Diciptakan untuk perbuatan baik

Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Reformed Exodus Community

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Efesus 2:10

Kita mungkin sudah berkali-kali mendengar ucapan orang bahwa semua agama itu sama. Semua sama-sama mengajarkan perbuatan baik. Begitu populernya ungkapan ini – apalagi dalam iklim postmodern yang kental dengan relativismenya – banyak orang serta-merta mengaminkan tanpa memikirkannya secara serius.

Beberapa agama jelas mengajarkan kejahatan, misalnya pengorbanan manusia atau penggunaan sihir dalam ritual mereka. Beberapa yang mengajarkan perbuatan baik pun ternyata memiliki konsep dan motivasi yang berlainan tentang kebaikan. Perbedaan ini jelas tidak boleh diabaikan begitu saja, karena baik atau tidaknya suatu tindakan juga sangat ditentukan oleh konsep dan motivasi di baliknya.

Dalam khotbah hari ini kita akan belajar tentang empat konsep penting tentang perbuatan baik yang Alkitabiah. Konsep-konsep tersebut berguna untuk membentuk motivasi yang benar dalam hati kita. Mengapa kita berbuat baik?

Pertama, karena kita adalah milik Allah (ayat 10a). Poin ini agak sedikit sulit ditangkap dalam terjemahan LAI:TB. Penekanan pada terjemahan “buatan Allah” tidak terlalu jelas. Apakah penerjemah LAI:TB memaksudkan “buatan milik Allah” atau “buatan oleh Allah”? Hampir semua versi Inggris secara lebih kentara menyiratkan makna yang pertama. Hampir semua memilih “karya milik-Nya” (his workmanship). Aspek kepemilikan ini tampaknya sangat ditekankan oleh Paulus. Dalam teks Yunani, kata “milik-Nya” (genitif autou) sengaja diletakkan di awal kalimat untuk penekanan.  

Bentuk kata kerja kekinian “adalah” (esmen) di ayat ini cukup menarik untuk diperhatikan. Sebelumnya Paulus sudah membicarakan tentang tema kepemilikan ini, tetapi dalam kaitan dengan hal-hal yang futuris. Efesus 1:14 menerangkan bahwa Roh Kudus adalah jaminan ilahi bagi kita sampai kita nanti sepenuhnya menjadi milik Allah melalui penebusan Kristus. Ketegangan antara kekinian dan keakanan ini sungguh indah. Kita sudah menjadi milik Allah sekarang, tetapi status ini akan terlihat lebih kentara dan sempurna pada saat Kristus datang kembali yang kedua.

Kita bukanlah milik yang sembarangan. Kata benda “buatan” (poiēma) dalam Perjanjian Baru merujuk pada suatu hasil karya yang istimewa. Dalam Roma 1:20 kata poiēma digunakan untuk alam semesta. Dalam Perjanjian Lama (LXX) kata ini dikenakan pada pekerjaan seorang penjunan (Yesaya 29:16) atau pekerjaan lain yang indah (Pengkhotbah 2:4). Jika dikaitkan dengan Allah, karya ini menyiratkan sesuatu yang luar biasa sampai-sampai manusia tidak dapat memahami sepenuhnya (Pengkhotbah 3:11) dan hanya bisa memuji semuanya itu (Mazmur 64:10; 92:5). Tidak heran, para penerjemah versi Inggris sepakat memilih kata “hasil karya” (workmanship).

Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah bahwa identitas dan perilaku kita ditentukan oleh siapa yang memiliki kita. Kita adalah milik Allah. Status ini seharusnya mempengaruhi cara kita menghargai diri sendiri (selalu bersyukur dan tidak minder dengan keadaan kita). Status ini juga sepatutnya membentuk perilaku kita (tidak sembarangan dengan hidup kita).

Jika kita mencermati, barang-barang yang dihasilkan secara langsung oleh tangan manusia (misalnya karya seni) memiliki nilai yang lebih besar daripada yang diproduksi dengan mesin. Batik tulis, apalagi dengan desain yang unik dan khusus, berharga sangat tinggi. Seandainya lukisan dan foto memiliki obyek dan tingkat keindahan yang sama, harga lukisan biasanya lebih mahal. Sadarkah kita bahwa kita bukan produk massal Allah? Setiap kita adalah unik di mata Allah. Setiap kita merupakan hasil karya-Nya yang indah. Kita milik Dia!

Kedua, karena kita diciptakan di dalam Kristus Yesus (ayat 10b). Dalam teks Yunani frasa ini merupakan anak kalimat (bentuk partisip “diciptakan” = ktisthentes). Fungsinya sebagai penjelasan terhadap ayat 10a. Jadi, ayat 10a dan 10b sama-sama menyinggung tentang ide penciptaan, namun dengan penekanan yang berlainan. Kalau ayat 10a lebih menerangkan aspek kepemilikan, ayat 10b lebih pada sarana atau cara. Bagaimana Allah menciptakan kita sebagai karya-Nya yang indah (ayat 10a)? Jawabannya adalah “di dalam Kristus Yesus” (en christō Iēsou, ayat 10b).

Ungkapan “di dalam Kristus/Yesus/Dia/Tuhan” memang sering muncul di Surat Efesus (1:1, 3, 4, 9, 10, 11, 12, 13, 20; 2:5, 6, 7, 10, 13, 21; 3:6, 11, 21; 4:1, 21, 32; 6:10, 21). Sesuai konteks Efesus 2:10, kita sebaiknya memahami “di dalam Kristus” dalam kaitan dengan persekutuan kita di dalam Dia. Ayat 5-6 mengaitkan “di dalam Kristus”  dengan persekutuan orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Di bagian selanjutnya “tanpa Kristus” (2:12) juga dikontraskan dengan “di dalam Kristus” (2:13), sehingga jelas “di dalam Kristus” merujuk pada kebersamaan dengan Dia.

Seandainya Paulus memaksudkan “di dalam Kristus” berarti “melalui Kristus,” ia mungkin akan menggunakan kata depan dia (melalui), bukan en (di dalam). Walaupun “melalui Dia” dan “di dalam Dia” berkaitan erat dan muatan teologis di dalamnya sama-sama benar, penekanan di ayat 10b lebih diletakkan pada persekutuan dengan Kristus, bukan Kristus sebagai agen atau subyek. Dalam persekutuan kita dengan Dia, kita menjadi ciptaan yang baru (bdk. 2 Kor 5:17; Gal 6:15). Manusia lama yang dikuasai oleh dosa dan hawa nafsu (2:1-3) sudah dihidupkan kembali (2:5-6). Manusia lama yang dibatasi oleh tembok-tembok jasmaniah (misalnya perseteruan etnis) telah dijadikan manusia yang baru (2:15).

Ketiga, karena kita diselamatkan untuk berbuat baik (ayat 10c). Frasa “untuk melakukan perbuatan baik” (lit. “untuk perbuatan-perbuatan baik”) muncul sesudah frasa “diciptakan di dalam Kristus Yesus.” Hal yang sederhana ini seringkali diabaikan. Perbuatan baik kita mengikuti keselamatan di dalam Kristus. Perbuatan baik bukan mendahului keselamatan. Dengan kata lain, kita berbuat baik karena sudah diselamatkan, bukan supaya diselamatkan. Keselamatan adalah sepenuhnya anugerah Allah, bukan hasil usaha kita (2:8-9). Sesudah diselamatkan, kita baru berbuat baik sebagai wujud ucapan syukur kepada Allah dan realisasi rencana-Nya. Seorang penafsir dengan tepat mengutarakan kebenaran ini dalam kalimat: “keselamatan kita adalah untuk perbuatan baik, bukan melalui perbuatan baik.”  

Kebenaran yang menjadi keunikan kekristenan ini sayangnya seringkali mudah dilupakan oleh orang-orang Kristen sendiri. Mereka berpikir bahwa tujuan keselamatan adalah kehidupan bahagia yang kekal di surga. Pikiran semacam ini kurang tepat. Kehidupan kekal di surga adalah hasil tak terelakkan, tetapi bukan tujuan. Siapa saja yang percaya kepada Kristus Yesus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat pasti akan menerima kehidupan kekal di surga kelak, namun – sekali lagi – ini bukanlah tujuan keselamatan.

Dalam perspektif Paulus, perbuatan baik adalah hal yang mustahil sebelum keselamatan di dalam Kristus. Semua orang yang berada di luar Kristus adalah mati di dalam dosa (2:1). Mereka takluk pada keinginan para penguasa kerajaan angkasa atau roh-roh jahat (2:2). Natur mereka juga tercemar oleh dosa sehingga mereka dikuasai oleh hawa nafsu (3:3). Satu-satunya solusi bagi keadaan mengenaskan tersebut adalah dihidupkan bersama Kristus (2:5), diangkat ke sruga lebih tinggi daripada para penguasa kerajaan angkasa (2:6), dan dijadikan ciptaan baru di dalam Kristus (2:10).

Keempat, karena perbuatan baik adalah rencana kekal Allah untuk kita (ayat 10d). Perbuatan baik Kristiani memang mengikuti keselamatan (ayat 10c). Walaupun demikian, Allah ternyata sudah memikirkan hal itu jauh sebelumnya. Dia sudah menyiapkan itu sebelumnya (proētoimasen).

Pembaca surat ini pasti teringat pada rencana kekal Allah yang disinggung oleh Paulus di awal surat. Orang-orang percaya sudah dipilih di dalam Kristus “sebelum dunia dijadikan” (1:4). Kita telah ditentukan “dari semula” (1:5, 11). Rencana ilahi ini Allah tetapkan berdasarkan kehendak-Nya yang bebas (1:9, 10b). Kita tidak mengerti alasan di balik semua keputusan kekal ini, tetapi kita tahu dengan pasti bahwa Allah menetapkan itu dengan alasan-alasan tertentu yang sesuai dengan hikmat dan pengertian-Nya (1:8).

Allah menetapkan segala sesuatu (1:11). Salah satu yang Ia tetapkan adalah perbuatan-perbuatan baik kita (2:10d). Dari kekekalan Ia sudah menentukan supaya kita hidup di dalam kebaikan. Untuk merealisasikan rencana inilah Allah menyelamatkan kita di dalam Kristus. Jadi, keselamatan di dalam Kristus merupakan sarana demi perwujudan rencana Allah.

Konsep ini seringkali diremehkan, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Mereka menggunakan Allah untuk mencapai rencana hidup mereka. Allah tidak lagi menjadi perencana maupun tujuan hidup, melainkan sekadar sebagai sarana atau alat. Bukankah banyak orang Kristen yang tidak serius menggumulkan rencana hidup seturut dengan kehendak kekal Allah? Bukankah mereka lebih sering meminta pertolongan Allah untuk menggenapi ambisi dan keinginan hidup mereka tanpa mau tahu apakah ambisi dan keinginan itu memang sesuai dengan rencana Allah? Bukankah banyak orang Kristen telah menentukan kekayaan, kesuksesan, dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup mereka, lalu meminta Allah untuk merealisasikan hal tersebut? Ini adalah sebuah ironi yang mengenaskan. Perancang justru dijadikan tukang. Pembuat rencana hanya dijadikan sarana. Allah bukan dikasihi dan ditaati, melainkan dimanipulasi!

