Kesibukan orang Kristen sejati

Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” Lukas 10: 41 – 42

Baru saja tahun baru, sekarang bulan Februari hampir berlalu. Saya yakin jika bulan Juli datang, banyak orang yang akan berkata “tak terasa setengah tahun sudah berlalu”. Memang dengan kesibukan hidup, hari berlalu dengan cepat dan usia pun bertambah tanpa terasa. Memikirkan hari-hari yang telah lalu atau tahun-tahun yang sudah silam, terkadang saya merenung. Seperti pemazmur dalam Mazmur 102: 11, saya berpikir dalam-dalam: “Hari-hariku seperti bayang-bayang memanjang, dan aku sendiri layu seperti rumput”.

Memang dengan terbatasnya waktu dan umur yang dimiliki manusia, setiap orang tentunya ingin secepatnya mencapai apa yang diharapkan. Selagi masih bisa, manusia harus berusaha. Tetapi, dengan berlalunya waktu terkadang kita merasa adanya kemungkinan bahwa beberapa hal yang kita ingini, mungkin tidak bisa tercapai.  Dengan demikian timbullah berbagai pertanyaan. Jika kita dapat mengulangi hidup kita, apakah kita akan menempuhnya dengan cara yang berbeda atau dengan cara yang sama? Jika kita menempuh hidup yang penuh kesibukan, apakah semuanya itu sudah membawa kepuasan dan keberhasilan?

Jika jujur, semua orang tentunya mengaku adanya cita-cita atau keinginan yang mungkin tidak akan tercapai sampai akhir hayatnya. Sebagian orang mungkin bisa menerima kenyataan itu tanpa menjadi kecewa, tetapi banyak juga orang yang menyesali apa yang terjadi pada masa yang silam. I wish I could do that! Aku sebenarnya ingin seperti itu! Begitulah kata orang yang sedih mengapa orang lain bisa, sedangkan ia sendiri tidak mampu. Walaupun begitu, ada juga orang yang sekalipun pernah kecewa, merasa bahwa semua yang terjadi sudahlah ditentukan Tuhan. Sudah nasib. Karena itu buat apa dipikirkan lagi? I am what I am. Aku adalah sebagaimana adanya.

Dalam ayat diatas, Yesus menegur Marta yang kecewa karena saudaranya, Maria, tidak mau membantu dia mempersiapkan makanan di dapur. Selagi Marta sibuk melayani, Maria duduk dekat kaki Yesus dan sibuk mendengarkan suara Yesus. Marta dalam kesibukannya merasa bahwa waktu-waktu berlalu dengan cepat dan ia  kuatir kalau-kalau ia tidak dapat menangani apa yang perlu dikerjakan. Pada pihak yang lain, Maria sibuk mendengarkan pengajaran Yesus dengan penuh perhatian sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Baik Maria maupun Marta mengasihi Yesus, dan mempunyai kesibukan hidup. Bagi keduanya waktu berlalu dengan cepat, tetapi kesibukan yang satu membawa kedamaian sedangkan yang lain membawa kekuatiran dan juga iri hati.

Hari ini, jika kita hidup seperti Marta, mungkin kita bisa melihat adanya saudara-saudara seiman kita yang seperti Maria , terlihat bahagia dan damai hidupnya.  Mereka kelihatannya tidak sibuk dan kurang peduli akan keramaian, kemewahan, kesibukan orang disekitarnya. Mungkin kita bertanya-tanya apa sebabnya. Sangat mudah bagi kita untuk menuduh orang-orang yang sedemikian sebagai orang-orang yang malas, kurang bersemangat atau kurang mau untuk berhasil.  Tetapi, mungkin saja mereka itu adalah orang-orang yang lebih berbahagia daripada kita yang selalu sibuk.  Bagi kita yang selalu sibuk bekerja, sibuk mencari uang, mencari nama, dan mencari kepuasan hidup yang lain, waktu berlalu dengan cepat dan kita bertanya-tanya kemanakah perginya. Seperti Marta yang sibuk melayani, mungkin hidup kita terasa berat. Lebih dari itu, Marta tidak sadar bahwa dari awalnya Tuhan mengharapkan ketaatan manusia kepada Firman-Nya.

