Apa pentingnya karakter bagi orang Kristen?

“dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.” Titus 2: 7-8

Pemilihan umum di Amerika sudah berlangsung dengan baik dan untuk itu kita harus bersyukur. Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan daripada terjadinya kerusuhan berdarah di negara besar yang dianggap sebagai contoh negara demokrasi, seperti yang terjadi pada tanggal 6 Januari 2021 di ibukota Amerika, Washington D.C., ketika gedung Capitol diserbu oleh pendukung capres yang baru terpilih minggu lalu. Walaupun demikian, bagi sebagian orang, ada keheranan bagaimana seorang yang dianggap mempunyai karakter yang tercela bisa terpilih menjadi presiden. Dalam hal ini, jawabannya adalah bahwa rakyat pada umumnya lebih mementingkan apa yang dijanjikan seorang capres daripada apa yang terlihat sebagai karakternya. Sebagai alasan, sebagian orang berpendapat bahwa mereka tidak bisa mengharapkan setiap orang yang mengaku Kristen untuk berkarakter seperti orang Kristen. Bagi orang yang lain, setiap orang Kristen masih mempunyai karakter yang tidak baik. Jelas bahwa hasil pemilihan umum tidak dipengaruhi oleh karakter capres yang mengaku Kristen itu. Karena itu, pertanyaan bagi kita adalah: Apakah pentingnya karakter bagi orang Kristen?

Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa manusia dapat menjadi murid Tuhan sebenarnya bukan karena usaha manusia. Inilah prasyarat pertama untuk pengaruh spiritual, yaitu bekerjanya Roh Kudus dalam diri orang pilihan Tuhan. Selanjutnya, karakter adalah prasyarat kedua untuk pengaruh spiritual. Setiap manusia diciptakan menurut gambar Tuhan, dan secara naluriah dan dalam keterbatasan mereka, menghargai sifat-sifat karakter Tuhan yang merancang kita – bahkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan. Umat manusia secara universal menghargai buah Roh: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri” (Galatia 5:22-23). Pada zaman Yesus, banyak orang yang ditolak oleh para pemimpin agama kemudian tertarik kepada Yesus karena Ia mewujudkan karakteristik ini. Sampai hari ini, karakter seperti yang Yesus miliki masih menarik perhatian dan mengundang rasa hormat banyak orang, tetapi bukan semua orang.

Orang non-Kristen memerhatikan kegembiraan kita ketika kita bekerja, kedamaian kita di tengah kekecewaan, dan keanggunan dan kerendahan hati kita terhadap orang-orang yang menguji kesabaran kita. Sayangnya, karakter semacam ini sering terasa kurang terlihat dalam hidup kita yang dituntut untuk menunjukkan karakter Yesus kepada dunia. Pada tahun 2013, ada survei yang mempelajari kemunafikan di kalangan orang Kristen. Di antara mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen, penelitian berdasarkan daftar sikap dan tindakan yang dipilih untuk diri sendiri menemukan bahwa 51 persen menggambarkan diri mereka lebih seperti orang Farisi (munafik, merasa benar sendiri, menghakimi) dibandingkan dengan hanya 14 persen yang mencontoh tindakan dan sikap Yesus (tanpa pamrih, empati, kasih dan lain-lainnya). Kekurangan umat Kristen inilah yang bisa menghambat usaha penginjilan. Mengapa demikian? Teolog terkenal C.S. Lewis menjelaskan masalahnya:

“Ketika kita orang Kristen berperilaku buruk, atau gagal berperilaku baik, kita membuat kekristenan tidak dapat dipercaya oleh dunia luar. … Kehidupan kita yang ceroboh membuat dunia luar berbicara; dan kita memberi dunia sebuah alasan untuk berbicara dengan cara yang meragukan kebenaran kekristenan….”