Sebagai penutup, izinkan saya sekali lagi mengajarkan konsep kebaikan Kristiani seturut dengan Katekismus Heidelberg. Dalam khotbah beberapa minggu yang lalu saya sudah sempat menyinggung hal ini. Sama seperti Paulus, saya ingin berkata: “Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu” (Flp 3:1b).

Artikel ke-91 dari katekismus ini menerangkan bahwa perbuatan baik yang sejati harus memiliki beberapa katakteristik: (1) muncul dari iman yang benar; (2) seturut dengan perintah Tuhan di dalam kitab suci; (3) dilakukan untuk kemuliaan Allah; (4) bukan sekadar kesesuaian dengan tradisi atau ajaran. Berdasarkan ajaran ini kita mengerti dengan lebih jelas mengapa orang-orang luar yang terlihat saleh dan santun pun termasuk kategori orang yang tidak baik di hadapan Allah.

Jika konsep dan motivasi perbuatan baik kita lebih benar, hal itu seyogyanya berimbas pada perilaku kita sehari-hari. Sangat disayangkan apabila orang-orang Kristen justru kalah jujur dalam berbisnis daripada orang-orang lain. Sangat memalukan apabila orang-orang Kristen justru kurang mengasihi dibandingkan orang-orang lain. Sangat menyedihkan apabila orang-orang Kristen justru kalah sabar dibandingkan orang-orang lain. Siapkah Saudara mensyukuri keselamatanmu di dalam Kristus Yesus dan menggenapi rencana kekal Allah sebagai pemilik dari kehidupanmu? Soli Deo Gloria.

Membuang adalah kata kerja aktif

“Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah. Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan” 1 Petrus 2:1-2

Berdasarkan arti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kerja pada dasarnya bisa digunakan untuk menyatakan suatu perbuatan, kejadian, proses, ataupun aktivitas yang dilakukan oleh pelaku atau subjek. Sebuah kalimat biasanya tidak hanya memuat kata kerja, tetapi bisa juga diisi dengan kumpulan kata kerja (frasa verba), kata sifat (adjektiva), frasa adjektiva, dan kata benda (nomina), atau frasa nomina. Maka dari itu, kata kerja bisa diberikan imbuhan pada awal kalimat, akhir kalimat, bahkan juga tengah kalimat.

Kata kerja berdasarkan subjeknya dapat dikelompok menjadi dua, yaitu kata kerja aktif dan kata kerja pasif. Kata kerja aktif adalah kata kerja yang mendapatkan imbuhan berupa me- atau ber-. Kata kerja aktif biasanya biasanya sering digunakan untuk membuat penjelasan terkait aktivitas yang dilakukan subjek atau seseorang yang melakukan. Contoh kata kerja aktif di Alkitab, antara lain yaitu “memotong”, “berlari”, dan “membuang”.

Dalam ayat di atas kata kerja yang menjadi pokok pembicaraan adalah “membuang”. Petrus menjelaskan secara spesifik apa artinya hidup sebagai umat yang dipilih oleh Tuhan. Kristus adalah batu fondasi rumah rohani yang sedang dibangun Allah. Kita harus berperang melawan keegoisan dan keinginan kita untuk berbuat dosa. Orang-orang yang percaya kepada-Nya juga merupakan batu hidup yang digunakan untuk membangun rumah. Selain itu, kita secara individu melayani Dia, dan baik sebagai imam maupun sebagai korban rohani, hidup kita dipersembahkan kepada pembangun. Oleh karena itu, kita harus menjalani kehidupan yang baik, sebagai orang asing di dunia yang bersiap pulang ke rumah untuk bersama Bapa kita, terlibat dalam peperangan melawan keinginan diri sendiri untuk berbuat dosa. Kita harus ingat bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa, tidak membuat kita jatuh dalam dosa, dan Tuhan tidak mencobai kita. Jika kita berdosa, itu adalah karena perbuatan yang kita pilih dan lakukan.

Dalam ayat 1, Petrus menjelaskan bagaimana kita sudah gagal untuk memberikan kasih satu sama lain. Ia selanjutnya menulis bahwa kita harus membuang lima sikap dan tindakan yang menentang kasih. Dalam setiap kasus, hal-hal tersebut mencerminkan kita yang berfokus pada keuntungan pribadi yang ditempatkan di atas kepentingan orang lain. Di akhir pasal 1, Petrus mendesak para pembaca Kristennya untuk saling menghasihi secara mendalam, dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dari hati yang murni. Untuk dapat mencapai itu, sebagai umat Tuhan kita harus bekerja, bukan hanya berharap agar Tuhan yang melakukan mukjizat bagi kita. Kita harus mau bertanggungjawab atas cara hidup kita.

Setiap orang percaya telah dilahirkan kembali melalui firman Tuhan, dan pencelikan mata rohani mereka akan bertahan selamanya. Mereka telah menjadi umat kekal yang diberi kemampuan untuk saling memberikan kasih sejati seperti Kristus. Dengan kata lain, yang tertanam dalam identitas kita sebagai orang Kristen adalah tanggung jawab untuk saling mengasihi. Hal ini bukan karena ada manfaatnya bagi kita, namun karena itulah yang dilakukan Bapa kita. Ini adalah salah satu cara Dia mengungkapkan kekudusan-Nya (1 Petrus 1:15-16). Kita diharuskan untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, karena Ia sudah membuka mata rohani kita, tidaklah ada alasah bagi kita untuk menolak atau mengabaikan perintah Tuhan itu.

Kebencian adalah niat buruk yang jahat, yang mengharapkan orang lain dirugikan. Penipuan dan korupsi adalah ketidakjujuran yang disengaja. Kemunafikan juga merupakan kepalsuan, memaksakan orang lain pada standar yang tidak kita penuhi, demi harga diri. Iri hati disebut sebagai “ketidakpuasan yang penuh kebencian”, membuat kita gelisah ketika melihat seseorang yang memiliki apa yang kita dambakan. Fitnah adalah penggunaan kata-kata yang salah atau menyesatkan untuk merusak reputasi orang atau menjelekkan golongan lain.

Menjauhkan sikap dan tindakan tersebut berarti tidak mengutamakan diri sendiri atau menempatkan diri kita di atas orang lain. Gereja – komunitas umat Kristiani -dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana kita semua yakin akan pemeliharaan dan pemeliharaan Tuhan. Hubungan yang kita miliki satu sama lain hendaknya membebaskan kita dari sikap mementingkan dan meninggikan diri atau kaum kita dan keinginan untuk membela diri. Sebaliknya, Tuhan sudah memampukan kita untuk melakukan perbuatan baik dengan bebas tanpa paksaan dan penuh kasih satu sama lain sebagaimana Bapa mengasihi kita.

Setelah mengesampingkan sikap dan tindakan yang tidak penuh kasih (1 Petrus 2:1), Petrus menulis bahwa kita sekarang harus mendambakan sesuatu yang lain dari kepuasan atau kejayaan diri sendiri. Perhatikan bahwa orang-orang Kristen diperintahkan untuk mengenai apa yang mereka inginkan. Kita harus diberi tahu apa yang kita harus kita makan karena keinginan akan makanan yang sehat tidak selalu datang secara alami. “Susu rohani yang murni” inilah yang kita perlukan: susu yang memenuhi kebutuhan terdalam kita. Sebagian orang Kristen yakin bahwa mereka tahu apa makanan yang terbaik, tetapi dalam ayat di atas ada fakta bahwa orang Kristen tidak selalu mendambakannya. Itu memerlukan kata kerja aktif.

Bagaimana kita mengembangkan “nafsu makan” yang benar? Kita tidak boleh mengharapkan Tuhan akan menyuapi kita. Kita sendirilah yang harus bisa memilih dan minum. Bayi yang baru lahir terkadang menolak ASI yang mereka tangisi, pada awalnya, sampai mereka bisa merasakannya. Dan kemudian mereka bisa minum dengan kemauan sendiri dengan lahap. Dalam metafora Petrus di sini, semua orang Kristen seharusnya mendambakan susu ini seperti halnya bayi yang baru lahir, bahkan orang percaya yang sudah dewasa. Hal ini berbeda dengan metafora Paulus mengenai susu dan daging dalam 1 Korintus 3:1–3. Tidak ada orang Kristen yang bisa mencapai titik kesempurnaan selama hidup di dunia dimana pertumbuhan rohani telah selesai.

Jadi apa sebenarnya “susu rohani yang murni” yang perlu kita dambakan? Kata “murni” berarti murni atau tidak terkontaminasi. Kata yang digunakan untuk menggambarkan susu ini dalam bahasa Yunani aslinya adalah logikakon, yang juga bisa berarti “rasional atau masuk akal”. Lebih penting lagi, kata ini memiliki akar kata yang sama dengan kata logos, yaitu “kata”. Frasa ini mengacu pada firman-Nya yang diwahyukan dalam Kitab Suci, termasuk pesan Injil – dan kepada Kristus sendiri, Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14).

Jadi perintah ini berarti bahwa kita harus belajar mendambakan firman Tuhan yang murni, dan hubungan yang murni dengan Kristus, seperti bayi yang baru lahir mendambakan susu. Dengan meminum susu ini, menerima firman Tuhan, mendekatkan diri kepada Kristus, orang-orang percaya secara aktif akan terus bertumbuh dalam keselamatan kita. Petrus telah menjelaskan bahwa Allah telah menjamin keselamatan kita (1 Petrus 1:3-5), bahwa kita diselamatkan (1 Petrus 1:9), dan bahwa kita akan menerima keselamatan sepenuhnya ketika Kristus dinyatakan (1 Petrus 1: 5). Mengambil tindakan untuk minum “susu” dari Firman Tuhan yang sudah disediakan untuk kita adalah jalan menuju pertumbuhan rohani. Menuju ke arah kesempurnaan yang diminta oleh Yesus Kristus. Bagaimana dengan keputusan Anda, maukah Anda melakukan apa yang baik agar semua hal yang jahat bisa dihilangkan dari perbendaharaan kata kerja kita?

Apakah Anda benar-benar mengasihi Tuhan?

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Yohanes 21:15

Setelah kebangkitan Yesus, sekelompok murid pergi menjala ikan di danau Tiberias. Dari kejauhan, sesosok pria muncul dan menyuruh mereka untuk melemparkan jala lagi. Meski semalaman mereka belum mendapatkan seekor ikan pun, mereka patuh dan jala mereka langsung dipenuhi ikan. Hal ini membuat para murid sadar bahwa orang yang berada di tepi pantai adalah Yesus. Petrus, Yohanes, dan lima murid lainnya kemudian makan bersama Yesus yang telah bangkit di tepi danau. Yesus baru saja melakukan mukjizat, yang mencerminkan mukjizat sebelumnya ketika Yesus pertama kali memanggil Petrus untuk menjadi muridnya (Lukas 5:5-11).

Hanya beberapa hari sebelumnya, Petrus berdiri di dekat api dan bahkan menyangkal bahwa ia mengenal Yesus. Kini Petrus berdiri di dekat api yang lain, dan Yesusmembuat dia mengulangi janji kesetiaannya tiga kali. Pertanyaan Yesus tentang apakah Petrus mengasihi Dia “lebih dari ini” mengacu pada murid-murid lainnya. Yesus bertanya “apakah kamu benar-benar mengasihi Aku lebih dari mereka mengasihi Aku?” Hal ini mengingatkan Petrus yang memiliki percaya diri yang terlalu besar (Markus 14:29), tetapi yang kemudian ternyata hanya bualan semata-mata.