Firman Tuhan diatas mengingatkan kita bahwa sudah sewajarnya bahwa manusia mempunyai berbagai kesibukan di dunia ini. Adalah normal jika waktu berlalu dan kita merasa bahwa kita belum atau tidak bisa mencapai target hidup kita. Walaupun demikian, Yesus mengingatkan kita untuk memakai waktu kita dengan bijaksana, agar kita bisa memilih apa yang terbaik untuk hidup kita. Jika kita yakin bahwa kita adalah orang pilihan, bukannya kita boleh melakukan apa saja karena keselamatan kita sudah terjamin. Sebaliknya, kita harus mau untuk membina hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesama kita. Kita harus memilih apa yang membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati, apa yang membuat waktu berlalu dengan cepat, tetapi yang juga membuat kita makin ingin untuk lebih dekat kepada Tuhan selama kesempatan masih ada di dunia.

Siapakah yang akan ditolak Tuhan?

“Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu jug? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7: 22-23

Bagi sebagian orang Kristen, pertanyaan apakah dirinya akan diterima untuk masuk ke surga mungkin terkadang timbul. Menurut sumber-sumber Kristen, mereka yang mementingkan kedaulatan Tuhan, justru sering mempertanyakan apakah mereka memang orang pilihan. Itu karena mereka percaya bahwa manusia tidak mempunyai peran apa pun dalam keselamatan. Sebaliknya, mereka yang menekankan kehendak bebas, sering merasa yakin akan keselamatannya jika cara hidupnya dirasa cukup baik. Dalam hal ini, orang Kristen sering tidak sadar bahwa keselamatan tidak bisa dijamin sekalipun kita yakin sudah dipilih atau yakin sudah sering berbuat baik. Lalu bagaimana kita mendapat keyakinan bahwa kita sudah diselamatkan?

Ayat-ayat di atas sering dikumandangkan di gereja untuk memperingatkan umat Kristen bahwa tidak semua orang yang merasa sudah dipilih atau yang merasa sudah hidup menurut firman akan diselamatkan. Bagaimana bisa begitu? Dikatakan bahwa Tuhan akan menolak mereka dan berkata; Aku tidak pernah mengenal kamu! Ini adalah aneh karena Tuhan yang mahatahu seharusnya tahu dan mengenali setiap umat-Nya.

Jika kita baca lagi ayat-ayat di atas, kita akan bisa mengerti bahwa Tuhan sama sekali tidak kaget dengan adanya orang-orang yang bukan umat sejati. Mengenal dalam hal ini menunjuk pada adanya hubungan erat. Hubungan antara dua pihak sudah tentu melibatkan komunikasi dua arah. Jika seseorang memilih untuk tidak peduli kepada Tuhan, hubungan antara dia dan Tuhan adalah kosong dan karena itu Tuhan tidak menganggap orang itu sebagai umat-Nya.

“Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Yohanes 10: 14-15

Ketika Yesus berkata, “Aku tidak pernah mengenalmu,” kepada orang yang berpura-pura percaya, maksud-Nya adalah bahwa Dia tidak pernah mengenali mereka sebagai murid sejati atau sahabat-Nya. Dia tidak pernah memiliki keserupaan dengan mereka atau menyetujui cara hidup mereka. Mereka bukan kerabat-Nya (Markus 3:34–35). Kristus tidak tinggal di dalam hati mereka (Efesus 3:17), dan mereka juga tidak memiliki pikiran-Nya (1 Korintus 2:16). Dalam semua hal ini dan lebih banyak lagi, Yesus tidak pernah mengenal mereka. Perhatikan bahwa Yesus tidak memutuskan hubungan di sini – memang tidak pernah ada hubungan yang harus diputuskan. Yesus bukan oknum yang menyebabkan mereka tidak mau membina relasi. Terlepas dari kata-kata mereka yang muluk-muluk dan semangat keagamaan yang mencolok, mereka tidak mau memiliki keintiman dengan Kristus.

Dalam kata-kata Yesus pada hari penghakiman, kita melihat beberapa kebenaran penting: bukanlah klaim lisan bahwa seseorang mengikuti Yesus yang menyelamatkan (Matius 7:21). Kekristenan nominal, atau sekadar menjadi orang Kristen menurut KTP, atau menjadi anggota gereja tertentu, tidak dapat menyelamatkan. Selain itu, ini bukanlah peragaan wawasan teologi atau kuasa rohani yang menyelamatkan (ayat 22). Seseorang bisa terlihat seperti orang Kristen di mata orang lain, namun tetap menjadi “pelaku kejahatan” di hadapan Tuhan dan dijauhkan dari hadirat-Nya (ayat 23). Hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa dan yang dikenal Tuhan yang akan masuk surga.

