulah yang Yesus lakukan. Ia memberi kuasa, bukan hanya perintah. Ia memberikan visi yang jelas, bukan hanya daftar tugas. Ia membekali dengan pengajaran, tetapi juga dengan pengalaman langsung di lapangan.

Tugas yang didelegasikan kepada murid-murid itu bukan hal yang kecil. Mereka diutus untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menyucikan orang kusta, dan mengusir setan. Ini adalah bentuk delegasi yang luar biasa. Yesus memberikan kepada mereka sebagian dari pekerjaan inti pelayanan-Nya. Mereka menjadi perpanjangan tangan Sang Mesias.

Pagi ini kita membaca bahwa delegasi bukan tanda kelemahan, melainkan tanda hikmat. Delegasi bukan kehilangan kendali, melainkan memperluas hasil. Delegasi bukan sekadar memindahkan beban, tetapi membangun generasi penerus. Dan delegasi bukan hanya strategi manajemen, tetapi bagian dari misi Kristus untuk membentuk murid, bukan penonton.

Jika Yesus mempercayakan pelayanan kepada murid-murid yang masih belajar, tidakkah kita pun harus belajar mempercayakan tugas kepada orang lain?

Pelayanan akan mandek jika hanya bergantung pada satu orang. Tetapi pelayanan akan berkembang ketika setiap orang diberi kesempatan untuk melayani sesuai panggilan dan karunia yang Tuhan berikan.

Semoga kita belajar dari Sang Guru Agung—pemimpin yang tidak hanya bekerja, tetapi juga membangun pekerja; yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mengutus; yang tidak hanya berkhotbah, tetapi juga mendelegasikan.

Tuhan menolong kita menjadi pemimpin yang mempersiapkan orang lain, bukan pemimpin yang menutupi mereka. Sebab Kerajaan Allah adalah kerajaan di mana semua orang dipanggil untuk melayani. Tuhan mengutus, dan kita pun harus belajar mengutus. Karena di situlah letak pertumbuhan, pembaruan, dan berkat yang melimpah.

“Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”2 Timotius‬ ‭3‬:‭17‬‬

Jalan menuju kemuliaan menurut Yesus

“Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.” Lukas 22:26

Di sepanjang sejarah manusia, perebutan kuasa adalah sesuatu yang terus berulang. Dari istana kerajaan di masa kuno hingga ruang rapat modern, manusia selalu berjuang untuk menjawab satu pertanyaan yang sama: Siapa yang terbesar? Pertanyaan itu muncul dalam banyak bentuk—siapa yang berpengaruh, siapa yang paling penting, siapa yang harus didengar, siapa yang harus mendapat tempat terhormat. Kadang-kadang kita bahkan tidak menyadari bahwa kita sendiri ikut terlibat dalam dinamika yang sama, baik di tempat kerja, dalam komunitas, maupun dalam lingkup rohani.

Menariknya, pergumulan seperti itu tidak hanya terjadi di dunia sekuler, tetapi juga pernah muncul di antara para murid Yesus. Pada malam ketika Yesus sedang mempersiapkan diri menuju salib—momen yang menjadi pusat keselamatan manusia—para murid justru sedang berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka melihat Yesus melakukan banyak hal yang luar biasa, dan mereka mungkin berpikir bahwa kerajaan duniawi akan segera datang. Dalam bayangan mereka, kedudukan dalam kerajaan itu harus ditentukan sejak sekarang. Namun Yesus melihat lebih dalam daripada sekadar perdebatan mereka. Ia melihat hati yang masih dipengaruhi ambisi dunia, hati yang belum sepenuhnya memahami siapa Tuhan yang sedang mereka ikuti.

Yesus lalu berbicara tentang raja-raja bangsa-bangsa dan cara mereka memerintah rakyat. Mereka memegang kuasa sebagai alat untuk menunjukkan kekuatan, membuat orang tunduk, dan memberi jarak antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Kepada orang-orang seperti itu, masyarakat memberikan gelar “pelindung”—suatu sebutan yang terdengar mulia namun sering kali lebih menggambarkan prestise daripada pelayanan. Dan di tengah gambaran itu, Yesus meletakkan sebuah garis demarkasi yang sangat tegas, sebuah kalimat yang benar-benar membedakan cara berpikir murid-murid-Nya dari cara berpikir dunia: “Tetapi kamu tidaklah demikian.”

Tiga kata itu mengubah segalanya. Yesus tidak hanya memberikan nasihat moral; Ia membangun ulang pandangan mereka tentang kepemimpinan, kebesaran, dan kemuliaan. Pernyataan itu seperti sebuah pintu yang memisahkan dua kerajaan—kerajaan dunia dan Kerajaan Allah. Yang satu mengangkat diri, yang satu merendahkan diri. Yang satu ingin dilayani, yang satu ingin melayani. Yang satu mengejar kehormatan, yang satu justru meninggalkan kehormatan demi kasih.

Yesus lalu menyampaikan pernyataan yang begitu radikal sehingga terus mengguncang pemikiran manusia sampai hari ini: “Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi seperti yang paling muda.” Dalam budaya Timur Dekat pada zaman itu, yang paling muda bukan sekadar lebih kecil, tetapi juga yang paling tidak memiliki hak dan kehormatan. Ia bukan pusat perhatian, melainkan orang yang ditugaskan mengerjakan hal-hal sepele. Tetapi Yesus berkata bahwa di Kerajaan-Nya, itulah posisi yang paling layak bagi orang yang ingin menjadi besar.

Yesus tidak hanya mengajarkan kalimat itu; Ia menjalankannya. Seluruh hidup-Nya adalah perwujudan dari kerendahan hati yang sempurna. Ia yang sejak kekal bersama Bapa turun menjadi manusia. Ia yang menciptakan alam semesta lahir sebagai bayi tak berdaya. Ia yang disembah malaikat tumbuh di sebuah desa kecil dan bekerja sebagai tukang kayu. Ia yang berhak memerintah semua bangsa justru menjalin persahabatan dengan orang-orang sederhana—nelayan, pemungut cukai, perempuan-perempuan yang tersisih, dan orang-orang yang dianggap tidak layak oleh masyarakat.

Dalam setiap langkah hidup-Nya, Yesus menunjukkan bahwa kemuliaan sejati tidak ditemukan melalui kedudukan, tetapi melalui karakter. Ia tidak pernah membangun bala tentara. Ia tidak memiliki istana. Ia tidak mengumpulkan kekayaan. Tetapi dunia berubah melalui hidup-Nya, karena kerendahan hati-Nya memancarkan wibawa yang tidak bisa dipalsukan. Inilah paradoks Kerajaan Allah: semakin seseorang merendahkan diri, semakin terang kemuliaan Allah tampak dalam dirinya.

Ketika hari-hari pelayanan Yesus mendekati puncaknya, Ia mengambil tindakan yang semakin menegaskan prinsip ini. Pada malam sebelum penyaliban, Ia bangkit dari meja, mengambil sebuah kain, mengikatkan pada pinggang-Nya, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya. Dalam budaya pada zaman itu, membasuh kaki adalah tugas budak, bukan guru. Tetapi Yesus melakukannya bukan karena Ia sedang ingin membuat drama rohani, tetapi karena itulah jati diri-Nya sebagai Tuhan yang melayani. Ia ingin murid-murid-Nya melihat bahwa jalan menuju kebesaran terletak pada kerelaan hati untuk turun ke tempat terendah.