Kata Petrus kepada-Nya: ”Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak.” Markus 14:29

Dalam keadaan genting, Petrus takut tertangkap bersama Yesus dan kemudian tiga kali menyangkali Dia. Sekarang, tiga kali Yesus membuat Petrus mengakui imannya.

Jika kita amati, Yohanes 21:15–19 adalah momen yang mengharukan antara Petrus dan Yesus yang telah bangkit. Pada awal pelayanannya, Yesus mengilhami tanggapan setia Petrus, dengan secara ajaib menyediakan ikan (Lukas 5:5–8). Dia kemudian memanggil Petrus untuk menjadi muridnya (Lukas 5:10–11). Tidak beberapa hari sebelum sarapan pagi di pantai ini, Petrus berdiri di dekat api dan menyangkal mengenal Kristus sebanyak tiga kali (Yohanes 18:25–27). Sekarang, di depan api yang lain, Yesus meminta Petrus untuk menegaskan kasih setianya sebanyak tiga kali. Petrus memahami simbolismenya dan merasa sedih akan kelemahannya.

Kosakata Yunani mempunyai lebih dari satu kata untuk istilah bahasa Inggris “cinta”. Yesus menggunakan dua akar kata, agapaō dan phileō, dalam pertanyaan-pertanyaan-Nya. Petrus hanya akan menggunakan phileo. Meskipun kata-kata ini dapat memiliki arti yang berbeda, dalam konteksnya masing-masing, penggunaannya di sini pada dasarnya identik. Dengan tiga kali bertanya kepada Petris, Yesus ingin menyadarkan Petrus bahwa ia adalah orang yang dipilih-Nya untuk memimpin umat-Nya.

Apakah pertanyaan Yesus itu hanya berlaku untuk Petrus? Saya rasa tidak. Pertanyaan Yesus itu juga berlaku untuk kita, yang sering mengaku bahwa kita adalah pengikut Tuhan. Tetapi, mungkin yang kita maksudkan hanyalah orang-orang yang pergi ke gereja setiap Minggu. Jika keadaan lagi nyaman, tak ada salahnya untuk mendengarkan khotbah dan bernyanyi selama satu jam Walaupun demikian, jika keadaan lagi kurang aman, atau jika kita mempunyai hal-hal yang harus kita prioritaskan, kita akan menjadi Petrus yang mengingkari janji kesetiaan kita kepada-Nya. Kita lupa bahwa kita adalah orang-orang yang sudah dipilih-Nya untuk mengikut Dia dan bekerja untuk kemuliaan-Nya.

Saat ini Yesus bengajukan pertanyaan yang serupa untuk kita. Apakah kita benar-benar mengasihi Yesus? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya. Mungkin sebagian di antara kita akan menjawab dengan rasa percaya diri yang besar. Bukankah kita adalah orang-orang yang sudah dipilih-Nya? Tetapi, mungkin juga kita merasa sedih. Memiliki rasa percaya saja yang besar bukanlah berarti kita mengasihi Dia. Kasih haruslah dibuktikan melalui perbuatan. Kita tidak bisa berkata “Aku mengasihimu” kepada seseorang jika kita tidak mau berkurban untuk dia. Begitu juga, kita harus sadar bahwa mengasihi Dia berarti kita harus taat kepada firman-Nya. Kita harus mau menyingkirkan banyak hal yang tidak berkenan kepada-Nya, termasuk dosa-dosa dan ketidaksetiaan kita kepada Dia yang mengasihi kita.

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Yohanes 14:15

Ditetapkan untuk menjadi kudus

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Efesus 1:3-4

Efesus pasal pertama berisi dua bagian utama. Yang pertama menggambarkan berkat-berkat yang telah diberikan kepada umat Kristiani sebagai hasil keselamatan kita melalui Kristus. Paulus menjelaskan hal ini melalui pujian yang ditujukan kepada Allah Bapa. Bagian kedua memuji jemaat Efesus atas reputasi mereka, dan berdoa agar Kristus membawa mereka ke dalam iman yang lebih penuh dan lebih sadar.

Efesus 1:3–14 memuji Tuhan atas berkat yang telah Dia sediakan. Paulus menyatukan gagasan mengenai predestinasi, kemuliaan Allah, keselamatan umat-Nya, dan hak-hak yang kita miliki sebagai anak-anak Allah. Secara khusus, orang-orang percaya diberkati karena Allah telah memilih, sebelum penciptaan, untuk menyelamatkan kita. Keselamatan itu harus dibayar mahal: kematian Yesus Kristus. Sebagai anak-anak Tuhan, kita dapat yakin bahwa Tuhan akan memberikan apa yang Dia janjikan kepada kita: yaitu kekekalan bersama Dia di surga.

Setelah memuji Bapa dan Anak, Paulus dalam ayat 3 mencatat bahwa Allah telah “telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” Pernyataan menyeluruh ini menunjukkan bahwa setiap berkat yang mungkin kita perlukan telah diberikan di dalam Kristus, termasuk kemampuan untuk hidup menurut firman-Nya. Kristus datang dari surga ke bumi dari Bapa untuk memberikan segala berkat yang kita perlukan.

Paulus juga mencatat beberapa penerapan penting ketika Allah memilih kita menjadi anak-anak-Nya. Karena hikmat, kuasa, dan kasih Allah, respons kita yang patut sebagai anak-anak-Nya adalah hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Kita harus menjadi “kudus,” sebuah kata yang berarti “dikuduskan.” Kita juga harus hidup tanpa cela, sebuah karakteristik penting bagi semua orang percaya, khususnya para pemimpin gereja:

“Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya.” 1 Timotius 3:2-3

Di antara sifat-sifat Allah, seperti yang telah Ia ungkapkan, tidak ada yang lebih penting daripada kekudusan-Nya. Kata “kudus” dan “kekudusan” muncul ratusan kali dalam Alkitab, dan baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru lebih banyak berbicara tentang kekudusan-Nya dibandingkan atribut lainnya. Karena sifat ini, Allah tidak dapat menoleransi dosa kita. Seperti yang dikatakan Habakuk 1:13, “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman.”

Seorang teolog Reformed yang terkenal, Kevin DeYoung, berkata: “Alkitab menyatakan dengan sangat jelas bahwa alasan seluruh keselamatan Anda, rancangan di balik pembebasan Anda, tujuan pertama Tuhan memilih Anda, adalah kekudusan.” Kekudusan diasosiasikan dengan keterpisahan dari hal-hal biasa atau duniawi, di satu sisi, dan hubungan dengan Tuhan atau ketuhanan, di sisi lain. Kekudusan bukan hanya dipisahkan dari dosa dan keduniawian tetapi juga dipisahkan demi tujuan Allah.

Pengudusan adalah proses seumur hidup yang melaluinya kita menjadi kudus. Ini memerlukan komitmen besar, namun ada lima cara spesifik yang kita bisa upayakan untuk menjadi kudus.

1. Jadikan kekudusan sebagai tujuan hidup Anda

Dari semua tujuan hidup kita, yang paling penting adalah mengejar kekudusan karena itu adalah tujuan Tuhan dalam hidup kita. Tuhan hanya mempunyai satu tujuan akhir bagi umat manusia – kekudusan. Satu-satunya tujuannya adalah menghasilkan orang-orang kudus. Tuhan bukanlah mesin berkat abadi yang dapat digunakan manusia, dan Dia tidak datang untuk menyelamatkan kita karena rasa kasihan -Dia datang untuk menyelamatkan kita karena Dia menciptakan kita untuk menjadi kudus. Jika kita benar-benar mengasihi Tuhan, kita akan mau berkomitmen untuk menjadikan kekudusan sebagai tujuan utama hidup kita.

2. Jangan menolak Roh Kudus

Penyucian dilakukan oleh Roh Kudus dan merupakan bagian dari pertobatan kita (1 Petrus. 1:2). Dalam bentuk ini, yang dikenal sebagai pengudusan definitif, Roh Kudus memisahkan kita di dalam Kristus agar kita dapat diselamatkan. Roh juga bekerja di dalam kita sehingga kita dapat taat kepada Kristus, sebuah proses yang disebut pengudusan progresif, karena kita mengalami kemajuan menuju kekudusan.

Dalam peran pengudusan yang terakhir ini, Roh: (A) menyingkapkan dosa kita sehingga kita dapat mengenali dan menjauhinya, (B) menerangi Kitab Suci sehingga kita dapat memahami maknanya, dan (C) membantu kita melihat kemuliaan dosa. Kristus. Roh selalu bersedia melakukan hal ini bagi kita, itulah sebabnya kita tidak boleh “menolak” (Kisah 7:51) atau “memadamkan” (1 Tesalonika 5:19) Roh itu. Ini sudah tentu tergantung pada diri kita masing-masing.

3. Berkomitmen pada ketaatan

Tidak ada kekudusan tanpa ketaatan. Seperti yang diisyaratkan 1 Petrus 1:2, pekerjaan pengudusan Roh dilakukan agar kita bisa taat kepada Kristus.

” …yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”

John Wesley secara konsisten berargumentasi bahwa keselamatan harus menghasilkan kesucian hati dan kehidupan, namun ia tidak pernah memandang proses tersebut sebagai semacam tangga pendakian, seperti yang dilakukan oleh para mistikus Kristen kuno dan abad pertengahan. Dia tidak pernah membayangkan suatu tahapan dalam kehidupan ini di mana seseorang telah tiba dan tidak dapat melangkah lebih jauh.

4. Kejar Yesus, bukan moralisme duniawi

Ketika kita menjadi suci, kita secara alami akan menjadi lebih bermoral. Moral yang baik adalah ciri orang percaya. Namun itu bukanlah tujuan bertumbuh dalam kesalehan. Usaha kita adalah untuk menjadi seperti Yesus, bukan hanya standar moralisme yang berlaku saat ini di tempat Anda. “Kekudusan pada akhirnya bukanlah tentang menjalani standar moral,” kata Kevin DeYoung. “Ini tentang hidup di dalam Kristus dan hidup dalam kesatuan kita yang nyata dan penting dengan Dia.”

5. Harapkan peningkatan, bukan kesempurnaan

Seringkali orang Kristen tidak berusaha untuk menjadi kudus karena menganggapnya sebagai standar yang mustahil. Selain itu, ada orang Kristen yang percaya bahwa Tuhan menerima setiap orang pilihan “sebagaimana adanya”. Namun Tuhan menuntun kita menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapai. Denhgan demikian, kurangnya kesempurnaan pada saat ini seharusnya hanya membuat kita terus berupaya mencapai tujuan Tuhan bagi kita. John Calvin menulis bahwa karena apa yang paling sempurna dalam diri kita selalu jauh dari standar Allah, kita harus berusaha lebih dan lebih sempurna lagi setiap hari. Dan kita harus ingat bahwa kita tidak hanya diberitahu apa tugas kita dalam hidup baru, tetapi Tuhan juga menambahkan, “Akulah yang menguduskan kamu.”. Menjadi sempurna di dalam Dia adalah tanggung jawab kita, dan untuk itu kita bersandar kepada Roh Kudus.