Kata-kata muram itu “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan” dalam Matius 7:23 justru menunjukkan bahwa Yesus memang mahatahu. Dia tahu apa yang ada dalam hidup dan hati kita. Kecaman Yesaya atas kemunafikan sangat cocok dengan kelompok ini: “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Yesaya 29:13). Pelaku kejahatan yang tidak dikenal Yesus adalah orang-orang Kristen palsu yang bukan pelaku firman. Orang-orang ini tidak pernah Ia kenal, dan tidak akan menghasilkan buah Roh (Galatia 5:22-23); sebaliknya, mereka akan menghasilkan sebaliknya, perbuatan daging (Galatia 5:19-21).

Yesus memperingatkan bahwa suatu hari Dia akan memberi tahu sekelompok praktisi agama, “Aku tidak pernah mengenalmu.” Tuhan tidak senang mengirim orang ke neraka (2 Petrus 3:9). Tetapi mereka yang disuruh pergi telah menolak tujuan dan rencana kekal Allah bagi hidup mereka (Lukas 7:30). Mereka menolak terang Injil (2 Korintus 4:4), memilih kegelapan, karena perbuatan mereka jahat (Yohanes 3:19). Pada penghakiman, mereka mencoba untuk membenarkan diri mereka sebagai layak surga atas dasar perbuatan mereka (nubuatan, pengusiran setan, mujizat, dll.), tetapi tidak seorang pun akan dibenarkan oleh perbuatannya sendiri (Galatia 2:16).

Malam ini, kita harus menyadari bahwa yang terpenting pada akhirnya bukanlah tingkat pengenalan kita akan Tuhan, tetapi apakah Tuhan mengenal kita. Seperti yang dijelaskan Paulus, “Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.” (1 Korintus 8:3). Sudahkah Anda mewujudkan kasih Anda kepada Allah dalam hidup sehari-hari?

Kesuksesan orang beriman

“Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” Filipi 1: 20

Apa yang ingin Anda capai selama hidup di dunia? Setiap orang tentunya mempunyai jawaban yang berbeda. Sekalipun ada orang yang menjawab bahwa ia adalah orang yang sederhana dan tidak mempunyai cita-cita yang tinggi, ia tentunya ingin menjadi orang yang berbahagia. Mungkin tidak banyak disadari orang, hidup berbahagia adalah suatu cita-cita yang sangat tinggi dan bahkan yang tersulit untuk dicapai. Banyak orang yang sukses dalam segala usahanya, tetapi tidak berbahagia sampai hari kematiannya.

Berapa lama manusia harus hidup untuk bisa mencapai kebahagiaan? Mungkin ada orang yang merasa sudah mencapai kebahagiaan, hanya untuk dikecewakan pada saat mendekati akhir hidupnya. Mungkin orang ingin hidup panjang karena ingin mempertahankan kebahagiaan yang dirasakannya. Mungkin tidak ada orang yang ingin mati setelah merasakan adanya kebahagiaan yang sudah lama dicarinya. Tetapi, ada juga orang yang tidak mau hidup lebih lama lagi karena kebahagiaan yang tidak kunjung datang. Bagaimana dengan diri Anda? Berapa lama Anda ingin hidup di dunia? Kita bisa menmikirkan suatu angka, tetapi sebagai orang Kristen, kita hanya bisa berserah kepada Tuhan yang menentukan saat di mana kita akan bertemu dengan Dia, yang akan memberikan kebahagiaan sejati di surga.

Dari segi kedokteran, umur seseorang umumnya bergantung pada faktor genetika dan lingkungan. Ada bangsa-bangsa tertentu, seperti bangsa Jepang, yang sejak dulu terkenal berumur panjang. Sebaliknya, ada juga bangsa yang mudah terkena penyakit tertentu, seperti diabetes, yang disebabkan oleh faktor genetika. Walaupun demikian, faktor lingkungan juga besar pengaruhnya. Mereka yang hidup sehat dalam lingkungan yang baik, biasanya bisa mempunyai umur yang lebih panjang dari mereka yang serumpun tetapi lingkungan hidupnya kurang sehat atau kurang aman.