Paradoks ini juga berlaku dalam kehidupan orang percaya sekarang. Dunia modern mungkin sudah berubah, tetapi dinamika hati manusia tidak berubah. Kita masih ingin dianggap penting. Kita masih ingin didengar. Kita masih ingin dihormati. Kadang, bahkan dalam pelayanan gereja, ambisi tersembunyi bisa muncul: ingin dikenal sebagai pemimpin yang disegani, pelayan yang dipuji, atau sosok yang memiliki pengaruh. Namun Yesus berkata bahwa jika kita ingin mengikuti Dia, kita harus mengambil sikap seperti yang paling muda—bukan karena kita tidak berharga, tetapi karena dalam kerendahan hati, kita mengakui bahwa segala sesuatu adalah anugerah.

Kerendahan hati yang Yesus ajarkan bukanlah sikap merendahkan diri secara berlebihan atau berbicara dengan cara yang tampak lembut tetapi tidak tulus. Kerendahan hati sejati lahir dari hati yang telah disentuh oleh salib Kristus. Ketika seseorang menyadari bahwa ia diselamatkan bukan karena kehebatannya, tetapi hanya oleh kasih karunia, maka ia tidak lagi perlu membuktikan diri. Ia bebas untuk melayani tanpa takut tidak dihargai. Ia bebas untuk memimpin tanpa harus memperjuangkan kehormatan. Ia bebas untuk merendahkan diri karena ia tahu bahwa martabatnya berasal dari Kristus, bukan dari pujian manusia.

Di dunia yang selalu mengejar prestise, kerendahan hati mungkin terlihat seperti kelemahan. Namun dalam terang Injil, itulah kekuatan sejati. Pemimpin terbesar bukanlah orang yang paling banyak memerintah, tetapi orang yang paling banyak berkorban. Orang yang benar-benar kuat bukanlah yang berhasil menundukkan banyak orang, tetapi yang berhasil menaklukkan dirinya sendiri. Dan orang yang terbesar dalam Kerajaan Allah bukanlah yang paling banyak ditinggikan, tetapi yang paling rela merendahkan diri.

Pada akhirnya, renungan tentang kerendahan hati ini membawa kita kembali kepada salib. Di sana kita melihat Anak Allah yang merendahkan diri setinggi-tingginya dan serendah-rendahnya pada saat yang sama. Di sana kita melihat kemuliaan dan kehinaan bertemu. Di sana kita melihat betapa besar kasih Kristus bagi manusia. Dan ketika kita memandang salib itu, kita menjadi sadar bahwa satu-satunya jalan menuju kemuliaan sejati adalah mengikuti jejak-Nya: berjalan dengan rendah hati, melayani dengan kasih, dan mengutamakan orang lain lebih daripada diri sendiri. Kita tahu bahwa itulah apa yang dituntut Tuhan atas umat-Nya yang setia dalam kesederhanaan.

“Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Matius‬ ‭25‬:‭23‬‬

Doa Penutup:

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah menunjukkan kepada kami jalan menuju kebesaran yang sejati. Ajarlah kami untuk meneladani kerendahan hati-Mu. Bebaskan kami dari ambisi yang tidak perlu, dari keinginan untuk ditinggikan, dan dari dorongan untuk mencari penghormatan. Bentuklah hati kami agar semakin menyerupai hati-Mu, sehingga kami dapat memimpin dengan semangat seorang hamba dan melayani dengan kasih yang tulus. Jadikanlah hidup kami cerminan dari karakter-Mu, agar dunia dapat melihat terang-Mu melalui sikap kami. Dalam nama-Mu kami berdoa. Amin.

Hal melupakan dan mengampuni kesalahan orang lain

“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”Efesus‬ ‭4‬:‭32‬‬

“Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Yesaya‬ ‭43‬:‭25‬‬

Ada satu pergumulan yang hampir semua orang alami dalam hidup—pergumulan untuk mengampuni. Setiap kita pernah disakiti, dikhianati, disalahpahami, atau dilukai oleh orang yang kita percaya. Ada perkataan yang tidak pernah bisa ditarik kembali. Ada sikap yang meninggalkan bekas dalam. Dan ada tindakan yang melukai jauh lebih dalam daripada yang terlihat dari luar. Dalam situasi seperti itu, mengampuni terasa seperti beban yang terlalu berat.

Sementara itu, melupakan kesalahan orang lain terasa hampir mustahil. Ingatan manusia tidak bekerja seperti tombol “hapus.” Luka yang dalam bisa menyimpan memori yang kuat, bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu. Seseorang dapat mencoba mengabaikan, menyibukkan diri, atau memaksa diri untuk melupakan, tetapi memori tetap bertahan. Tidak heran banyak orang berkata, “Saya bisa mengampuni, tapi saya tidak bisa melupakan.” Kenyataannya, baik mengampuni maupun melupakan bukan perkara ringan—dan memang, keduanya tidak alami bagi hati manusia.

Namun Firman Tuhan memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, ia memberikan sebuah perintah yang tampaknya sederhana tetapi memiliki kedalaman rohani yang luar biasa: “Hendaklah kamu ramah … penuh kasih mesra … dan saling mengampuni.” Tetapi ia tidak berhenti di sana. Ia memberi alasan yang menjadi fondasi dari segala pengampunan Kristen: “sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Artinya, kita diundang untuk mengampuni karena kitalah orang-orang yang terlebih dahulu diampuni.

Yesaya menambahkan sesuatu yang bahkan lebih menakjubkan. Allah berkata: “Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Bukan hanya mengampuni, tetapi juga tidak mengingat-ingat. Bagi manusia, melupakan itu sulit. Tetapi bagi Allah, melupakan bukan berarti kehilangan memori, melainkan keputusan untuk tidak lagi memperhitungkan kesalahan kita. Ini bukan pelupaan mental, tetapi pelupaan moral—keputusan penuh kasih untuk tidak lagi menjadikan dosa itu sebagai penghalang dalam hubungan-Nya dengan kita.

Perbedaan inilah yang sering kali membuat kita terjebak dalam kebingungan: apakah mengampuni berarti harus lupa? Apakah mengampuni berarti membiarkan kesalahan terulang? Apakah mengampuni berarti memaksa hati untuk tidak merasakan sakit lagi? Firman Tuhan menunjukkan bahwa pengampunan adalah tindakan yang berakar pada kasih, tetapi bukan berarti kita menghapus memori luka; melainkan membiarkan kasih Kristus mengubah cara kita memandang luka itu.

Mengampuni adalah keputusan spiritual. Kita mengampuni karena kita memilih berjalan dalam jalan Kristus, bukan karena rasa sakit sudah hilang. Kita mengampuni karena Roh Kudus bekerja di dalam kita, bukan karena ingatan kita tiba-tiba bersih. Kita mengampuni karena kita pernah menerima pengampunan yang jauh lebih besar daripada kesalahan apa pun yang dilakukan orang kepada kita.

Namun mengampuni adalah satu hal; melupakan adalah hal yang lain. Keduanya terkait tetapi tidak identik. Mengampuni adalah tindakan hati. Melupakan adalah proses penyembuhan yang terjadi seiring waktu—dan sering kali hanya terjadi ketika luka sudah dipulihkan oleh kasih Kristus.