Hari ini kita belajar bahwa sebagai orang percaya, kita harus menjadi kudus bukan karena kita ingin dikasihi Allah tetapi karena kita sudah dikasihi Dia di dalam Kristus. Kita mengasihi karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Dan cara terbaik untuk menunjukkan bahwa kita mengasihi Tuhan adalah dengan berusaha menjadi kudus karena Dia kudus!

Hal perlunya memuliakan Tuhan

Bacaaan Kolose 3: 1-17

“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Kolose 3:17

Kitab Kolose 3:1-17 adalah ayat-ayat yang cukup terkenal, tetapi jarang dibicarakan atau dikhotbahkan di gereja-gereja tertentu. Ada beberapa alasan mengapa demikian:

  1. Sebagian orang Kristen yakin bahwa perbuatan baik manusia tidak relevan dalam konteks keselamatan.
  2. Sebagian orang Kristen menganggap manusia tidak bisa berbuat baik karena sudah rusak dan bejat sebejat-bejatnya.
  3. Sebagian orang Kristen yakin bahwa perbuatan yang nampaknya baik adalah mirip dengan apa yang dilakukan orang Farisi, hanya untuk kemegahan diri sendiri.
  4. Banyak orang Kristen yang tidak sadar bahwa proses kedewasaan iman selalu disertai dengan penanggalan perbuatan-perbuatan tercela seiring dengan makin banyaknya perbuatan yang memuliakan Tuhan.
  5. Sebagian orang Kristen tidak sadar bahwa perbuatan baik dan hidup tertib adalah sesuatu yang dikehendaki Tuhan untuk setiap insan karena Tuhan tidak menghendaki kekacauan di dunia.
  6. Banyak orang Kristen tidak sadar bahwa Tuhan memakai orang yang bukan Kristen untuk melakukan hal yang baik untuk kebaikan setiap orang percaya (seperti guru, pemimpin negara).
  7. Banyak orang Kristen yang tidak sadar bahwa setiap orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah, sekalipun tidak ada pemerintah di dunia yang teokratis pada saat ini.

Perhatikan berapa banyak kata aktif yang Paulus gunakan dalam Kolose 3:1-17 untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan oleh seorang Kristen:

“Carilah perkara yang di atas” (ayat 1).
“Pikirkanlah perkara yang di atas” (ayat 2).
“Matikanlahdalam dirimu” (ayat 5).
“Buanglah semuanya ini” (ayat 8).
“Janganlah kamu saling mendustai” (ayat 9).
“Kenakan belas kasihan” (ayat 12).
“Sabar dan saling memaafkan” (ayat 13).
“Kenakan kasih” (ayat 14).
“Hendaklah damai sejahtera Allah memerintah… dan bersyukurlah” (ayat 15).
“Hendaklah firman Kristus diam di dalam kamu” (ayat 16).
“Lakukan segala sesuatunya dalam nama Tuhan Yesus” (ayat 17).

Dalam ayat-ayat di atas, Paulus mengajarkan agar kita memahami bahwa kita harus berpartisipasi secara aktif agar bisa bertumbuh. Itu berarti menyangkut keputusan kita, bukan hanya menantikan Tuhan mengubah kita. Ketika Tuhan berbicara tentang pertumbuhan, yang Dia maksudkan adalah peningkatan dalam sifat-sifat-Nya, sifat-sifat yang akan membuat kita selaras dengan gambar-Nya. Untuk itu, Dia sudah memberikan Roh Kudus-Nya untuk membimbing kita, dan kita tidak boleh mengabaikan dan mendukakan Roh itu (Efesus 4:30).

Yang mendorong ambisi mulia Paulus adalah pengetahuan bahwa pada akhirnya akan ada penyingkapan mendalam dari kedalaman hatinya oleh Tuhan Sendiri. Hal ini akan terjadi di masa depan ketika semua orang percaya harus menghadap takhta penghakiman Kristus. Istilah-istilah yang kuat yang dipakainya menekankan keniscayaan dan kelengkapan peristiwa ini. Pengetahuan akan hal itulah yang menghasilkan motivasi kuat dalam diri Paulus untuk berkenan kepada Tuhan dalam hidup ini.

“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” 2 Korintus 5:10

Pada hari itu, kebenaran seutuhnya tentang kehidupan, karakter, dan perbuatan akan dijelaskan kepada setiap orang beriman. Masing-masing akan menemukan keputusan sebenarnya atas pelayanan, pelayanan, dan motifnya. Segala kemunafikan dan kepura-puraan akan disingkirkan; segala sesuatu yang bersifat sementara dan tidak memiliki arti kekal akan lenyap seperti kayu, jerami, dan jerami, dan hanya apa yang dihargai sebagai sesuatu yang berharga secara kekal yang akan tersisa. 1 Samuel 16:7 menyatakan bahwa “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Ketika menulis kepada jemaat di Roma tentang peristiwa yang sama, Paulus menggambarkannya sebagai “takhta penghakiman [bema] Allah” (Roma 14:10). Allah Bapa adalah Hakim tertinggi, namun Dia telah “memberikan seluruh penghakiman kepada Anak” (Yohanes 5:22). Orang percaya tidak akan dihakimi karena dosanya di takhta penghakiman Kristus. Setiap dosa setiap orang percaya dihakimi di Kayu Salib, ketika Allah “menjadikan Dia yang tidak mengenal dosa menjadi dosa demi kita, supaya kita menjadi kebenaran Allah di dalam Dia” (2 Korintus 5:21). Di kayu salib “Kristus telah menebus kita dari kutukan Hukum Taurat, dan menjadi kutukan bagi kita” (Galatia3:13). Tetapi, kursi penghakiman diterjemahkan menjadi bema, yang, dalam definisi paling sederhana, menggambarkan tempat yang dicapai melalui tangga, atau platform. Seseorang dibawa ke hadapan bema untuk diperiksa perbuatannya, dalam pengertian hukum untuk dakwaan atau pembebasan dari tuduhan, atau untuk tujuannya adalah untuk mengakui dan menghargai suatu pencapaian.

Memang benar bahwa pembenaran orang berdosa adalah karena iman di dalam Kristus dan bukan karena perbuatannya sendiri; tetapi akar iman yang tersembunyi harus menghasilkan buah perbuatan baik yang nyata. Buah ini diharapkan oleh Kristus, karena buah ini membawa kemuliaan bagi Bapa dan merupakan bukti bagi dunia akan realitas dinamis kasih karunia ilahi. Dan terutama ketika menghasilkan banyak buah, Bapa dimuliakan (Yohanes 15:8).

Ungkapan “setiap orang” dalam 2 Korintus 5:10 di atas menekankan sifat pribadi dari penilaian orang percaya; ini adalah penilaian individu, bukan kolektif. Tujuannya, sebagaimana disebutkan di atas, tidak bersifat yudisial; yaitu agar setiap mukmin mendapat balasan atas amal perbuatannya di dalam tubuh. Kata-kata “memperoleh apa yang patut diterimanya” merupakan terjemahan dari kata kerja komizo, yang berarti “menerima kembali apa yang menjadi haknya” – baik hukuman bagi pelaku kejahatan, atau imbalan bagi seseorang yang dihormati.

Ketika orang-orang percaya berdiri di hadapan Tuhan Yesus Kristus mereka akan mendapat balasan atas perbuatan yang telah mereka lakukan di dalam tubuh (lihat Wahyu 22:12). Oleh karena itu, mereka tidak boleh mengabaikan tubuh jasmani dan cara hidup mereka, atau memperlakukan mereka dengan hina dengan cara yang antinomian (melanggar hukum Tuhan) atau dualistik (pemisahan total atas jasmani dan rohani). Sebaliknya, mereka harus “mempersembahkan tubuh [mereka] sebagai korban yang hidup dan kudus, yang berkenan kepada Allah, yaitu ibadah rohani [mereka]” (Roma. 12:1). Hal-hal yang dilakukan dalam tubuh memang mempunyai potensi nilai kekal (lihat Matius 6:19-21). Ingat bahwa tubuh kita bukan milik kita.

Penggunaan kata “jahat” tidak menunjukkan bahwa penghakiman orang percaya adalah penghakiman atas dosa, karena seluruh dosa mereka telah dihakimi di dalam Kristus. Perbedaan antara yang baik dan yang jahat bukanlah perbedaan antara moral yang baik dan moral yang jahat. Jahat tidak diterjemahkan sebagai kakos atau poneros, yang berarti kejahatan moral, melainkan phaulos, yang berarti “tidak berharga” atau “tidak berguna”. Orang Kristen sejati sudah tentu harus tahu apa yang baik secara moral dan berusaha keras untuk melakukannya dalam konteks dua hukum utama. Tetapi, phaulos menggambarkan hal-hal duniawi yang pada dasarnya tidak menyangkut moral, seperti berjalan-jalan, berbelanja, berkendara keliling kota, mengejar gelar yang lebih tinggi, menaiki tangga perusahaan, mencari nafkah, melukis gambar, atau menulis puisi. Hal-hal yang netral secara moral ini juga akan diadili ketika orang-orang percaya berdiri di hadapan takhta penghakiman Kristus. Jika dilakukan dengan motif untuk memuliakan Tuhan, maka dianggap baik. Jika dikejar demi kepentingan egois, maka dianggap buruk.

Definisi paling jelas mengenai perbedaan antara hal-hal yang baik dan buruk (yang tidak berharga) terdapat dalam 1 Korintus 3:11-15: Sebab tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar selain dari dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Sekarang, jika ada orang yang membangun di atas fondasi itu dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering, jerami, maka pekerjaan masing-masing orang akan terlihat; sebab hari itu akan memperlihatkannya karena hal itu akan dinyatakan dengan api, dan api itu sendiri akan menguji mutu pekerjaan setiap orang. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang percaya tetap ada serelah diuji, maka ia akan menerima upah. Jika pekerjaannya habis terbakar, ia akan menderita kerugian sekalipun dia sendiri akan diselamatkan.

Satu-satunya landasan kehidupan Kristen adalah Tuhan Yesus Kristus (lih. 1 Petrus 2:6-8), jadi orang-orang percaya harus membangun di atas landasan itu, seperti nasihat Petrus:

“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.” 2 Petrus 1:5–10

Pagi ini kita harus sadar bahwa orang-orang percaya membangun kekekalan bukan dengan “kayu, jerami, atau jerami,” namun dengan “emas, perak, dan batu-batu berharga.” Kita hanya akan diberi pahala atas perbuatan yang mempunyai motif yang benar dan memuliakan Tuhan. Kerinduan Paulus akan surga tidak menyebabkan dia bertindak tidak bertanggung jawab atau tidak setia di bumi ini; justru sebaliknya. Mereka yang tidak mempunyai kerinduan ini mungkin saja belum percaya kepada Tuhan dengan sepenuhnya.