Bagi banyak manusia kematian adalah sesuatu yang menakutkan karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi sesudahnya, baik bagi dirinya maupun keluarganya. Dengan demikian, adalah suatu yang lumrah jika orang tidak ingin cepat mati, tetapi sebaliknya ingin untuk berumur panjang. Sekalipun orang Kristen percaya bahwa mereka akan ke surga sesudah mati, kebanyakan mereka juga ingin untuk sebisa mungkin hidup lama bersama keluarga. Walaupun mereka tahu bahwa hal hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, mereka akan berusaha untuk hidup selama mungkin. Untuk bisa mempunyai umur panjang, mereka yang sadar akan berusaha untuk hidup sehat melalui makanan sehat, olahraga, cukup istirahat dan sedapat mungkin menghindari penyakit. Lalu apa yang akan mereka kerjakan jika dikaruniai hidup panjang?

Jika orang ditanya mengapa mereka ingin panjang umur, mungkin jawabnya adalah untuk mencapai kesuksesan, kebahagiaan, atau untuk menikmati hidup lebih lama bersama orang-orang yang dikasihi, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan di dunia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan di surga. Sungguh menarik, bahwa jarang orang Kristen yang menjawab bahwa mereka ingin hidup lebih lama untuk bisa makin memuliakan nama Tuhan di dunia. Bagi mereka, mungkin lebih penting untuk bisa menikmati berkat Tuhan lebih lama di dunia, dan bukan untuk lebih bersyukur kepada-Nya selama masih hidup.

Dalam ayat di atas, Paulus mengingatkan kita bahwa sebagai orang Kristen, kita sebenarnya tidak perlu mendanbakan umur panjang. Itu karena baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Dengan demikian, baik dalam hidup atau mati kita bisa berharap atas kasih-Nya. Memang, tidak ada salahnya jika orang ingin berumur panjang untuk menikmati apa yang baik. Tetapi apakah yang baik itu? Bagi orang Kristen sejati, hidup haruslah dipakai untuk menjauhi hal yang jahat dan untuk melakukan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama manusia. Orang pilihan Tuhan bukan hanya dipilih menjadi anak Tuhan, tetapi juga untuk menjadi serupa dengan Dia.

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Roma 8:29

Hidup orang Kristen dengan demikian seharusnya dipakai untuk melanjutkan tugas untuk menjadi terang dunia. Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati apa yang baik? Biarlah keinginannya dinyatakan kepada Tuhan dengan kemauan untuk tetap bisa menjadi umat Tuhan yang hidup untuk kemuliaan-Nya.

“Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup.” Roma 14: 8-9

Siapa yang sudah dipilih pasti mau menjadi serupa dengan Kristus

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Roma 8: 29

Ayat di atas adalah ayat yang cukup sering kita dengar, tetapi mungkin kurang difahami orang. Mengapa? Sebagian orang Kristen percaya bahwa sesudah dipilih Tuhan untuk menerima keselamatan, dosa mereka sudah sepenuhnya dihapuskan oleh darah Kristus. Jika keselamatan adalah dari Tuhan dan ditentukan Tuhan, seluruh hidup kita pun ditetapkan oleh-Nya. Karena itu, bagaimana pun kita berusaha untuk hidup baik, itu tidak akan tercapai jika itu tidak datang dari Tuhan. Lebih dari itu, ada orang Kristen yang percaya bahwa jika ada orang yang berusaha untuk hidup baik dan menekankan hidup baik, orang itu pasti belum percaya bahwa keselamatan hanya melalui karunia Tuhan dan bukan karena berbuat baik. Benarkah begitu?

Dan jika Anda berkata, “Sejujurnya saya tidak perlu menjadi seperti Kristus,” mungkin itu karena Anda sedang berpikir tentang keserupaan ini sedemikian rupa sehingga terlalu sempit. Yesus adalah Tuhan, dan sudah tentu kita tidak bisa menjadi seperti Dia. Tetapi, apakah Anda ingin ditolak oleh Hakim alam semesta dan dihukum dengan hukuman kekal karena Anda menolak Anak-Nya, atau apakah Anda ingin bangkit dari antara orang mati, dikasihi dan diterima seperti Kristus? Lebih dari itu: Apakah Anda mau menjadi serupa dengan Kristus semasa hidup di dunia, ketika Anda masih hidup? Semua itu bukanlah sebuah pertanyaan kecil.