Karakter didefinisikan sebagai kekuatan moral yang oleh sebagian orang Kristen dipandang tidak terlalu penting, dengan alasan bahwa semua orang adalah tidak sempurna. Walaupun demikian, penginjil terkenal A.W. Tozer menggambarkan karakter sebagai “keunggulan makhluk bermoral.” Sebagaimana keunggulan yang dimiliki emas adalah kemurniannya dan keunggulan dari seni adalah keindahannya, maka keunggulan manusia adalah karakternya. Orang yang berkarakter dikenal karena kejujuran, etika, dan kedermawanannya. Deskripsi seperti “pria yang berprinsip” dan “wanita yang berintegritas” merupakan penegasan karakter. Kurangnya karakter adalah kekurangan moral, dan orang yang tidak memiliki karakter yang baik cenderung berperilaku tidak jujur, tidak etis, dan tidak beramal.

Karakter seseorang berasal dari watak, pikiran, niat, keinginan, dan tindakannya. Perlu diingat bahwa karakter diukur berdasarkan kecenderungan umum, bukan berdasarkan beberapa tindakan yang terisolasi. Kita harus melihat keseluruhan kehidupan orang yang bersangkutan. Misalnya, Abraham yang diberkati Tuhan sekalipun tidak percaya bahwa istrinya akan memperoleh seorang putra di hari tua (Kejadian 18:1-3). Raja Daud adalah orang yang berkarakter baik (1 Samuel 13:14) meskipun ia terkadang berbuat dosa (2 Samuel 11). Sebaliknya, meskipun Raja Ahab mungkin pernah bertindak mulia (1 Raja-raja 22:35), ia tetaplah seorang yang berkarakter buruk secara keseluruhan (1 Raja-raja 16:33). Dengan demikian, sebagai orang Kristen kita tidak boleh tertipu oleh janji-janji manis dari orang yang buruk karakternya karena sekalipun orang itu dapat membuat kita puas, besar kemungkinan bahwa hasil itu dicapainya dengan cara yang salah.

Karakter juga dipengaruhi dan dikembangkan oleh pilihan-pilihan kita, bukan 100% ditetapkan oleh Tuhan melalui faktor genetika dan tempat dan situasi di mana kita hidup. Daniel “bertekad untuk tidak menajiskan dirinya” di Babel (Daniel 1:8), dan pilihan saleh itu merupakan langkah penting dalam merumuskan integritas yang tak tergoyahkan dalam kehidupan pemuda itu. Karakter, pada gilirannya, memengaruhi pilihan-pilihan kita. “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya” (Amsal 11:3a). Karakter akan membantu kita menghadapi badai kehidupan dan menjauhkan kita dari dosa (Amsal 10:9a). Setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya.

“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” 2 Korintus 5:10

Tujuan Tuhan adalah mengembangkan karakter di dalam diri kita. “Kui adalah untuk melebur perak dan perapian untuk melebur emas, tetapi TUHANlah yang menguji hati.” (Amsal 17:3). Karakter yang saleh adalah hasil dari pekerjaan pengudusan Roh Kudus. Karakter dalam orang percaya adalah manifestasi Yesus yang konsisten dalam hidupnya. Kemurnian hati yang diberikan Allah menjadi kemurnian dalam tindakan. Allah terkadang menggunakan ujian untuk memperkuat karakter: “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (Roma 5:3-4). Tuhan senang ketika anak-anak-Nya bertumbuh dalam karakter yang baik dan menjadi sempurna di dalam Dia.

Kita dapat mengembangkan karakter dengan mengendalikan pikiran kita (Filipi 4:8), mengamalkan kebajikan Kristen (2 Petrus 1:5-6), menjaga hati kita (Amsal 4:23; Matius 15:18-20), dan bergaul dengan orang baik (1 Korintus 15:33). Pria dan wanita yang berkarakter akan memberikan contoh yang baik bagi orang lain untuk diikuti, dan reputasi saleh mereka akan terlihat oleh semua orang (Titus 2:7-8).