Tubuh tanpa nafas adalah tubuh yang mati

“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” Yakobus 2:26

Dalam pasal ini, fokus Yakobus pada perbuatan telah menimbulkan kontroversi mendalam di kalangan umat Kristen sejak beberapa abad. Luther dikenal tidak menyukai kitab Yakobus karena dia membaca Yakobus 2:24 (“Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.”) sebagai kontradiksi dari Galatia 2:16 (“Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus.”). Para pemimpin Reformasi lainnya tidak sependapat dengan pandangan ini, tetapi keberatan Luther mendominasi pengertian atas tulisan Yakobus di antara sebagian golongan Reformed yang ekstrim. Meskipun kita tidak dapat membahas perdebatan panjang tentang Luther dan kitab Yakobus di sini, kita dapat mempelajari secara singkat apakah penekanan Yakobus pada perbuatan bertentangan dengan penekanan golongan ekstrim itu.

Iman yang sungguh-sungguh menyelamatkan kepada Tuhan menuntun pada tindakan yang baik dan penuh kasih: ”perbuatan.” Dalam pasal 1, Yakobus membahas pentingnya bertindak berdasarkan firman Tuhan, bukan sekadar mendengarkannya. Favoritisme terhadap yang orang kaya dibandingkan dengan yang miskin menunjukkan kurangnya iman. Faktanya, ini adalah dosa. Menindaklanjuti gagasan ini, Yakobus menegaskan bahwa ”iman” yang tidak menghasilkan perbuatan baik adalah mati. Keyakinan mereka yang tidak menganggap perbuatan baik adalah perlu dalam hidup orang Kristen seperti itu hanyalah persetujuan intelektual. Itu bukanlah kepercayaan, atau iman penyelamat yang alkitabiah.

Yakobus tidak menyangkal bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu penting untuk keselamatan, ia juga tidak menyatakan bahwa usaha manusia diperlukan untuk memperoleh keselamatan. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa perbuatan bagi iman sama dengan arti nafas (pneuma = roh) bagi tubuh: suatu tanda kehidupan. Iman tanpa perbuatan ibarat tubuh tanpa nafas: mati.

Yakobus membuat permainan kata yang cerdas di sini, serupa dengan yang Yesus gunakan dalam Yohanes pasal 3. Yakobus menyatakan bahwa iman tanpa perbuatan sama saja mati seperti tubuh tanpa pneuma. Istilah Yunani ini dapat berarti “angin”, yang merupakan eufemisme untuk bernapas, atau dapat juga berarti “roh”, atau jika dimulai dengan huruf besar, “Roh”, berarti Roh Kudus. Permainan kata adalah kunci untuk melihat betapa seriusnya Yakobus mengenai implikasi pengajaran ini. Tubuh tanpa nafas adalah mati. Seseorang yang mengaku Kristen tapi tidak berbuah adalah orang yang hidup tanpa “Roh Kudus”, yaitu orang yang mati secara rohani. Yakobus menghubungkan kekurangan nafas, kekurangan semangat, dan kehadiran kematian dengan konsep iman tanpa perbuatan.

Yakobus 2:14–26 menyatakan bahwa cara seseorang bertindak dalam hidup adalah ”pekerjaan” mereka, dan tanda dari jenis ”iman” yang mereka miliki. Yang disebut-”iman” yang tidak menuntun seseorang untuk berpartisipasi dalam perbuatan baik bukanlah iman yang menyelamatkan; itu adalah hal yang mati. Tidak ada gunanya bagi kita untuk berdoa setiap hari agar orang-orang miskin agar ditolong Tuhan jika kebiasaan seperti itu tidak membuat kita mau menolong mereka yang menderita. Tidak ada gunanya berdoa setiap hari memohon ampun untuk dosa-dosa kita terhadap sesama kita , jika kita tidak mau berhenti menyakiti atau merugikan mereka.

Perbuatan baik dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Dalam pasal ini, Yakobus menekankan perbuatan baik umat Kristiani yang saling mengasihi seperti kita mengasihi diri sendiri. Dia secara khusus menekankan pemenuhan kebutuhan fisik masing-masing. Ia juga menekankan ketaatan kepada Tuhan. Yakobus membahas topik kerja secara mendetail di bagian kedua dari pasal 2. Saat membahas perbuatan, dia selalu menggunakan bentuk jamak “perbuatan-perbuatan (Yunani erga) daripada “perbuatan” yang berbentuk tunggal (Yunani ergon). Hal ini membuat beberapa orang beranggapan bahwa Yakobus menggunakan kata “perbuatan-perbuatan” untuk mengartikan sesuatu yang berbeda dari “perbuatan”. Namun, erga dan ergon hanyalah bentuk jamak dan tunggal dari kata yang sama. Yakobus menggambarkan segala jenis perbuatan orang Kristen, mulai dari amal ibadah, seperti memberi makan kepada seseorang yang lapar, hingga pekerjaan sosial yang berguna untuk masyarakat, seperti usaha meningkatkan hasil sawah yang berkelanjutan. Penggunaan jamaknya menunjukkan bahwa dia mengharapkan perbuatan baik orang Kristen selama hidup di dunia bisa berlangsung terus-menerus agar nama Tuhan dipermuliakan.

Dengan cara yang persis sama, Yakobus menegaskan bahwa menyetujui secara mental atau teologis tentang fakta-fakta tertentu tentang Tuhan saja tidak cukup. Jika apa yang diyakini seseorang tentang Tuhan tidak menuntun mereka untuk bertindak sesuai dengan keyakinan tersebut, maka “iman” mereka bukanlah iman yang menyelamatkan. Itu hanyalah opini. Yakobus tidak pernah mengatakan bahwa iman tidak penting untuk keselamatan. Dia tidak pernah menyatakan bahwa bekerja diperlukan untuk memperoleh atau mempertahankan keselamatan. Namun ia jelas menyatakan bahwa iman yang benar-benar menyelamatkan tidak dapat dipisahkan dari adanya perbuatan baik. Pohon yang hidupnya baik akan menghasilkan buah yang baik.

Ajaran Yakobus adalah ajaran yang praktis sekalipun sering disalahpahami. Maksud Yakobus adalah bahwa iman yang sejati kepada Tuhan secara alami menuntun orang beriman untuk berpartisipasi dalam perbuatan baik. Ini bukanlah ide yang radikal, bahkan dari sudut pandang non-spiritual. Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan benar-benar Tuhan dan Dia telah menyelamatkan kita melalui iman kita kepada Kristus, mengapa kita tidak menaati-Nya dalam hukum utama yang kedua? Perbuatan kita tidak menghasilkan keselamatan, namun apa yang kita lakukan membuktikan apakah kita benar-benar mempunyai iman yang menyelamatkan atau tidak.

Yakobus tidak membayangkan bahwa perbuatan bertentangan dengan iman. Tidak ada “pembenaran karena perbuatan” karena tidak akan ada perbuatan baik kecuali sudah ada iman (kepercayaan) kepada Tuhan. Yakobus tidak bermaksud bahwa iman dapat ada tanpa perbuatan namun tidak cukup untuk keselamatan. Maksudnya adalah bahwa setiap “iman” yang tidak mengarah pada perbuatan adalah mati; dengan kata lain, itu sama sekali bukan iman. Ia mengharapkan agar umat Kristiani bekerja untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan sebagai hasil dari menaruh iman kepada Kristus.

Wawasan bahwa iman Kristiani selalu mengarah pada tindakan praktis dengan sendirinya menjadi pelajaran bagi kita dalam hidup sehari-hari. Kita tidak dapat membagi dunia menjadi dua: yang rohani dan yang praktis, karena yang rohani seharusnya juga adalah yang praktis atau yang bisa dijalankan. “Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya,” kata Yakobus (Yakobus 2:21). Oleh karena itu kita tidak pernah dapat mengatakan, “Saya percaya kepada Yesus dan saya pergi ke gereja, tetapi saya memisahkan iman pribadi saya dari bisnis saya.” Iman seperti itu sudah mati. Kata-kata Yakobus “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” (Yakobus 2:24) menantang kita untuk mewujudkan komitmen kita kepada Kristus dalam aktivitas kita sehari-hari.

“Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7:16-23.

Peranan Tuhan dan peranan manusia dalam keselamatan

Kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil! Markus 1:15

Ucapan Yesus di atas adalah ajakan agar manusia bertobat dan percaya agar bisa diselamatkan. Sebagian orang Calvinis yang ekstrim menyangkal perlunya tindakan manusia karena Tuhan menetapkan segala sesuatu dari awalnya, dan sebagian golongan Arminian kurang menekankan dan bahkan mengabaikan penentuan Ilahi karena keyakinan akan adanya kehendak bebas yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Dalam hal ini, Alkitab dengan jelas menyatakan baik yang ilahi maupun yang manusiawi sebagai hal yang penting dalam rencana keselamatan Allah. Tetapi bagaimana Tuhan dan manusia harus melakukan sesuatu sebelum manusia dapat diselamatkan? Ini tidak mudah dibayangkan atau dimengerti, tetapi perlu dipelajari karena Tuhan adalah berdaulat dan manusia bukanlah robot ciptaan Tuhan. Berikut ini adalah tulisan John G. Reisinger, seorang pendeta dan penulis Reformed yang terkenal. Artikel dari situs Monergism ini menjelaskan banyak kebingungan dan kesalahpahaman mengenai doktrin kasih karunia.

Poin-poin penting yang harus kita pegang:

SATU: Seseorang harus bertobat dan percaya agar dapat diselamatkan. Tidak ada seorang pun yang diampuni dan dijadikan anak Allah jika ia tidak rela berbalik dari dosanya kepada Kristus. Alkitab tidak pernah mengisyaratkan bahwa manusia dapat diselamatkan tanpa pertobatan dan iman, namun sebaliknya, Firman selalu menyatakan bahwa hal-hal ini penting sebelum seseorang dapat diselamatkan. Satu-satunya jawaban Alkitab terhadap pertanyaan “Apa yang harus saya lakukan agar dapat diselamatkan?” adalah “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan diselamatkan.”

KEDUA: Setiap orang yang bertobat dan percaya Injil akan diselamatkan. Setiap jiwa, tanpa kecuali, yang menaati perintah Injil untuk datang kepada Kristus akan diterima dan diampuni oleh Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Jika kita dapat benar-benar yakin akan segala hal, kita dapat yakin bahwa Kristus tidak akan pernah mengingkari janji-Nya untuk menerima “semua orang yang datang kepada-Nya”. “Datang dan sambutlah” adalah kata-kata kekal Juruselamat kepada semua orang berdosa.

KETIGA: Pertobatan dan iman bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh Tuhan, melainkan merupakan tindakan bebas (yaitu sukarela) yang dilakukan manusia. Manusia, dengan pikiran, hati, dan kemauannya sendiri harus meninggalkan dosa dan menerima Kristus. Tuhan tidak bertobat dan percaya untuk kita; sebaliknya kita bertobat dan percaya. Berpaling dari dosa dan menjangkau Kristus dalam iman adalah tindakan manusia, dan setiap orang yang menanggapi panggilan Injil melakukan hal tersebut karena sejujurnya dia ingin melakukannya. Dia ingin diampuni dan dia hanya bisa diampuni dengan bertobat dan percaya. Tidak ada seorang pun, termasuk Tuhan, yang dapat meninggalkan dosa demi kita, kita harus melakukannya. Tidak seorang pun boleh berharap Kristus “menggantikan kita” dalam mengambil keputusan, kita harus secara pribadi, sadar, dan rela memercayai Dia agar dapat diselamatkan.