Seseorang mungkin tidak dapat melupakan hari ini, tetapi ketika kasih Kristus memenuhi hatinya, luka itu kehilangan kuasanya. Ingatan tetap ada, tetapi tidak lagi menyakitkan. Luka itu tetap diingat, tetapi tidak lagi menguasai respon kita. Itulah pelupaan rohani—melupakan bukan karena memori hilang, tetapi karena kasih Allah menjadi lebih besar daripada luka itu.

Mengapa sulit mengampuni? Ada banyak alasan. Ada orang yang tidak mau mengampuni karena mereka takut kesalahan yang sama akan terulang. Ada yang merasa bahwa jika mereka mengampuni, itu berarti pelaku lolos dari tanggung jawab. Ada juga yang merasa bahwa kemarahan memberi mereka kekuatan untuk bertahan. Namun, semakin lama seseorang memegang kemarahan, semakin dalam luka itu mengikat hatinya. Dendam mungkin terasa seperti perlindungan, tetapi sebenarnya ia menjadi belenggu.

Pengampunan bukanlah pengabaian. Mengampuni bukan berarti membiarkan ketidakadilan berjalan. Mengampuni tidak berarti membuka pintu untuk pelecehan atau perlakuan buruk. Pengampunan adalah keputusan untuk tidak membiarkan kepahitan merusak hati kita. Kita bisa mengampuni seseorang sambil menetapkan batas yang sehat. Kita bisa mengampuni sambil menjaga diri. Kita bisa mengampuni sambil tetap mengejar kebenaran dan pemulihan.

Bagi banyak orang, pergumulan terbesar bukan hanya mengampuni orang yang menyakiti mereka, tetapi juga mengampuni orang yang tidak pernah meminta maaf. Bagaimana mungkin mengampuni seseorang yang bahkan tidak merasa bersalah? Di sinilah kita kembali kepada dasar pengampunan Kristen: kita mengampuni karena kita telah diampuni. Kristus mengampuni kita ketika kita masih berdosa, sebelum kita sadar, sebelum kita meminta maaf. Ia mengambil langkah pertama. Dan ketika kita mengampuni berdasarkan teladan Kristus, kita sedang berjalan dalam kasih yang lebih besar daripada kemampuan manusia.

Namun ada kabar yang jauh lebih indah: Allah bukan hanya mengampuni dosa kita—Dia juga memilih untuk tidak mengingatnya. “Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” Ini bukan sekadar janji, tetapi penghiburan yang dalam. Allah tidak melihat kita melalui lensa masa lalu kita. Dia tidak menahan berkat-Nya karena kesalahan kita yang lama. Dia tidak mengungkit-ungkit dosa yang sudah diampuni. Dia tidak menuntut kita membayar sesuatu yang sudah dibayar oleh Kristus di kayu salib.

Jika Allah memperlakukan kita seperti itu, mengapa kita masih menyimpan catatan kesalahan orang lain? Mengapa jatuhnya seseorang di masa lalu menjadi definisi dirinya? Mengapa kesalahan yang pernah dibuat seseorang menjadi beban yang kita gunakan melawannya? Mengampuni adalah cara kita meniru kasih Allah. Melupakan—dalam pengertian Alkitabiah—adalah cara kita membebaskan diri dari masa lalu yang seharusnya sudah diserahkan kepada Tuhan.

Ketika seseorang memilih untuk mengampuni, hatinya menjadi ringan. Hubungan yang rusak bisa dipulihkan. Luka yang lama mulai sembuh. Dan seseorang mulai melihat diri dan orang lain dengan cara yang baru—cara yang dipenuhi kasih, bukan kecurigaan. Pengampunan bukan hanya hadiah bagi orang yang bersalah, tetapi juga bagi orang yang mengampuni.

Kiranya renungan ini menolong kita melihat bahwa mengampuni mungkin sulit, melupakan mungkin lebih sulit lagi, tetapi Allah telah memberikan teladan sempurna. Dia mengampuni dengan murah hati. Dia melupakan kesalahan kita dengan kasih yang dalam. Dan melalui karya Kristus, Dia memberikan kemampuan kepada kita untuk mengikuti jejak-Nya.

Doa Penutup:

Tuhan yang penuh kasih, Engkau mengenal setiap luka yang kami bawa dan setiap kesalahan yang orang lain lakukan terhadap kami. Ajarlah kami untuk mengampuni sebagaimana Engkau telah mengampuni kami. Berikanlah kami hati yang lembut, roh yang rendah, dan keberanian untuk melepaskan kepahitan. Pulihkanlah luka-luka yang masih membekas dan gantikanlah dengan damai sejahtera-Mu. Tuntunlah kami untuk hidup dalam kasih yang tidak mengingat-ingat kesalahan, sebagaimana Engkau tidak mengingat dosa kami. Bentuklah kami menjadi pribadi yang mencerminkan kasih Kristus dalam setiap hubungan. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

Bersatu dalam tubuh Kristus

“Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.”1 Korintus‬ ‭12‬:‭26‬‬-27

Ada satu gambaran yang paling indah dan paling kuat tentang bagaimana umat Tuhan seharusnya hidup—gambaran tubuh. Bukan organisasi, bukan komunitas sosial, bukan kumpulan individu yang kebetulan berada di tempat yang sama, tetapi tubuh.

Paulus memakai gambaran ini bukan tanpa alasan. Sebab hanya tubuh yang bergerak, bernapas, berfungsi, dan merespons sebagai satu kesatuan yang hidup. Dan ketika ia berkata, “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya,” ia sedang membuka mata kita terhadap panggilan yang jauh lebih besar daripada sekadar hadir di gereja pada hari Minggu.

Tubuh adalah organisme yang saling terhubung secara mendalam. Jika satu bagian tersayat, seluruh tubuh memberi respons. Jika satu bagian mendapat penghormatan, seluruh tubuh merasakan getaran sukacita. Tidak ada bagian tubuh yang hidup sendiri. Tidak ada bagian tubuh yang tidak penting, yang boleh diabaikan, atau dianggap remeh. Begitulah Allah memandang gereja-Nya. Dan begitulah kita seharusnya memandang satu sama lain—baik di gereja maupun di tengah keluarga.

Namun keindahan gambaran ini sering kali bertabrakan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Di banyak keluarga, orang dapat duduk satu meja tanpa saling berbicara. Di banyak gereja, orang dapat beribadah bersama tanpa tahu nama jemaat yang duduk dua bangku di belakangnya.

Dalam banyak hubungan, penderitaan seseorang tidak selalu menarik perhatian; dan keberhasilan seseorang bisa memicu kecemburuan, bukan sukacita. Itulah mengapa firman Tuhan ini penting—karena ia memanggil kita kembali kepada keutuhan, bukan sekadar kebersamaan lahiriah.

Ketika Paulus berkata bahwa jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita, ia sedang berbicara tentang empati yang lahir dari kasih. Empati bukan sekadar merasa kasihan, tetapi masuk ke dalam rasa sakit saudara kita dan menanggungnya bersama. Dalam tubuh, jika jari tertusuk duri, seluruh tubuh bereaksi. Mata langsung melihat ke arah luka itu, tangan yang lain bergerak mencabut durinya, kaki ikut berhenti melangkah. Begitu pula seharusnya gereja dan keluarga merespons penderitaan anggota-anggotanya.