Satu hal yang nampak jelas dari ayat di atas. Jika Anda percaya bahwa Tuhan sudah memilih Anda, Ia jugalah yang akan membuat Anda serupa dengan Kristus. Manusia tidak dapat menjadi serupa dengan Kristus dengan kemampuannya sendiri. Mengapa begitu? Roma 3:23 menyebut: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Walaupun demikian, Tuhan bisa mengubah diri dan hidup seseorang untuk menjadi baik.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8: 28

Dari ayat-ayat ini kita bisa melihat bahwa:

  • Allah memilih umat-Nya sesuai dengan rencana-Nya
  • Umat Tuhan adalah orang yang mengasihi Dia
  • Allah turut bekerja dalam segala sesuatu yang dilakukan umat-Nya
  • Allah mendatangkan kebaikan kepada umat-Nya

Sampai pikiran Anda dijadikan serupa dengan pikiran Kristus, ajaran dari ayat-ayat di atas ini mungkin akan menghasilkan konflik, bukan penghiburan. Anda mungkin merasa ragu bagaimana cara hidup dan prinsip hidup Anda bisa serupa dengan Kristus. Anda mungkin sudah berusaha, tetapi hasinya sampai sekarang belum menjadi kenyataan. Teks ini dimaksudkan untuk menghibur Anda dan menguatkan Anda serta meyakinkan Anda bahwa hal terbaik dan terburuk dalam hidup Anda akan bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi Anda, karena Anda mengasihi Kristus dan dipilih serta ditentukan dari semula untuk kemuliaan. Tetapi ayat-ayat itu hanya akan memiliki dampak jika Allah memberi Anda kebijaksanaan dan bimbingan Roh Kristus.

Ayat-ayat di atas bukan untuk menghukum mereka yang sedang mengalami pergumulan hidup. Tetapi sebaliknya, ayaet-ayat itu mendorong Anda bahwa untuk bisa berperilaku serupa dengan Yesus, haruslah ada peperangan seumur hidup dengan perilaku yang salah, dan untuk bisa menjadi beremosi serupa dengan Yesus perlu adanya peperangan seumur hidup dengan perasaan-perasaan yang salah, demikian juga agar menjadi berpikir serupa dengan Yesus merupakan peperangan seumur hidup dengan pemikiran yang salah. Menjadi serupa dengan Kristus tidak terjadi sekaligus, baik perilaku, ataupun emosi ataupun pikiran. Tetapi itu terjadi jika Anda mau mendengarkan dan melakukan pesan dari Roh Kudus yang sudah Anda miliki.

Hari ini, marilah kita berdoa untuk satu sama lain, agar dalam segala sesuatu Kristus dapat ditinggikan karena kita menjadi serupa dengan Dia, dan agar kita dapat menikmati jaminan besar yang karena pemilihan kita: yaitu segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Dan jika Anda bertanya-tanya: apakah saya ada di antara orang yang dipilih, yang ditentukan dari semula, dan yang dipanggil? Inilah cara Anda untuk dapat mengetahuinya: Apakah Anda melihat hidup dan karakter Yesus sebagai apa yang Anda diingini lebih dari apa pun yang lain, dan percaya bahwa kasih-Nya cukup untuk menyelamatkan Anda dari dosa Anda, serta memuaskan kehausan hati Anda untuk selamanya? Itu adalah tanda dari anak Allah yang sejati. Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya bisa menjadi anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Terimalah uluran tangan-Nya!

Jika kita hidup untuk Kristus, mati adalah keuntungan

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.” Filipi 1: 21-24

Meninggalnya seorang teman baik saya akibat kecelakaan jalan raya beberapa hari yang lalu telah membuat saya berpikir dalam-dalam. Kematian adalah sesuatu yang tidak terbayangkan sampai itu terjadi. Jika itu terjadi pada seseorang yang kita kenal, kita lagi-lagi diingatkan bahwa manusia sebenarnya tidak mempunyai kontrol atas umurnya. Memang bagi banyak orang, kematian berarti akhir dari kegiatan hidup dan karena itu mereka berusaha keras untuk menghindarinya untuk tetap bisa menjalani cara hidup yang disenangi mereka. Sebaliknya, umat Kristen percaya bahwa mereka tidak dapat memperpanjang hidup mereka sedetikpun, tetapi mereka bisa memutuskan apa yang bisa dilakukan selama hidup.