Sekarang seseorang mungkin berpikir, “Tetapi bukankah semua itu yang diajarkan oleh golongan Kristen Arminian?” Pembaca, itulah yang diajarkan Alkitab – dan mengajarkannya dengan jelas dan dogmatis. “Tetapi bukankah kaum Calvinis menyangkal ketiga poin di atas?” Saya tidak sedang berbicara tentang, atau mencoba membela “kaum Calvinis” karena mereka mempunyai ratusan variasi. Jika Anda mengenal seseorang yang menyangkal fakta-fakta di atas, maka orang tersebut, apapun sebutannya, sedang menyangkal pesan yang jelas dari Alkitab.

EMPAT: Alkitab yang sama yang menyatakan manusia harus bertobat dan percaya agar dapat diselamatkan, juga dengan tegas menyatakan bahwa manusia, karena sifat berdosanya, sama sekali tidak mampu bertobat dan percaya. Ketiga kemampuan pikiran, hati, dan kemauan manusia, yang harus dapat menerima kebenaran Injil, tidak memiliki kemampuan untuk menerima kebenaran tersebut atau bahkan keinginan untuk memiliki kemampuan tersebut. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Seluruh keberadaan manusia bukan saja tidak mampu untuk datang, atau ingin datang kepada Kristus, namun setiap bagian dari naturnya secara aktif bertentangan dengan Kristus dan kebenaran.

Menolak Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat bukanlah tindakan pasif, melainkan sebuah pilihan yang disengaja dan dilakukan. Ini adalah dengan sengaja memilih untuk mengatakan “tidak” kepada Kristus dan “ya” kepada diri sendiri dan dosa. Tidak ada seorang pun yang “netral” terhadap Tuhan dan otoritas-Nya. Ketidakpercayaan adalah tindakan pikiran, hati, dan kemauan yang disengaja seperti halnya iman. Inilah yang Yesus maksudkan dalam Yohanes 5:40 ketika Dia berkata, “Kamu (kamu dengan sengaja membuat pilihan) tidak mau datang kepadaku.” Jelas, ketidakpercayaan adalah tindakan kemauan manusia, bukan buatan Tuhan Sebenarnya ketidakpercayaan adalah iman yang aktif, tapi sayangnya itu adalah iman kepada diri sendiri.

Memercayai dan memberitakan poin Satu, Dua, dan Tiga, tanpa memberitakan poin nomor Empat adalah tindakan yang salah dalam menggambarkan Injil kasih karunia Allah. Hal ini bisa memberikan gambaran yang salah tentang orang berdosa dan kebutuhannya yang sebenarnya. Itu hanya menunjukkan setengah dari dosa manusia. Hal ini tidak memperhatikan hal yang paling krusial dari kebutuhan manusia yang terhilang, yaitu kurangnya kuasa atau kemampuan untuk mengatasi sifat berdosa dan dampaknya. “Injil” yang dibuat berdasarkan poin satu, dua dan tiga saja hanyalah separuh Injil. Pada titik inilah penginjilan modern bisa gagal total. Hal ini mengacaukan tanggung jawab manusia dengan kemampuannya, dan secara keliru berasumsi bahwa orang berdosa mempunyai kemampuan moral untuk melaksanakan segala perintah Allah. Pada pihak yang lain, ada orang yang percaya bahwa manusia tidak bisa bertanggung jawab atas segala dosa mereka. Teks-teks kitab suci yang menunjukkan ketidakmapuan dan tanggungjawab manusia kemudian diabaikan atau dipelintir secara parah oleh penyimpangan dari Injil kasih karunia Allah yang menyelamatkan.

Harap perhatikan beberapa ayat Alkitab yang secara dogmatis menyatakan beberapa hal yang tidak dapat dilakukan oleh orang yang terhilang:

  1. Manusia tidak dapat melihat – sampai ia dilahirkan kembali terlebih dahulu. (Yohanes 3:3)
  2. Manusia tidak dapat mengerti – sampai ia terlebih dahulu diberi sifat yang baru. (1 Kor. 2:14)
  3. Manusia tidak dapat datang – sebelum ia dipanggil secara efektif oleh Roh Kudus. (Yohanes 6:44-45)

Ada banyak yang tidak bisa dilakukan manusia, tetapi kita tidak mempunyai ruang untuk membahas semuanya. Ketiga hal ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa orang berdosa sama sekali tidak bisa (perhatikan, ini bukan “tidak akan”) datang kepada Kristus sampai Allah terlebih dahulu melakukan sesuatu dalam natur orang berdosa tersebut. “Sesuatu” itu adalah apa yang Alkitab sebut sebagai regenerasi, atau kelahiran baru, dan itu merupakan pekerjaan eksklusif Tuhan Roh Kudus. Manusia tidak mempunyai andil apa pun dalam regenerasi.

LIMA: Kelahiran baru, atau kelahiran kembali, adalah Allah memberi kita kehidupan rohani yang memampukan kita melakukan apa yang harus kita lakukan (bertobat dan percaya), namun TIDAK BISA MELAKUKANnya karena kita terikat pada dosa. Ketika Alkitab mengatakan manusia mati di dalam dosa, itu berarti pikiran, hati, dan kehendak manusia semuanya mati secara rohani di dalam dosa. Ketika Alkitab berbicara tentang keberadaan kita dalam “perbudakan dosa,” itu berarti bahwa seluruh keberadaan kita, termasuk kehendak kita, berada di bawah perbudakan dan kuasa dosa. Kita memang membutuhkan Kristus untuk mati dan membayar hukuman dosa kita, namun kita juga sangat membutuhkan Roh Kudus untuk memberi kita sifat baru dalam kelahiran kembali. Anak Allah secara hukum memerdekakan kita dari hukuman dosa, namun hanya Roh Kudus yang mampu memerdekakan kita dari kuasa dan kematian kebobrokan dosa. Kita membutuhkan pengampunan agar dapat diselamatkan, dan Kristus menyediakan pengampunan dan kebenaran yang lengkap bagi kita melalui kematian-Nya.

ENAM: Iman dan pertobatan adalah bukti dan bukan penyebab kelahiran kembali. Kita memerlukan kehidupan dan kemampuan rohani, dan Roh Kudus menyediakannya bagi kita dalam kelahiran kembali. Karya kelahiran kembali Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk menerima karya penebusan Kristus dengan iman yang sejati. Setiap orang yang berpaling kepada Kristus melakukannya dengan sukarela, namun kesediaan itu adalah akibat langsung dari pemilihan Bapa dan panggilan efektif Roh Kudus. Hanya ketika orang yang mati secara rohani mulai melakukan tindakan rohani seperti pertobatan dan iman – “buah” rohani ini menunjukkan bahwa mukjizat kelahiran baru telah terjadi. Jika ada penginjil yang yakin bahwa kelahiran baru berada dalam kekuasaan dan kemampuan kehendak manusia, maka teologi “aku” buatan manusia menjadi jauh lebih penting daripada teologi Alkitab, dan pekerjaan Roh Kudus hampir dilupakan. Sebaliknya, orang yang tidak mau berpaling kepada Kristus melakukannya dengan kehendaknya sendiri yang terus-menerus menolak panggilan Roh Kudus. Orang seperti itu belum lahir baru.

Pagi ini kita belajar bahwa Tuhan berdaulat tetapi umat manusia tidak dipaksa-Nya untuk melakukan apa yang tidak dikehendaki mereka. Kepada setiap orang, Tuhan sudah memberikan petunjuk yang cukup untuk melihat kebesaran-Nya agar mereka mau mendengarkan panggilan-Nya. Satu-satunya alasan di mana seseorang tidak mendapatkan pengampunan adalah kalau dia tidak termasuk orang yang mau bertobat dan percaya kepada-Nya.

Hubungan komitmen dan keselamatan

“Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” 1 Korintus 9:27

Semua orang Kristen percaya bahwa mereka seharusnya setia dan berkomitmen untuk melayani Yesus. Tetapi, orang berbeda pendapat mengenai apakah seseorang yang benar-benar percaya dan berkomitmen kepada Kristus dapat kehilangan keselamatannya. Selain itu, ada perdebatan mengenai seberapa besar komitmen kita kepada Tuhan untuk bisa yakin bahwa kita adalah benar-benar orang yang diselamatkan.

Mengenai komitmen dalam hal hidup sehari-hari, Paulus mendorong jemaat di Korintus untuk rela menyerahkan “posisi nyaman” mereka demi kebaikan orang-orang yang lemah imannya. Paulus menunjukkan bahwa ia pun telah melepaskan kedudukannya, termasuk apa yang bertalian dengan kerasulannya untuk menerima dukungan keuangan dari orang-orang yang ia layani. Berbeda dengan banyak pendeta zaman sekarang, ia bangga karena dapat melayani jemaat Korintus tanpa imbalan apa pun, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Paul menggambarkan dirinya sebagai seorang atlet yang bersaing memperebutkan hadiah mahkota dalam kekekalan. Maksudnya adalah agar orang percaya mengejar kesalehan, dan kebaikan orang lain, dengan komitmen dan disiplin seperti seorang atlet.

Paulus mempraktikkan pengendalian diri dengan cara yang hampir sama seperti seorang atlet dalam latihan yang terus mendisiplinkan tubuhnya dengan pengendalian diri yang ketat terhadap pola makan, olahraga, tidur, dan perilaku lainnya. Istilah Yunani yang Paulus gunakan untuk “disiplin” di sini adalah hypōpiazō. Paul mengatakan dia melatih tubuhnya dengan keras seperti seorang petinju, untuk menguatkan dirinya demi stamina rohaninya.

Paul tetap mau dalam latihan yang berkelanjutan karena dia tidak ingin didiskualifikasi. Apa artinya? Apakah ia takut tidak dapat masuk surga jika ia gagal? Bukan! Ia tidak kuatir tentang kehilangan keselamatannya akibat dosa. Ajaran Paulus sendiri sangat jelas bahwa keselamatan orang Kristen adalah sebuah anugerah, bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha yang keras (Efesus 2:8-9). Jadi, hadiah yang diharapkan Paulus tentunya adalah mahkota penghargaan dari Kristus yang telah ia layani dengan baik.

Sekalipun demikian, banyak orang percaya berpendapat bahwa orang Kristen bisa kehilangan keselamatan karena ada beberapa teks Perjanjian Baru yang sepertinya menunjukkan bahwa hal ini bisa terjadi, misalnya, kata-kata Paulus dalam 1 Timotius 1:18–20:

“Tugas ini kuberikan kepadamu, Timotius anakku, sesuai dengan apa yang telah dinubuatkan tentang dirimu, supaya dikuatkan oleh nubuat itu engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni.  Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka di antaranya Himeneus dan Aleksander, yang telah kuserahkan kepada Iblis supaya jera mereka menghujat.”

Di sini, di tengah-tengah instruksi dan teguran yang berhubungan dengan kehidupan dan pelayanan Timotius, Paulus memperingatkan Timotius untuk menjaga iman dan menjaga hati nurani yang baik, dan untuk diingatkan kepada mereka yang tidak melakukannya. Rasul Paulus merujuk pada orang-orang yang membuat “iman mereka kandas,” yaitu orang-orang yang “diserahkannya kepada iblis agar mereka belajar untuk tidak menghujat.” Poin ini mengacu pada pengucilan Paulus terhadap orang-orang ini, dan seluruh bagian ini menggabungkan peringatan serius dengan contoh nyata tentang mereka yang sangat murtad dari pengakuan Kristen mereka.