Bayangkan seseorang yang datang ke gereja dengan beban berat dalam hatinya—entah karena pergumulan keluarga, kesulitan keuangan, atau sakit yang tidak terlihat. Jika gereja benar-benar hidup sebagai tubuh Kristus, beban itu tidak menjadi beban pribadi semata. Ada telinga yang siap mendengar, bahu yang siap menopang, dan hati yang mengerti. Karena tubuh tidak pernah membiarkan satu bagiannya berjuang sendirian.

Namun bagian kedua ayat itu sama pentingnya: “Jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.” Ini adalah ujian dari kedewasaan rohani. Tidak semua orang dapat ikut berbahagia ketika orang lain diberkati. Ada yang merasa tersaingi, ada yang tidak bahagia melihat keberhasilan saudara seiman. Tetapi tubuh yang sehat tidak iri terhadap bagian lain. Ketika mata melihat pemandangan indah, seluruh tubuh menikmati kesenangannya. Ketika kaki berhasil mencapai puncak bukit, seluruh tubuh merasakan kemenangan. Demikian pula dalam gereja dan keluarga: keberhasilan seseorang adalah berkat bersama.

Keutuhan tubuh Kristus terlihat ketika orang tidak saling membandingkan peran. Di rumah tangga, tidak ada yang mengatakan bahwa yang memasak kurang penting daripada yang bekerja mencari nafkah. Di gereja, tidak ada yang menganggap bahwa yang berkhotbah lebih mulia daripada yang mempersiapkan tempat duduk. Semua bagian tubuh memiliki fungsi, dan semuanya berharga. Keutuhan hadir ketika setiap orang menghormati peran yang lain.

Namun kenyataannya, keutuhan tubuh sering terganggu oleh luka yang tidak pernah disembuhkan. Ada anggota keluarga yang merasa tidak didengar. Ada jemaat yang merasa tidak dihargai. Ada relasi yang digerogoti oleh kekecewaan lama yang tidak pernah dibereskan. Ketika luka itu tidak disembuhkan, tubuh bergerak pincang. Gereja kehilangan kekuatannya. Keluarga kehilangan kehangatannya. Karena itu, panggilan untuk memulihkan adalah bagian penting dari kehidupan tubuh Kristus.

Keutuhan tubuh tidak berarti tidak ada perbedaan. Sebaliknya, tubuh justru kuat karena keberagaman. Mata, telinga, kaki, tangan—semuanya berbeda, tetapi tidak saling meniadakan. Gereja yang sehat menghargai perbedaan karunia, temperamen, latar belakang, dan cara berpikir. Keluarga yang sehat pun menerima keunikan setiap anggotanya. Kasih menjadi jembatan yang menyatukan semua perbedaan itu.

Mengapa ini penting? Karena dunia di luar sana sedang haus akan kesaksian nyata tentang kasih yang mempersatukan. Dunia penuh dengan perpecahan, persaingan, dan hubungan yang rapuh. Tetapi ketika gereja hidup sebagai tubuh Kristus—saling menanggung, saling mendukung, saling memulihkan—dunia melihat kilau kasih Kristus. Dan ketika keluarga Kristen hidup sebagai tubuh kecil yang utuh—saling menghormati dan saling membangun—dunia melihat terang Injil dalam kehidupan sehari-hari.

Keutuhan tubuh Kristus bukan hanya panggilan teologis; itu adalah kebutuhan praktis. Tanpa keutuhan, gereja menjadi lemah. Keluarga menjadi rapuh. Namun ketika tubuh itu utuh, ada kekuatan yang luar biasa. Doa-doa menjadi lebih kuat. Pelayanan menjadi lebih efektif. Kasih menjadi lebih terlihat. Dan sukacita Tuhan mengalir lebih bebas.

Karena itu, renungan pagi ini mengajak kita semua untuk bertanya dengan rendah hati: “Apakah saya sudah hidup sebagai anggota tubuh Kristus yang memelihara keutuhan?” Apakah saya sensitif terhadap penderitaan orang lain? Apakah saya mampu bersukacita atas berkat yang diterima saudara saya? Apakah saya membangun atau justru melukai? Apakah saya merangkul perbedaan atau menolaknya? Keutuhan tubuh Kristus dimulai dari sikap hati, bukan dari struktur organisasi.

Kiranya kita menjadi pribadi yang menghadirkan kesatuan di mana pun Tuhan menempatkan kita: di rumah, di gereja, dan dalam relasi-relasi kecil yang Tuhan percayakan. Sebab ketika tubuh Kristus hidup dalam kasih yang utuh, dunia dapat melihat gambaran sejati dari Sang Kepala, yaitu Kristus sendiri.

Doa Penutup:

Tuhan, Kepala Gereja yang hidup, kami bersyukur karena Engkau telah menjadikan kami bagian dari tubuh-Mu. Ajarlah kami untuk hidup dalam kasih yang mempersatukan, bukan memecah-belah. Jadikan kami peka terhadap penderitaan saudara kami dan rendah hati untuk bersukacita ketika mereka diberkati. Pulihkanlah bagian-bagian tubuh yang terluka, baik di gereja maupun di keluarga kami. Bentuklah kami menjadi anggota-anggota tubuh yang setia, yang saling menopang dan saling menguatkan. Mampukan kami untuk memantulkan kasih Kristus dalam setiap hubungan yang kami miliki, agar melalui hidup kami, orang lain dapat melihat keindahan tubuh Kristus yang utuh. Di dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Dalam kasih tidak ada ketakutan

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” ‭‭1 Yohanes‬ ‭4‬:‭18‬‬

Kasih adalah satu kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Ada kalanya seseorang berkata, “Saya mengasihi dia,” tetapi kata-kata itu tidak pernah terasa aman di telinga orang yang mendengarnya. Bukan karena cinta itu tidak nyata, tetapi karena hubungan itu dipenuhi tekanan, tuntutan, dan bayangan ketakutan.

Ada orang yang setiap hari berjalan di rumahnya sendiri seperti seseorang yang menginjak lantai rapuh—takut membuat kesalahan kecil, takut suara pintu terlalu keras, takut salah menafsirkan ekspresi orang lain. Pada akhirnya, mereka lebih sibuk menenangkan kecemasan daripada merasakan sukacita dari sebuah hubungan.

Namun firman Tuhan berbicara sangat jelas: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan.” Kalimat ini bukan sekadar pepatah rohani yang indah, tetapi sebuah prinsip ilahi yang menembus sampai ke inti kehidupan manusia. Kasih yang sejati memiliki karakter yang begitu kuat, begitu murni, sehingga ia mampu mengusir ketakutan. Ia membongkar rasa cemas yang tersembunyi di lorong-lorong hati manusia. Ia melepaskan seseorang dari rasa terancam. Dan ia membentuk ruang dimana seseorang dapat menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihukum.