Keyakinan bahwa hidup di surga itu lebih baik dari hidup di dunia barangkali dipunyai oleh setiap orang percaya. Memang orang percaya bahwa dalam Kristus ada kebangkitan yang memungkinkan mereka untuk hidup bersama Kristus untuk selamanya. Walaupun demikian, mungkin tidak ada orang Kristen yang memilih untuk mati secepatnya. Kebanyakan orang Kristen mungkin mengakui bahwa saat untuk meninggalkan dunia ini ditentukan oleh Tuhan; tetapi, mereka akan memilih hidup panjang di dunia jika itu mungkin. Dalam hal ini, banyak orang Kristen merasa canggung untuk membicarakan hal kematian, karena kematian jasmani adalah suatu misteri yang tidak pernah dialami oleh orang yang masih hidup.

Apa yang harus dilakukan umat Kristen selama hidup? Sebagian orang Kristen percaya bahwa kata “harus” sudah tidak tepat karena penebusan melalui darah Kristus sudah melepaskan kita dari perlunya untuk berbuat sesuatu untuk Tuhan. Sebagian lagi percaya bahwa jika Tuhan ingin kita berbuat baik, Ia tentu akan membuat kita berbuat baik. Dengan demikian, sebagian orang Kristen merasa bahwa mereka tidak mampu atau pun perlu untuk memikirkan pentingnya bekerja untuk menghasilkan buah yang baik. Ini jelas tidak benar, karena dalam ayat di atas Paulus menulis bahwa hidup berarti bekerja untuk memberi buah bagi orang lain dan demi kemuliaan Tuhan. Pengertian Paulus tentang hidup ada karena ia sudah lahir baru dan disadarkan Tuhan bahwa hidup barunya adalah untuk menghamba pada Kristus.

Paulus juga menulis dalam ayat di atas bahwa mati adalah keuntungan. Mengapa demikian? Sebagai orang beriman, Paulus percaya bahwa karena imannya, ia sudah menerima keselamatan yang datang melalui darah Kristus. Tetapi, selama hidup di dunia, ia hanya bisa membayangkan keindahan surga. Hanya melalui kematian tubuh jasmaninya, ia akan menerima tubuh rohani yang abadi di surga. Membayangkan saat di mana ia bisa berjumpa muka dengan muka dengan Kristus, Paulus berkata bahwa ia akan merasa beruntung jika itu terjadi sekarang juga karena itu jauh lebih baik daripada hidup di dunia yang gelap ini. Tetapi, ia juga menulis bahwa lebih baik baginya untuk hidup supaya dapat membimbing orang lain.

Mereka yang siap untuk mati jasmani, seperti Paulus, adalah orang-orang beriman yang percaya bahwa iman mereka tidak sia-sia. Mereka akan menyambut kematian dengan tanpa rasa takut karena mereka sudah siap untuk menjumpai Tuhan yang mereka kasihi dan ingin hidup dalam kemuliaan-Nya di surga. Dua perikop kunci dalam tulisan Paulus adalah Filipi 1:21–23, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.” Paulus ditekan di antara keduanya. Keinginannya adalah pergi dan bersama Kristus, karena itu jauh lebih baik. Jadi ketika Paulus merenungkan kematiannya sendiri, dia menyebutnya “keuntungan”, bukan karena dia bukan berkhayal karena tidak memiliki pengalaman untuk itu. Inilah iman.

Jadi, hari ini kita boleh percaya bahwa orang Kristen memiliki penghiburan pada saat menunggu ajal atau sesudah meninggal dunia. Bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus, darah dan kebenaran Kristus telah menghapus penghukuman bagi mereka dan memastikan bahwa kebangkitan tubuh di langit baru dan bumi baru setelah kematian adalah pengalaman yang intim dan manis. Setelah meninggalkan dunia ini, kita akan berada di hadirat Kristus pada saat di antara kematian dan kebangkitan yang akan datang. Jika ada orang-orang beriman yang sudah membaktikan dirinya untuk Tuhan dan sesamanya selama hidup, kita tidak akan merasa terlalu sedih jika mereka meninggalkan kita. Waktunya sudah sampai, dan tugas mereka sudah selesai. Sebaliknya, kita patut merasa sedih jika ada orang Kristen yang masih takut akan kematian, atau masih menunda-nunda kesempatan untuk bekerja bagi Tuhan dan sesama.