Secara teologis, istilah “menghujat” termasuk dalam konsep kemurtadan. Istilah ini berasal dari kata Yunani apostasia yang berarti “menjauhi”. Ketika kita berbicara tentang mereka yang murtad atau telah melakukan penghujatan, yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berontak atau setidaknya mengingkari pengakuan iman mereka kepada Kristus yang pernah mereka buat.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengaku percaya bisa jatuh dan terjatuh secara radikal. Kita memikirkan orang-orang seperti Petrus, misalnya, yang menyangkal Kristus. Namun fakta bahwa Petrus kemudian dipulihkan menunjukkan bahwa tidak semua orang yang mengaku percaya dan jatuh, kemudian tidak dapat kembali lagi. Pada titik ini, kita harus membedakan kejatuhan yang serius dan radikal dari kejatuhan yang total dan final. Para teolog mencatat bahwa Alkitab penuh dengan contoh orang percaya sejati yang jatuh ke dalam dosa besar dan bahkan tidak bertobat dalam waktu lama. Jadi, umat Kristiani memang bisa jatuh dan bahkan secara radikal.

Apa yang lebih serius daripada penyangkalan Petrus di muka umum terhadap Yesus Kristus? Bukankah itu serupa dengan keengganan kita untuk berkomitmen kepada kebenaran Kristus? Kita tidak tahu bagaimana orang yang tidak berkomitmen kemudian menjadi orang yang jatuh secara total dan final. Kita tidak tahu apakah orang-orang yang benar-benar bersalah atas kejatuhan ini sudah terjatuh dan hilang selamanya, atau apakah kejatuhan ini hanya sebuah kondisi sementara yang, pada analisa akhir, akan diperbaiki dengan pemulihan mereka? Hanya Tuhan yang dapat melihat jiwa itu, mengubah jiwa itu, dan memelihara jiwa itu. Dalam kasus orang seperti Petrus, kita melihat bahwa kejatuhannya dapat diatasi melalui pertobatannya. Ini jugalah yang mendorong kita untuk giat mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Namun, bagaimana dengan mereka yang akhirnya murtad? Apakah mereka benar-benar beriman?

Jawaban kita terhadap pertanyaan ini adalah “tidak”. Mereka bukan orang Kristen sejati. Ayat 1 Yohanes 2:19 berbicara tentang guru-guru palsu yang keluar dari gereja karena tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari gereja. Yohanes menggambarkan kemurtadan orang-orang yang telah membuat pengakuan iman namun tidak pernah sungguh-sungguh bertobat. Kita tahu bahwa Allah memuliakan semua orang yang dibenarkan-Nya (Roma 8:29-30). Karena itu, jika seseorang mempunyai iman sejati sebagai karunia Tuhan yang menyelamatkan dan dibenarkan, maka Tuhan sendiri akan memelihara kehidupan orang tersebut.

Sementara itu, kalau orang yang terjatuh atau tidak berkomitmen selama hidup di dunia, bagaimana kita tahu kalau dia sudah murtad? Satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh siapa pun di antara kita adalah membaca hati orang lain. Ketika kita melihat seseorang yang telah membuat pengakuan iman dan kemudian menolaknya, kita tidak tahu apakah dia benar-benar orang yang sudah dilahirkan kembali, yang berada di tengah-tengah proses kejatuhan yang serius dan radikal, namun pada suatu saat di masa depan pasti akan mengalami kemerosotan. Kita tidak dapat menerka kehendak Tuhan dalam pemulihan di masa depan; atau apakah Tuhan membiarkan orang yang belum pernah benar-benar bertobat, yang pengakuan imannya sudah salah sejak awal, yang tidak mau berkomitmen kepada-Nya. Itu adalah hak Tuhan.

Pertanyaan apakah seseorang bisa kehilangan keselamatannya bukanlah pertanyaan abstrak. Hal ini menyentuh kita pada inti kehidupan Kristiani kita, tidak hanya berkaitan dengan kepedulian kita terhadap ketekunan dan komitmen kita sendiri, namun juga berkaitan dengan kepedulian kita terhadap keluarga dan teman-teman kita, khususnya mereka yang tampaknya, secara lahiriah, telah berbuat baik. pengakuan iman yang sejati. Kita mengira pengakuan mereka dapat dipercaya, kita menganggap mereka sebagai saudara, namun ternyata mereka bisa saja menolak keyakinan tersebut.

Secara praktis, apa yang kita lakukan dalam situasi seperti itu? Pertama, kita harus rajin berdoa, dan kemudian, kita menunggu. Kita tidak tahu hasil akhir dari situasi ini, dan mungkin terkejut ketika kita sampai ke surga. Kita akan terkejut melihat orang-orang di sana yang kita pikir tidak akan ada di sana, dan kita akan terkejut bahwa kita tidak melihat orang-orang di sana yang kita yakini akan ada di sana. Tidak mungkin kita mengetahui status batin hati manusia atau jiwa manusia. Hanya Tuhan yang dapat melihat jiwa itu, mengubah jiwa itu, dan memelihara jiwa itu. Bagi kita, yang paling penting adalah jangan sampai kita terkejut menemukan diri kita sendiri ternyata tidak masuk ke surga karena tidak adanya komitmen untuk hidup sebagai umat-Nya.

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7:21-23

Kasih tanpa Humanisme?

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” 1 Korintus 13:13

Humanisme adalah pemikiran filsafat yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal. Sebagian orang Kristen menolak ajaran humanisme dalam segala bentuknya, terutama mereka yang kurang menekankan pentingnya hidup dan perbuatan baik orang Kristen di dunia.

Sebenarnya, ada berbagai jenis humanisme. Humanisme klasik, yang dikaitkan dengan Renaisans, menekankan estetika, kebebasan, dan studi tentang “humaniora” (sastra, seni, filsafat, dan bahasa klasik Yunani dan Latin). Humanisme sekuler menekankan potensi manusia dan pemenuhan diri sampai pada titik mengesampingkan semua kebutuhan akan Tuhan; ini adalah filosofi naturalistik yang didasarkan pada akal, sains, dan pemikiran yang membenarkan tujuan. Pada pihak yang lain, humanisme Kristen mengajarkan bahwa kebebasan, hati nurani individu, dan kebebasan intelektual sejalan dengan prinsip-prinsip Kristen dan bahwa Alkitab sendiri mendukung pemenuhan kebutuhan manusia—berdasarkan keselamatan Tuhan di dalam Kristus dan tunduk pada kendali kedaulatan Tuhan atas alam semesta.

Humanisme Kristen mewakili kesatuan filosofis agama Kristen dan prinsip-prinsip humanis klasik. Sementara para humanis klasik mempelajari tulisan-tulisan Yunani dan Latin, para humanis Kristen mempelajari tulisan-tulisan Ibrani dan Yunani yang alkitabiah, bersama dengan tulisan-tulisan para bapa gereja mula-mula. Humanisme Kristen, seperti humanisme klasik, mengejar akal, penyelidikan bebas, pemisahan gereja dan negara, dan cita-cita kebebasan. Humanis Kristen berkomitmen pada pendidikan dan pengembangan serta penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Humanisme Kristen mengatakan bahwa segala kemajuan dalam ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan kebebasan individu harus digunakan untuk mengabdi pada umat manusia demi kemuliaan Tuhan. Ini adalah mandat budaya dari Tuhan kepada umat-Nya.

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Kolose 3:23 TB

Istilah humanisme Kristen telah digunakan untuk merujuk pada berbagai pandangan, beberapa di antaranya lebih alkitabiah dibandingkan yang lain. Secara umum humanisme adalah suatu sistem pemikiran yang berpusat pada nilai-nilai, potensi, dan nilai kemanusiaan; humanisme menaruh perhatian pada kebutuhan dan kesejahteraan umat manusia, menekankan nilai intrinsik individu, dan memandang manusia sebagai agen yang otonom, rasional, dan bermoral. Sejauh mana sudut pandang luas ini diintegrasikan dengan kepercayaan Kristen menentukan dengan tepat bagaimana humanisme Kristen alkitabiah.

Humanisme Kristen berpendapat bahwa manusia mempunyai martabat dan nilai karena manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27). Sejauh mana manusia bersifat otonom, rasional, dan bermoral merupakan cerminan dari penciptaan mereka sebagai gambar Allah (imago Dei). Nilai kemanusiaan diasumsikan di banyak tempat dalam Kitab Suci: dalam inkarnasi Yesus (Yohanes 1:14), belas kasihan-Nya terhadap manusia (Matius 9:36), perintah-Nya untuk “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:31), dan Perumpamaannya tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30–37). Singgungan Paulus terhadap tulisan-tulisan sekuler (Kisah 17:28; Titus 1:12) menunjukkan nilai pendidikan klasik dalam menyajikan kebenaran.

Berbeda dengan humanisme sekuler, kaum humanis Kristen menekankan perlunya menerapkan prinsip-prinsip Kristen dalam setiap bidang kehidupan, baik publik maupun pribadi. Humanisme Kristen menganggap prinsip-prinsip humanis seperti martabat manusia universal, kebebasan individu, dan pentingnya kebahagiaan sebagai komponen esensial dan prinsipal atau bahkan eksklusif dari ajaran Yesus. Sebagian orang Kristen tidak menyadari hal ini dan bahkan menolaknya karena berbau jasmani. Memang kita harus menyadari bahwa Humanisme tidak menyelamatkan, karena imanlah yang membawa keselamatan. Tetapi iman yang sejati akan melahirkan humanisme Kristen.

“Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Yakobus 2: 14-17

Kaum humanis Kristen memahami bahwa semua kekayaan hikmat dan pengetahuan tersembunyi di dalam Kristus (Kolose 2:3) dan berusaha untuk bertumbuh ke dalam pengetahuan penuh tentang setiap hal yang baik untuk pelayanan Kristus (Filipi 1:9; 4:6; Kolose 1 :9). Tidak seperti kaum humanis sekuler yang menolak gagasan kebenaran yang diwahyukan, kaum humanis Kristen menganut Firman Tuhan sebagai standar yang mereka gunakan untuk menguji kualitas segala sesuatu. Para humanis Kristen menghargai budaya manusia namun mengakui dampak niskala (yaitu, intelektual) dari sifat kejatuhan manusia (1 Korintus 1:18-25) dan kehadiran sifat dosa dalam setiap hati manusia (Yeremia 17:9). Humanisme Kristen mengatakan bahwa manusia mencapai potensi penuhnya hanya jika ia memiliki hubungan yang benar dengan Kristus. Pada saat diselamatkan, ia menjadi ciptaan baru dan dapat mengalami pertumbuhan dalam segala bidang kehidupan (2 Korintus 5:17).

Humanisme Kristen mengatakan bahwa setiap usaha dan pencapaian manusia harus berpusat pada Kristus. Segala sesuatu harus dilakukan untuk kemuliaan Allah dan bukan untuk kesombongan atau menonjolkan diri (1 Korintus 10:31). Kita harus berusaha untuk melakukan yang terbaik secara fisik, mental, dan rohani dalam segala hal yang Tuhan ingin kita lakukan dan lakukan. Kaum humanis Kristen percaya bahwa hal ini mencakup kehidupan intelektual, kehidupan seni, kehidupan rumah tangga, kehidupan ekonomi, politik, hubungan ras, dan pekerjaan lingkungan.