Kasih yang benar tidak pernah berdiri berdampingan dengan ketakutan. Jika ada rasa takut yang pekat, rasa bersalah yang berlebihan, atau tekanan yang menggunung, itu menandakan bahwa relasi tersebut tidak berjalan dalam cahaya kasih yang Allah maksudkan. Bukan berarti kasih manusia harus sempurna sejak awal—kita semua bertumbuh, kita semua sedang diproses. Tetapi arah dari kasih itu harus jelas: kasih itu menuntun pada kedamaian, bukan kecemasan; membawa ketenteraman, bukan ancaman.

Ketakutan dalam sebuah hubungan sering kali seperti asap yang tipis. Ia tidak selalu tampak, tetapi dapat dirasakan. Ia membuat seseorang berhati-hati berlebihan. Ia membentuk pola komunikasi yang penuh kewaspadaan. Ia melahirkan jarak yang sulit dijelaskan. Ketika seseorang menjaga diri terlalu ketat, itu mungkin karena ia tidak yakin apakah dirinya aman. Di sinilah firman Tuhan menantang kita untuk melihat lebih dalam: apakah kasih yang kita terima dan berikan benar-benar memerdekakan?

Ketika ketakutan hadir, itu menjadi pesan yang halus namun tegas bahwa ada sesuatu yang kurang benar. Mungkin ada pola kontrol yang tidak disadari. Mungkin ada kata-kata keras yang sering dilontarkan. Atau mungkin ada luka lama yang belum pulih. Ketakutan bukan hanya tanda kelemahan dalam diri seseorang; sering kali ketakutan adalah respon wajar terhadap lingkungan yang tidak aman secara emosional. Karena itu, firman Tuhan tidak mengabaikan ketakutan, tetapi menunjukkannya sebagai indikator yang jujur. Kita tidak dipanggil untuk pura-pura kuat atau menekan perasaan, tetapi untuk menilai kembali apakah relasi kita berakar dalam kasih yang sejati.

Allah tidak pernah menggunakan ketakutan untuk memaksa anak-anak-Nya taat. Ia tidak bermaksud membuat manusia sebagai robot. Ketaatan yang sejati tumbuh dari kasih, bukan dari ancaman. Demikian pula relasi antar-manusia seharusnya berjalan dalam pola yang sama. Kasih yang benar tidak menakut-nakuti atau mendominasi orang lain. Ia tidak mematahkan keberanian seseorang, tidak merendahkan martabatnya, tidak menuntut kesempurnaan yang mustahil. Kasih sejati belajar mendengar sebelum menuntut, memahami sebelum menilai, dan merangkul sebelum mengoreksi. Kasih yang benar adalah kasih yang memberi kesempatan dan kemampuan bagi orang lain. Di dalam suasana seperti itu, ketakutan pun melebur seperti kabut yang tersingkir oleh matahari pagi.

Lebih jauh lagi, kasih yang murni memiliki kuasa yang dahsyat untuk memadamkan api kemarahan dan pertengkaran. Banyak konflik bermula dari ketakutan: takut tidak dihargai, takut kehilangan posisi, takut dianggap lemah. Ketika ketakutan memegang kendali, seseorang mudah tersinggung, mudah tersulut, dan mudah curiga. Namun ketika kasih mengambil alih, reaksi yang tadinya keras berubah menjadi lebih lembut. Seseorang mulai memberi ruang untuk salah paham, karena ia tahu bahwa kasih lebih besar daripada kesalahan kecil. Suara yang tadinya meninggi mulai meluruh menjadi percakapan yang membangun.

Kasih juga menghapuskan pelecehan dalam segala bentuknya. Pelecehan—baik fisik, emosional, maupun verbal— selalu lahir dari keinginan untuk menguasai. Kasih sejati tidak pernah menguasai dengan cara demikian. Kasih mengarahkan seseorang untuk menjadi pelindung, bukan penindas. Ia tidak menekan; ia menopang. Ia tidak mempermalukan; ia memulihkan. Ketika kasih bekerja, pola-pola destruktif mulai tergusur oleh pola-pola yang sehat dan penuh hormat.

Dendam pun kehilangan tempatnya ketika kasih hadir. Dendam hanyalah bentuk ketakutan lain—ketakutan bahwa keadilan tidak akan ditegakkan, bahwa luka tidak akan diperhatikan. Tetapi kasih mengajarkan kita bahwa Allah melihat dan peduli. Ketika seseorang percaya bahwa ia dikasihi dan diperhatikan, ia tidak lagi merasa perlu membalas sakit hati dengan sakit hati. Kasih menyalakan pengampunan, bukan karena pengampunan itu mudah, tetapi karena kasih membuat hati seseorang lebih besar daripada lukanya.

Yang sering kita lupakan adalah bahwa kasih seperti ini bukan produk usaha manusia semata. Kasih seperti ini berasal dari Allah. “Karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita.” Kasih-Nya adalah sumber keberanian kita. Semakin seseorang mengenal kasih Allah, semakin ia disembuhkan dari ketakutan terdalamnya. Semakin ia dipenuhi oleh kasih yang sempurna, semakin ia mampu mengasihi orang lain dengan cara yang menenangkan, bukan menakutkan.

Kasih Allah menuntun kita untuk bertumbuh menjadi orang yang menjadi tempat aman bagi orang di sekitar kita, terutama dalam lingkungan gereja dan rumah tangga. Tempat aman bukan berarti selalu menyenangkan atau selalu berkata “ya” pada segala hal. Tempat aman berarti seseorang tahu bahwa ia akan diperlakukan dengan hormat, dihargai sebagai manusia, dan dikasihi tanpa syarat. Dalam atmosfer seperti itu, bahkan teguran pun terasa sebagai wujud perhatian, bukan ancaman.

Pagi ini, ayat di atas mengajak kita menengok ke dalam: apakah kasih yang kita bawa membuat orang lain semakin aman atau semakin tertekan? Apakah kehadiran kita menenangkan atau menimbulkan kecemasan? Apakah kata-kata kita membangun atau malah melukai? Kita tidak dipanggil untuk sempurna hari ini juga, tetapi kita dipanggil untuk terus bertumbuh dalam kasih yang menghilangkan ketakutan.

Biarlah kasih Kristus memenuhi hati kita hingga kita menjadi pembawa damai, penangkal ketegangan, pemadam api pertengkaran, dan sumber keberanian bagi orang-orang di sekitar kita. Sebab ketika kasih bekerja, ketakutan memudar dan kebencian menghilang. Ketika kasih memimpin, hubungan dipulihkan. Dan ketika kasih meresap dalam kehidupan kita, dunia yang kita sentuh pun akan merasakan kehangatan dari kasih yang sempurna itu—kasih yang berasal dari Allah sendiri.

Persatuan dan kesatuan umat Kristen

“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.” 1 Korintus 1:10

Tahukah Anda beda antara kata ‘persatuan” dan “kesatuan”? Berdasarkan istilah, persatuan dan kesatuan berasal dari satu kata “satu” yang berati utuh atau tidak terpecah belah. Tapi dua kata ini berbeda maknanya. Menerut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persatuan adalah gabungan (ikatan, kumpulan, dan sebagainya) dari beberapa bagian yang sudah bersatu. Sementara kesatuan adalah perihal menjadi satu atau keesaan yang bersifat tunggal.