Kita aman di dalam Dia sekarang, kita akan aman di hadapan-Nya pada saat kematian, dan kita akan sangat bahagia dalam tubuh yang baru dan sehat selama-lamanya di langit baru dan bumi baru. Bagaimana mungkin pengertian ini tidak akan mengubah cara hidup Anda semasa hidup di dunia? Setiap orang yang sadar akan arti kematian dalam Kristus tentu akan hidup sesuai dengan firman Tuhan untuk kemuliaan-Nya karena rasa syukur yang besar!

Antara percaya dan kenal

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: ”Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: ”Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” Matius 16: 15-17

Di banyak negara, adanya Tuhan secara resmi diakui. Bahkan ada negara-negara yang pemerintahannya berdasarkan agama tertentu, atau setidaknya berlandaskan kepercayaan bahwa Tuhan itu ada. Walaupun demikian, hal itu belum tentu menjamin bahwa negara-negara itu secara kolektif lebih baik dalam hal kesalehan dari negara lain. Memang, soal iman adalah soal pribadi, dan apa yang dipercayai oleh seseorang secara individual biasanya hanya berpengaruh pada hidupnya sendiri.

Sebenarnya, iman itu bisa diartikan secara luas. Ada orang yang percaya adanya Tuhan tanpa mengenal siapa Tuhannya. Pada pihak yang lain, ada orang yang tahu siapakah Yesus itu tetapi tidak percaya bahwa Ia adalah Tuhan. Lalu bagaimana orang bisa percaya dan mengenal Tuhan? Haruskah manusia kenal dan kemudian percaya? Ataukah orang harus lebih dulu percaya dan kemudian kenal? Yang benar adalah iman harus ada sebelum kenal. Pengenalan yang benar akan Tuhan baru terjadi setelah adanya iman.

“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.” Ibrani 11: 1-2

Rasul Paulus banyak menulis kepada jemaat mengenai soal kenal kepada Tuhan. Paulus berkata bahwa sekalipun banyak orang mengenal Tuhan, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Tuhan atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya hidup mereka dibaktikan kepada hal-hal  yang sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Memang, sekalipun dalam sebuah gereja firman Tuhan itu dikhotbahkan atau dipakai sebagai pedoman, itu tidak menjamin bahwa seluruh anggotanya mau memuliakan Tuhan dan hidup menurut jalan yang baik. Mengapa demikian? Karena mereka tidak benar-benar percaya adanya Tuhan yang menuntut mereka untuk memuliakan Dia dan bersyukur kepada-Nya setiap hari. Pengenalan yang keliru karena tidak adanya iman yang benar.

“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Roma 1: 21

Kepercayaan kepada adanya Tuhan sebenarnya adalah hal yang sulit untuk dijabarkan.  Karena itu ada banyak orang yang merasa beriman kepada Tuhan, tetapi sebenarnya tidak demikian. Mungkin mereka hanya kenal.Mengapa demikian? Yang pertama, adanya “tuhan” yang beraneka ragam menurut berbagai kepercayaan, bisa membuat bingung manusia. Manusia dengan demikian mungkin saja berbakti kepada “tuhan”  yang ada menurut pengertian, kebiasaan, atau adat-istiadat mereka saja. Kedua, seringkali “tuhan” yang dikenal manusia adalah oknum yang diharapkan untuk bisa memberi kehidupan yang nyaman kepada manusia. Tuhan untuk mereka bukanlah oknum yang mahakuasa dan mahasuci, yang membenci mereka yang merasa saleh tetapi tetap hidup dalam dosa. Dan yang ketiga, Tuhan bagi banyak umat manusia adalah oknum ilahi yang dapat dihampiri manusia dengan cara berbuat amal atau hidup menurut kaidah agama. Jelas, pengenalan manusia atas hal ilahi adalah sangat terbatas. Jika mereka tidak percaya atau beriman kepada Tuhan yang benar, pengenalan mereka akan Tuhan adalah terbatas.