Humanisme Kristen percaya bahwa gereja harus terlibat secara aktif dalam kebudayaan dan bahwa umat Kristen harus menjadi suara yang menegaskan nilai dan martabat kemanusiaan sambil mengecam, memprotes, dan membela diri terhadap semua pengaruh yang tidak manusiawi di dunia. Humanisme Kristen bersifat alkitabiah sejauh ia berpegang pada pandangan alkitabiah tentang manusia—agen moral yang bertanggung jawab, diciptakan menurut gambar Allah namun jatuh ke dalam dosa. Humanisme Kristen menjadi kurang Kristen jika makin berkompromi dengan humanisme sekuler, yang mengangkat umat manusia ke status ketuhanan. Bagaimana Anda menerapkan humanisme dalam hidup sehari-hari? Apakan Anda ingin mengasihi Tuhan dan sesama tanpa menghargai humanisme? Itu tidak mungkin bisa.

Sambutlah uluran tangan-Nya

“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” Matius 7:13-14

Saat Yesus mendekati akhir dari Khotbah di Bukit (Matius 5:1-2), Dia menjelaskan serangkaian pilihan yang harus diambil oleh para pendengar-Nya. Mereka harus memilih apa yang baik dengan bimbingan Tuhan, tetapi bukan hanya menantikan keajaiban Tuhan. Pilihan yang pertama adalah gerbang sempit yang membuka jalan yang lebih sulit (kebenaran Tuhan), dan yang lain adalah gerbang lebar yang menuju jalan yang mudah (kebenaran manusia). Meskipun analogi ini sengaja dibuat sederhana, namun mengandung beberapa lapisan makna.

Dalam konteks ajaran Yesus dalam Matius 5-7, jelas bahwa Dia menunjuk jalan yang sempit itu pada diri-Nya sendiri dan ajaran-Nya tentang kebenaran rohani sebagai “gerbang sempit”. Ia juga mengindikasikan bahwa hal ini membuka jalan yang sulit untuk diterima dan dijalani. Dengan kata lain, mereka yang mengikuti-Nya harus memahami bahwa mereka memilih jalan yang sulit menurut sudut pandang duniawi (Matius 5:10-12). Menjadi orang Kristen sejati memang bukan sesuatu yang mudah dijalani.

Ayat ini menyebabkan beberapa orang mempertanyakan kebaikan Tuhan. Jika Dia benar-benar ingin menyelamatkan semua orang, mengapa Dia tidak mempermudah mereka untuk diselamatkan? Mengapa Dia tidak membiarkan semua orang masuk surga? Mengapa Ia justru membuat jalan keselamatan itu sangat sempit sehingga banyak orang yang tidak menyukainya?

Pilihan yang akan diambil kebanyakan orang adalah gerbang lebar menuju jalan yang mudah. Gambaran gerbang yang “lebar” menyiratkan sesuatu yang mudah dilihat, dan mudah untuk dilewati. Hal ini juga menunjukkan sesuatu yang mengakomodasi preferensi kita: gerbang lebar memberi kita lebih banyak pilihan mengenai cara melewatinya dibandingkan gerbang sempit. Karena apa yang ada di balik gerbang itu tampaknya mudah, itulah pilihan yang akan diambil kebanyakan orang. Orang tidak memikirkan bahwa apa yang dapat dilakukan dengan usaha sendiri tidak akan membawa ke arah kebenaran. Hal ini mempunyai implikasi yang menyedihkan dan menyayat hati bagi nasib kekal kebanyakan orang.

Sebenarnya, Matius 7:7–14 menggambarkan Allah sebagai Bapa yang murah hati yang ingin sekali memberikan pemberian yang baik kepada anak-anak-Nya yang berdoa. Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk terus meminta dan mencari, dengan keyakinan bahwa mereka akan menerima dan menemukan. Jalan Yesus dimulai dengan memasuki gerbang sempit dan terus menyusuri jalan sulit menuju kehidupan. Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk mengambil jalan itu, bukan jalan mudah yang menuju kehancuran.

Sebagian yang Yesus maksudkan sebagai orang yang memilih jalan yang mudah adalah mereka yang akan terus mengikuti ajaran para pemimpin agama Israel, ahli-ahli Taurat, dan orang-orang Farisi. Ajaran mereka yang legalistik menuntut perubahan lahiriah yang meningkatkan ketaatan terhadap peraturan. Hal ini “lebih mudah”, karena hanya mengharuskan seseorang untuk berpura-pura menjadi orang benar atau yakin bahwa mereka orang benar. Orang akan merasa bahwa dengan berbuat baik mereka akan dapat membuat Tuhan merasa puas atas “kebaikan’ mereka. Yesus memperingatkan para pengikut-Nya bahwa ini adalah jalan yang terlalu mudah dan mengarah pada kehancuran kekal. Keyakinan akan kebaikan diri sendiri justru membuat mereka tidak sadar akan kebusukan hidup mereka.

Yesus memerintahkan para pendengar-Nya untuk tidak mengucapkan penilaian yang dangkal atau palsu seperti itu. Ia menggambarkan Allah sebagai Bapa yang murah hati dan ingin memberikan hal-hal yang baik kepada anak-anak-Nya ketika mereka menaati perintah-Nya. Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk memilih gerbang yang sempit dan menempuh jalan yang sulit menuju kehidupan. Ini bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh nabi-nabi palsu.

Nabi palsu dapat dikenali dari buahnya, yaitu tindakan dan pilihannya. Di zaman ini, paling tidak ada dua macam nabi palsu yang sering kita lihat: mereka yang mengajarkan bahwa keselamatan harus kita capai dengan berbuat baik, dan yang lain adalah mereka yang mengajarkan bahwa keselamatan sudah diberikan Tuhan dan tidak membutuhkan respon kita.

Ketika kita membaca kata sempit, kita cenderung mengasosiasikannya dengan hal yang merugikan. Kedengarannya seolah-olah Tuhan telah menilai kita semua melalui syarat penerimaan tertentu dan hanya mengijinkan segelintir orang saja untuk memasuki hadirat-Nya. Namun, beberapa ayat sebelumnya, Yesus telah mengatakan kepada pendengar yang sama, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” (Matius 7:7-8). Yesus menjelaskannya: jalan menuju kehidupan kekal terbuka bagi setiap orang yang mau bertobat dan meminta bimbingan untuk bisa memilih jalan yang benar, yang sudah disediakan Tuhan.

Gerbang ke surga itu “sempit” dalam artian ada persyaratan khusus untuk masuk: iman kepada Yesus Kristus. Keselamatan hanya ditemukan dalam pribadi Yesus Kristus; Dialah satu-satunya jalan (Yohanes 14:6). Sebaliknya, gerbang yang “lebar” tidaklah eksklusif; hal ini memungkinkan upaya manusia dan semua agama lain di dunia. Dalam hal ini, memang ada banyak jalan ke Roma, tetapi hanya satu jalan ke surga!

Yesus berkata bahwa gerbang sempit itu membawa kita ke jalan yang “sulit”, yaitu jalan yang akan membawa kita melewati kesukaran dan keputusan sulit. Mengikuti Yesus mengharuskan kita menyalibkan daging kita (Galatia 2:20; 5:24; Roma 6:2), hidup dengan iman (Roma 1:17; 2 Korintus 5:7; Ibrani 10:38), menanggung pencobaan dengan kesabaran seperti Kristus (Yakobus 1:2–3, 12; 1 Petrus 1:6), dan menjalani gaya hidup yang terpisah dari dunia (Yakobus 1:27; Roma 12:1–2). Saat dihadapkan pada pilihan antara jalan sempit dan bergelombang atau jalan raya lebar beraspal, kebanyakan dari kita memilih jalan yang lebih mudah. Sifat manusia tertarik pada kenyamanan dan kesenangan. Ketika dihadapkan pada kenyataan menyangkal diri untuk mengikuti Yesus, kebanyakan orang berpaling (Yohanes 6:66). Yesus tidak pernah menutup-nutupi kebenaran, dan kenyataannya tidak banyak orang yang bersedia membayar harga untuk mengikuti-Nya. Itu adalah kesalahan mereka sendiri.

Allah menawarkan keselamatan kepada setiap orang yang mau menerimanya (Yohanes 1:12; 3:16-18; Roma 10:9; 1 Yohanes 2:2). Tapi itu sesuai dengan ketentuan-Nya. Kita harus menempuh jalan yang telah Dia sediakan. Kita tidak dapat menciptakan jalan kita sendiri atau datang kepada Tuhan yang kudus berdasarkan usaha kita sendiri. Dibandingkan dengan kebenaran-Nya, kita semua kotor (Yesaya 64:6; Roma 3:10). Tuhan tidak bisa begitu saja memaafkan atau mengabaikan dosa kita. Dia penyayang, tapi Dia juga adil. Keadilan Tuhan mengharuskan dosa dibayar. Dengan harga yang mahal bagi diri-Nya sendiri, Dia membayar harga tersebut (Yesaya 53:5; 1 Yohanes 3:1, 16; Mazmur 51:7). Tanpa darah Yesus yang menutupi dosa kita, kita bersalah di hadapan Allah (Roma 1:20).

Jika jalan menuju Tuhan tertutup sepenuhnya, dosa kitalah menjadi penghalangnya (Roma 5:12). Tidak ada seorang pun yang berhak mendapat kesempatan kedua. Kita semua berhak untuk tetap berada di “jalan lebar yang menuju kehancuran”. Namun Allah cukup mengasihi kita sehingga memberikan kesempatan untuk memilih jalan menuju kehidupan kekal (Roma 5:6-8). Namun, Dia juga tahu bahwa di dunia kita yang egois dan penuh dosa, tidak banyak orang yang menginginkan Dia – untuk datang kepada-Nya sesuai dengan persyaratan-Nya (Yohanes 6:44, 65; Roma 3:11; Yeremia 29:13) . Setan telah membuka jalan menuju neraka dengan godaan daging, ketertarikan duniawi, dan kompromi moral. Setan juga mengatakan bahwa hidup bermoral tidaklah perlu untuk orang yang sudah diselamatkan karena bukan moral yang menyelamatkan.

Kebanyakan orang membiarkan nafsu dan keinginannya menentukan jalan hidup mereka. Mereka memilih kesenangan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan pengorbanan diri yang dituntut dalam mengikut Yesus (Markus 8:34; Lukas 9:23; Matius 10:37). Gerbang sempit diabaikan. Kebanyakan orang lebih suka menciptakan agama mereka sendiri dan merancang dewa-dewa mereka sendiri. Jadi dengan penuh duka, bukan diskriminasi, Yesus menyatakan bahwa jalan menuju kehidupan kekal itu “sempit, dan hanya sedikit yang menemukannya”. Semoga kita sadar bahwa untuk menyambut tawaran keselamatan dari Yesus kita harus mau mengambil keputusan untuk memilih jalan yag sempit, seperti apa yang sudah dibisikkan oleh Roh Kudus ke dalam hati kita. Jangan sampai kita yang merasa sudah diselamatkan kemudian ditolak-Nya karena kita tidak pernah menyambut uluran tangan-Nya.