Dalam sebuah persatuan diharapkan adanya kesatuan, dan dengan demikian semua anggota benar-benar mau bersatu. Tetapi, ini tidak selalu bisa terjadi. Dalam persatuan seperti sebuah organisasi gereja, sering kali ada perbedaan pendapat atau perselisihan yang membuat tidak adanya kesatuan arah pelayanan. Sebaliknya, adanya kesatuan keyakinan atau pendapat sering kali membuahkan sebuah persatuan untuk melaksanakan tujuan bersama. Jelas bahwa dalam hidup kita memerlukan adanya persatuan dan kesatuan, sebab keduanya saling mendukung.

Kitab 1 Korintus 1:10–17 membahas tentang kesatuan umat Kristen. Setelah mengucap syukur kepada Allah atas jemaat Korintus dan tempat mereka dalam kekekalan di masa mendatang, Paulus membahas bagaimana mereka telah terpecah belah menjadi beberapa golongan. Paulus mendesak mereka untuk bersatu, karena Kristus tidak terpecah belah. Paulus menekankan bahwa mereka tidak dibaptis dalam nama manusia, tetapi dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Itu menunjukkan kesatuan.

Paulus telah meletakkan dasar yang kokoh untuk suratnya dalam dua hal. Pertama, ia sama sekali tidak ragu bahwa orang Kristen di Korintus sungguh-sungguh telah diselamatkan, orang percaya yang telah lahir baru, dan sepenuhnya aman di dalam Kristus selamanya. Paulus tidak memikirkan dosa dan pemikiran mereka yang salah, lalu mempertanyakan keselamatan mereka. Kedua, Paulus telah yakin adanya keselamatan mereka di dalam Kristus. Ia menyebut nama Kristus di sini untuk kesekian kalinya karena jemaat Korintus diselamatkan karena mereka ada di dalam Kristus, dan tidak ada alasan lain.

Dalam ayat sebelumnya, Paulus menulis bahwa orang-orang percaya ini telah dipanggil, masing-masing dari mereka, ke dalam persekutuan dengan Kristus. Hal itu mengharuskan, sebagai orang-orang di dalam Kristus, untuk bersekutu satu sama lain dalam kesatuan. Sekarang Paulus sampai pada masalah pertama dari banyak masalah di antara jemaat di Korintus. Bukannya bersatu karena mereka semua ada di dalam Kristus, jemaat Korintus justru tidak memunyai kesatuan, alias terpecah belah karena faktor golongan.

Pada abad pertama Masehi, gereja di Korintus memang dilanda perpecahan dan perpecahan. Gereja terpecah belah karena pemimpin atau misionaris masa awal mana yang menjadi favorit mereka dan siapa yang mereka anggap paling pantas untuk diikuti. Beberapa orang lebih menyukai Paulus, sementara yang lain lebih menyukai Apolos atau Petrus, sebagian besar berdasarkan gaya bicara mereka (lihat “hikmat” dan “kefasihan” dalam 1 Korintus 1:17). Alih-alih bersatu di bawah Kristus, mereka justru terpecah belah karena pemimpin yang mereka pilih. Jadi, untuk melawan godaan perpecahan ini, Paulus memerintahkan mereka untuk seia sekata dan tidak membiarkan perpecahan di antara mereka.

Paulus mendesak mereka dalam nama Kristus untuk bersepakat satu sama lain dalam Kristus. Ia menetapkan harapan yang tinggi bagi gereja ini, dan semua gereja Kristen: tidak ada perpecahan. Karena masing-masing dari mereka ada di dalam Kristus, Paulus menegaskan bahwa mereka dapat hidup dalam kesatuan. Kesatuan ini dapat, dan harus, mencapai tingkat pemikiran dan penilaian yang kooperatif dalam hal-hal yang sangat penting (fundamental) di dalam persatuan orang percaya.

Di sini, seperti dalam bagian-bagian lain (Roma 14), Paulus tidak menuntut setiap orang di persatuan gereja untuk hanya mendukung satu pemimpin yang mereka senangi. Ia juga tidak mengajarkan bahwa orang percaya tidak boleh berselisih pendapat tentang sesuatu. Standar di sini bukanlah untuk mencapai keselarasan yang sempurna, tetapi mereka harus mencapai kesatuan dalam iman. Perbedaan pendapat dan selera tidak harus berarti perpecahan karena semua itu wajar dalam masyarakat apa pun.

Ketika orang Kristen menjadikan pendapat manusia dan ego sebagai standar utama mereka, perpecahan selalu menjadi akibatnya. Tetapi, semua perbedaan pendapat akan menjadi hal sekunder jika dibandingkan dengan kesepakatan iman yang fundamental dan persaudaraan dalam kasih melalui Kristus.

Paulus menetapkan Kristus sebagai standar utama untuk setiap pemikiran dan penilaian. Ketika setiap orang menjadi serupa dengan Kristus, mereka akan selaras satu sama lain dalam iman, pengharapan dan kasih. .

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Korintus‬ ‭13‬:‭13‬‬)

Dalam 1 Korintus 1:10, rasul Paulus mendesak orang percaya untuk “seia sekata dalam perkataanmu, dan jangan ada perpecahan di antara kamu.” Dengan mengatakan “jangan ada perpecahan di antara kamu,” Paulus mendorong orang percaya untuk bersatu sebagai “gereja yang am” pada saat mereka membagikan Injil yang satu dan yang mereka yakini, ke seluruh dunia.

“Gereja yang am” artinya gereja yang bersifat umum, universal, atau sedunia. Kata “am” berasal dari bahasa Latin “catholic” yang berarti umum atau universal, merujuk pada seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus, tidak terbatas pada satu denominasi, tempat, atau waktu tertentu.

Salah satu alasan penting mengapa orang percaya tidak boleh membiarkan perpecahan di antara mereka adalah karena hal itu menghambat kemampuan mereka untuk bertumbuh dan dewasa secara rohani. Jika mereka tidak dapat mencapai kedewasaan rohani, mereka akan selalu bertindak seperti anak-anak.

“Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.” 1 Korintus 13:11

Dalam Efesus 4:3, Paulus memerintahkan orang percaya untuk “berusaha keras memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” Ia kemudian melanjutkan dengan mengatakan dalam Efesus 4:15 bahwa orang percaya, sebagai Tubuh Kristus yang bersatu, akan “bertumbuh dalam segala hal menjadi tubuh yang dewasa dari Dia, yaitu Kristus, yang adalah Kepala.” Dengan kata lain, jika ada perpecahan di antara kita sebagai orang percaya, kita tidak akan menjadi dewasa seperti yang Allah inginkan. Pertumbuhan rohani terjadi ketika orang percaya selalu bersatu saat mereka berkumpul dan menyembah Allah.

Alasan lain mengapa orang percaya tidak boleh membiarkan adanya perpecahan di antara mereka adalah karena hal itu mengalihkan mereka dari misi mereka untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:19-20). Setelah Paulus mendesak orang percaya di Korintus untuk sepakat satu sama lain, ia mengatakan bahwa satu-satunya misinya sebagai rasul Kristus adalah untuk memberitakan Injil (lihat 1 Korintus 1:17).

Paulus tidak ingin dikenang karena pengaruhnya, cara bicaranya, atau bahkan orang-orang yang dibaptisnya. Ia hanya ingin dikenang sebagai seseorang yang setia memberitakan Injil. Demikian pula, jika kita sebagai orang percaya berfokus pada perpecahan yang terjadi karena kecenderungan pribadi dan selera pribadi, kita akan kehilangan kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita setiap hari untuk membagikan Injil kepada orang-orang di sekitar kita yang melihat cara hidup kita.