Jika kata-kata kita berarti bagi orang lain, kata-kata itu harus mengalir dari kehidupan yang berintegritas. Jika tidak, perbuatan dan kata-kata kita akan diwarnai dengan kesombongan atau kebohongan. Sebaliknya, ketika orang melihat bahwa kita tidak hanya berpose atau melakukan pencitraan, tetapi dengan rendah hati berusaha menjalani kehidupan yang berintegritas, mereka akan menghargai pesan-pesan kita.

Orang-orang juga memerhatikan apa yang akan kita lakukan ketika kita gagal dalam menjalani tes integritas. Dalam hal ini, apakah kita mau mengakui bahwa kita tidak sepenuhnya memiliki integritas sebagai anak Tuhan? Mungkin yang lebih penting daripada memperbaiki keadaan adalah mengakui bahwa kita sering melakukan kesalahan, mencari pengampunan, dan menebus kesalahan kita kepada mereka yang kita lukai. Salah satu elemen karakter yang paling menarik adalah kerendahan hati untuk menerima bahwa kita bukanlah manusia yang sempurna atau manusia yang paling bijaksana.

Memang, sering kali sebagai orang Kristen kita berperilaku seolah-olah kita yang sudah lahir baru dan memiliki segalanya untuk diberikan kepada orang non-Kristen yang belum menerima apa pun dan sama sekali rusak karakter dan moralnya. Karena itu, banyak orang mungkin merasa malu untuk mengakui kelemahan atau memperlihatkan kekurangan apa pun yang bisa merendahkan pamor kita. Pada pihak yang lain, ada juga orang Kristen yang merasa bahwa mereka tidak perlu malu dengan segala kekurangan dan cara hidup mereka yang kacau karena mereka yakin sudah terpilih. Kedua sikap ini tentunya keliru, untuk tidak dikatakan munafik!

Hari ini kita belajar bahwa karakter dan moralitas yang baik adalah ciri orang Kristen sejati. Hidup sebagai saksi Kristus tidaklah mudah. Rasul Yakobus menulis bahwa imat adalah mati jika tidak disertai perbuatan (Yakobus 2: 17). Tetapi, berbuat baik saja tidak cukup untuk mmberitakan injil. Kita harus mempunyai sesuatu yang menarik dalam karakter kita. Dalam hal ini, yang terutama adalah kemampuan kita untuk mengakui kegagalan dan kehancuran, yang merupakan karakter yang sangat menonjol dalam masyarakat dan budaya di sekitar kita. Orang perlu mencium bau harum kehadiran Yesus dalam karakter kita, yang paling nyata terlihat melalui karakter rendah hati yang Dia ciptakan dalam diri kita. Itu tidaklah mudah untuk dipraktikkan. Kita tidak dapat memperlihatkan karakter yang baik kepada dunia jika Roh Kudus tidak bekerja sepenuhnya dalam hidup kita. Kita tidak dapat berkarakter baik dengan meniru pemimpin yang berkarakter buruk.

Kita dapat “mendukakan Roh Kudus” dengan bertindak seperti orang yang belum percaya dengan menyerah kepada natur dosa kita, dengan berdusta, dengan kemarahan, dengan percabulan. “Mendukakan Roh Kudus” itu terjadi ketika kita melakukan hal yang berdosa baik melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan, maupun melalui pikiran saja. Baik “memadamkan” dan “mendukakan” Roh memiliki dampak yang sama; keduanya menghalangi seseorang untuk hidup dalam kekudusan. Keduanya terjadi ketika orang-percaya berdosa kepada Allah dan mengikuti keinginan duniawinya. Jika kita tidak suka didukakan, kita juga tidak akan berusaha memadamkan apa yang baik. Karena itu, kita tidak boleh mendukakan atau memadamkan Roh Kudus dengan menolak mendengarkan bimbingan-Nya.

“Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan.” Efesus 4:30

Tinggalkan komentar