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Matius 5:16

Akhirnya, mungkin alasan terbesar mengapa orang percaya tidak boleh membiarkan perpecahan di antara mereka adalah karena hal itu merusak kesaksian mereka kepada dunia dalam mengungkapkan siapa Allah itu. Dalam Yohanes 17, tepat sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan, Ia berdoa kepada Allah Bapa untuk semua orang percaya sepanjang sejarah: “Semoga mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, dan semoga mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:21). Dengan kata lain, Yesus berdoa agar semua orang yang mengikuti-Nya bersatu agar dunia dapat percaya siapa Dia, Anak Allah. Jadi, ketika ada perpecahan di antara kita sebagai orang percaya, hal itu menghalangi kemampuan kita untuk menunjukkan kepada dunia siapa Allah itu dan seperti apa Dia—Allah Tritunggal yang bersatu sempurna.

Pagi ini, sebagai umat ​​beriman kepada Kristus hendaknya kita tidak membiarkan preferensi pribadi dan hal-hal sekunder memecah belah kita, sampai-sampai persekutuan kita lebih dikenal karena adanya banyak hal yang tidak kita setujui daripada hal-hal yang kita setujui. Jangan sampai gereja kita dikenal karena adanya banyak pertengkaran. Kita harus ingat bahwa umat Kristen pertama-tama harus dikenal sebagai satu kelompok yang bersatu yang menyembah dan memuji Yesus sebagai Anak Allah yang datang untuk mati menebus dosa dunia.

Ketika iman dipakai sebagai alat

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Matus 7:21

Matius 7:15-23 memuat peringatan dua sisi tentang orang Kristen palsu. Seorang pemimpin mungkin tampak terhormat dan bijaksana, tetapi Anda harus melihat buah kehidupannya untuk mengetahui apakah ia benar-benar mewakili Allah.

Dengan cara yang sama, seseorang pemimpin dapat mengaku mengikuti Yesus, menyebut-Nya sebagai “Tuhan,” padahal mereka bukanlah orang percaya sejati. Hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa yang akan diizinkan masuk ke dalam kerajaan surga—yang Yesus definisikan sebagai dimulai dengan iman yang sejati (Yohanes 6:28-29). Perbuatan baik kita mungkin menipu orang lain, dan bahkan mungkin menipu diri kita sendiri, tetapi perbuatan baik tidak dapat menipu Allah.

Dalam perjalanan sejarah umat manusia, agama dan kepercayaan selalu memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Iman menjadi sumber pengharapan, kekuatan, dan arah moral. Namun, tidak sedikit pula masa ketika iman dipermainkan, dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi orang banyak, atau dijadikan simbol kemurnian yang tidak lahir dari pertobatan sejati. Fenomena ini bukan hal baru. Bahkan dalam Alkitab, kita melihat peringatan demi peringatan tentang orang-orang yang menggunakan nama Tuhan, tetapi hidupnya tidak memuliakan Dia.

Yesus berkata bahwa tidak semua orang yang memanggil, “Tuhan, Tuhan,” akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, sebab yang penting adalah melakukan kehendak Bapa. Dengan kata lain, pengakuan iman tidak pernah lebih tinggi daripada ketaatan hidup. Di tengah dunia modern yang dipenuhi oleh suara politik, ajaran agama, opini publik, pencitraan, dan kepentingan pribadi, kita membutuhkan kebijaksanaan lebih besar untuk membedakan antara iman yang sejati dan iman yang diperalat.

Ayat di atas sangat menantang dan sering menjadi bahan perdebatan. Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya adalah kasih karunia melalui iman, dan bukan diperoleh melalui perbuatan baik (Titus 3:5; Galatia 2:16; Roma 11:6; Yohanes 6:28-29). Alkitab juga dengan tegas mengingatkan orang percaya bahwa semua orang—bahkan mereka yang telah lahir baru—memiliki dosa yang perlu ditebus (1 Yohanes 1:9-10; Ibrani 4:14-16).

Namun, Firman Tuhan juga menunjukkan bahwa mereka yang benar-benar lahir baru akan melihat keselamatan tercermin dalam sikap dan tindakan mereka (Yakobus 2:14-17; Yohanes 14:15). Ketegangan serupa juga terdapat dalam bagian ini—yang menekankan bahwa Kristus, bukan perbuatan, yang menyelamatkan (Yohanes 14:6), namun ketundukan kepada Kristus merupakan hasil yang diharapkan dari keselamatan (Lukas 6:46).

Meskipun ayat ini sering disalahartikan oleh mereka yang mengklaim bahwa perbuatan baik diperlukan untuk diselamatkan, pernyataan Yesus berikutnya justru menghancurkan penafsiran tersebut. Faktanya, mereka yang mendefinisikan iman mereka terutama berdasarkan apa yang telah mereka lakukan bagi Allah telah menempatkan iman mereka pada sesuatu selain Kristus (Matius 7:22-23). ​​Dalam beberapa ayat ini, Yesus secara eksplisit menjelaskan bahwa melakukan kehendak Allah berarti lebih dari sekadar tindakan—membutuhkan iman yang sejati.

Setelah memperingatkan para pendengar-Nya untuk berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu, Yesus menjelaskan bahwa orang lain dapat “berpura-pura” beriman dan menipu kita. Orang Kristen harus waspada terhadap para pemimpin palsu, dan orang lain yang mengaku mewakili Allah padahal sebenarnya tidak (Matius 7:15-20). Di sini, Ia menawarkan sisi lain dari peringatan dua bagian ini: waspadalah terhadap pengikut palsu. Secara khusus, Kristus memperingatkan mereka yang mendengarkan-Nya agar tidak menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa mereka adalah orang percaya sejati, padahal sebenarnya tidak.

Yesus menyatakan bahwa tidak semua orang yang menyebut-Nya “Tuhan” akan masuk ke dalam kerajaan surga. Gelar “Tuhan” menyiratkan seorang tuan, seorang pemimpin, dan seseorang yang kepadanya pembicara tunduk. Dalam pengajaran sebelumnya, Yesus menunjukkan bahwa perkataan dan tindakan belaka tidaklah cukup—harus dimotivasi oleh ketulusan dan kebenaran (Matius 6:1, 5, 16).

Dengan cara yang sama, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa sekadar menyebut-Nya “Tuhan” tidaklah cukup. Begitu pula tindakan yang dianggap benar. Jalan masuk ke dalam kerajaan surga terbatas bagi mereka yang sungguh-sungguh dan sepenuhnya melakukan kehendak Bapa-Nya di surga (2 Korintus 13:5). Hal itu dimulai dengan iman yang tulus kepada Kristus (Yohanes 6:28-29) dan meluas hingga kerendahan hati dalam cara kita menjalani hidup (Yohanes 14:15).

Baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus mengajarkan bahwa kedatangan Yesus di bumi berarti Kerajaan Surga sudah dekat (Matius 3:1-2; 4:17). Inilah Kerajaan Kristus yang kekal, yang akan dimulai di hati semua orang yang benar-benar milik-Nya (Yeremia 31:31-33; Ibrani 8:6-7). Kerajaan ini pada akhirnya akan menjadi kerajaan yang sejati dan kekal di mana kehendak Allah terjadi di bumi seperti di surga (Wahyu 20:4-6). Hanya mereka yang datang kepada Bapa melalui iman sejati kepada Kristus yang akan menjadi warga kerajaan itu selamanya.

1. Iman Yang Sejati Tidak Bersandar Pada Kata-Kata, Tetapi Pada Buah Kehidupan

Yesus mengajarkan prinsip sederhana namun sangat kuat: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:16). Ini berarti bahwa seseorang boleh saja pandai berbicara tentang Tuhan, mengutip ayat, atau mengaku beragama, tetapi buah hidupnya—perilaku, integritas, kerendahan hati, kesabaran, kasih, dan pengendalian diri—lah yang menjadi bukti.

Dalam hidup sehari-hari, kata-kata sering kali jauh lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Banyak pemimpin mengucapkan jargon rohani untuk meraih hati pemilih atau untuk mengkritik orang lain, tetapi hidup mereka tidak mencerminkan kasih Kristus. Ketika iman dijadikan alat persuasi atau simbol kekuatan, kita harus ingat bahwa Tuhan tidak melihat penampilan luar. Dia melihat hati. Dan buah kehidupan seseorang tidak dapat dipalsukan dalam jangka panjang.

2. Bahaya Ketika Iman Dijadikan Alat

Sejak zaman Perjanjian Lama, kita melihat bagaimana pemimpin dapat menyalahgunakan nama Tuhan. Nabi Yesaya menegur bangsa yang menghormati Allah dengan bibir, tetapi hati mereka jauh dari-Nya (Yesaya 29:13). Penggunaan agama untuk keuntungan pribadi bukan hanya persoalan moral, tetapi juga persoalan spiritual. Ketika nama Tuhan dipakai untuk membenarkan ambisi manusia, kehendak Allah menjadi kabur, dan umat mudah disesatkan.

Di zaman modern, seorang pemimpin dapat menggunakan citra “religius” untuk menunjukkan dirinya bermoral atau dekat dengan nilai-nilai keagamaan, padahal hidupnya tidak mencerminkan sikap dan kasih seorang murid Kristus. Inilah bahaya besar: ketika masyarakat mulai menganggap simbol-simbol religius sebagai tanda kesalehan, padahal Alkitab secara konsisten mengingatkan bahwa kesalehan tidak terletak pada simbol, tetapi pada karakter.

3. Godaan Orang Percaya: Salah Menafsirkan Identitas Rohani Seorang Pemimpin

Umat Kristen sering kali rindu melihat pemimpin yang takut akan Tuhan. Keinginan ini baik dan wajar. Tetapi kerinduan itu dapat dimanipulasi oleh tokoh-tokoh yang hanya mengklaim iman tanpa hidup dalam pertobatan. Ketika seorang pemimpin mengatakan dirinya seorang Kristen, atau mengangkat tinggi nilai-nilai religius, kita cenderung menyambutnya dengan sukacita, tanpa terlebih dahulu menguji buah hidupnya.

Namun Alkitab memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5:21) dan membedakan roh (1 Yohanes 4:1). Kita dipanggil bukan untuk menghakimi keselamatan seseorang—karena hanya Tuhan yang mengetahui hati—tetapi untuk mengenali apakah seseorang memimpin dengan semangat yang sesuai dengan Kristus atau tidak.

Di sinilah orang percaya harus bersikap bijaksana: jangan sampai kita mendukung ambisi manusia karena kita terkecoh oleh simbol rohani yang kosong.

4. Ketika Pemimpin Menggunakan Iman Untuk Memecah Belah

Salah satu tanda paling bahaya dari iman yang diperalat adalah ketika seorang pemimpin, secara sadar atau tidak, menggunakan keyakinan pribadinya untuk membelah masyarakat dengan menciptakan pandangan “kami versus mereka” dan selalu menyalahkan pihak lain sebagai “tidak benar” serta membuat dirinya seolah-olah selalu benar.

Jika kita melihat pemimpin yang memakai bahasa religius hanya untuk menguatkan argumennya, sementara hidupnya jauh dari kasih, kesabaran, dan kerendahan hati, kita harus berhati-hati. Iman tidak boleh menjadi alat untuk membenarkan kekerasan, kemarahan, atau penghinaan terhadap sesama.

Yesus berkata bahwa dunia akan mengenal para murid-Nya dari kasih mereka, bukan dari ajaran atau kekuasaan (Yohanes 13:35). Ketika seorang pemimpin mengaku beriman tetapi memakai retorika amarah dan kebencian secara bebas, jelas ada ketidaksesuaian yang perlu kita waspadai.

5. Sikap Orang Kristen: Tidak Naif, Tidak Sinis

Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap pemimpin kita, baik pemimpin negara, perusahaan atau gereja?

Pertama, jangan naif. Jangan mudah terpesona oleh pemimpin yang memakai simbol rohani tetapi hidupnya tidak mencerminkan buah Roh. Kita harus menguji integritas, karakter, dan perilaku mereka.

Namun kedua, jangan menjadi sinis. Dunia ini memang sering mengecewakan, tetapi Tuhan tetap bekerja dalam hidup manusia. Kita dapat tetap mengharapkan pemimpin yang berintegritas, sambil menjaga hati agar tidak pahit atau kehilangan pengharapan.

6. Iman Tidak Seharusnya Menjadi Alat Manusia, Melainkan Jalan Hidup

Pada akhirnya, iman bukan dekorasi luar. Iman bukan slogan. Iman bukan sarana untuk mengejar kekuasaan atau dukungan orang lain. Iman adalah jalan hidup—jalan yang menuntut kerendahan hati, pengampunan, belas kasihan, dan kesiapan untuk memikul salib.

Ketika seorang pemimpin menjadikan iman sebagai alat untuk mencari dukungan atau kepentingan pribadi, ia sebenarnya sedang menjauhkan diri dari fungsi iman itu sendiri. Sebab iman pada akhirnya harus digunakan untuk memuliakan Tuhan. Dan ketika umat percaya tidak berhati-hati, mereka dapat turut terjebak dalam politik identitas yang mengaburkan Injil.

7. Kembali Kepada Kristus

Dalam dunia yang semakin bising dan penuh manipulasi, kita dipanggil untuk kembali kepada Kristus sebagai sumber hikmat. Kita tidak boleh tertipu oleh penampilan lahiriah atau kata-kata manis. Kita harus melihat dengan mata rohani, menilai dengan kasih, dan tetap setia pada Injil yang sejati.

Biarlah kita selalu mengingat firman Tuhan yang memperingatkan kita:

“Mereka mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka menyangkal Dia.” (Titus 1:16)

Semoga kita menjadi umat yang bijaksana dan berhati-hati, tidak mudah disesatkan oleh pemimpin mana pun yang memanfaatkan iman hanya sebagai topeng. Dan lebih daripada itu, semoga hidup kita sendiri menjadi kesaksian bahwa iman yang sejati bukanlah alat untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk melakukan perjalanan menuju keserupaan dengan Kristus. Soli Deo Gloria. Hanya untuk kemuliaan Tuhan.