Alkisah, menurut injil Matius 16, pada saat itu datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka agar mereka bisa percaya bahwa Ia adalah Tuhan. Tetapi Yesus menolak permintaan mereka. Kata-Nya: “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.” Lalu Yesus meninggalkan mereka dan memperingatkan murid-murid-Nya supaya mereka waspada terhadap terhadap ajaran orang Farisi dan Saduki yang menuntut tanda Ilahi sebagai syarat iman. Iman harus lebih dulu ada, sehinnga pengenalan akan tumbuh secara benar.

Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: ”Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: ”Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka: ”Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: ”Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” Jelaslah iman terjadi karena Tuhan yang lebih dulu menyatakan diri-Nya dalam hati kita, bukan karena usaha kita untuk mengenal Tuhan,

Hari ini, firman Tuhan memperingatkan kita, bahwa kita jika benar-benar mengenal Tuhan, itu adalah karena Tuhan sudah memanggil kita dan kemudian memberikan pengenalan secara pribadi kepada kita. Tuhan yang benar adalah Oknum yang mahakuasa dan mahasuci yang tidak dapat dicapai oleh usaha manusia sendiri. Hanya melalui darah Kristus, Tuhan bisa melupakan dosa-dosa yang pernah kita perbuat sehingga kita dapat mengenal Dia. Dengan pengampunan-Nya, kita harus mau  mempersilakan Dia untuk mengubah hidup kita; dari hidup lama yang mementingkan diri sendiri, menjadi hidup baru untuk memuliakan Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan yang benar adalah iman dan bukan agama, karena agama diciptakan manusia sedang iman adalah pemberian Tuhan. Karena itu, dalam hidup keKristenan, kita menjalankan firman Tuhan karena sebagai orang-orang yang sudah menerima keselamatan, dan kita mau memuliakan Tuhan. Perbuatan baik kita adalah tanda bahwa kita sudah kenal kepada Dia melalui iman yang benar dan bukan usaha untuk mendapatkan keselamatan di surga atau kenyamanan hidup di dunia.

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Matius 7: 21

Warisan untuk orang yang kita kasihi

“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Yohanes 14: 27

Jika tiba waktu anda untuk meninggalkan dunia ini, apakah yang akan anda wariskan kepada orang yang anda cintai? Pertanyaan ini mungkin lebih mudah dijawab oleh orang yang sudah berumur karena mereka yang masih muda mungkin berpikir bahwa mereka belum saatnya untuk memikirkan hal itu. Walaupun demikian, hari ini saya merasa sedih karena seorang teman baik saya sejak SMA sudah dipanggil Bapa secara tidak disangka, akibat kecelakaan jalan raya.

Tidak ada seorang pun yang tahu berapa lama ia akan hidup di dunia. Jika Tuhan sudah memanggil kita, kita tidak lagi memerlukan tubuh, kepandaian dan harta kita. Walaupun demikian, banyak orang yang mati-matian bekerja, bahkan sampai usia uzur, mungkin untuk mengumpulkan harta sebagai warisan bagi anak-anaknya. Pada pihak yang lain, ada orang-orang yang tidak dapat meninggalkan harta tetapi memberikan kenangan yang manis, yang tidak terlupakan, bagi mereka yang ditinggalkan. Mereka itu meninggalkan sesuatu yang tidak bisa dihabiskan oleh generasi penyambung.

Inilah yang saya rasakan berkenaan dengan berpulangnya teman saya yang sudah lama membaktikan diri tanpa pamrih sebagai Facility Manager di sebuah Universitas, sebagai pengurus di sebuah yayasan SMA, serta penatua sebuah gereja di Surabaya. Segala apa yang sudah disumbangkannya kepada masyarakat tidaklah dapat diukur secara jasmani, tetapi sungguh besar jika dinilai secara rohani, terutama karena teman saya ini juga memimpin katekisasi (pemuridan) di gerejanya. Melalui bimbingan Roh Kudus, banyak orang bisa diberinya pengarahan untuk mau dibaptis sebagai orang yang sudah diselamatkan.

Sungguh disayangkan bahwa di jaman modern ini, banyak orang yang memusatkan perhatian pada harta duniawi. Kekayaan, kepandaian, kemasyhuran dan lain-lain sering menjadi tujuan kerja keras mereka. Namun, pada akhirnya semua itu tidak bisa menunjang keselamatan dan kebahagiaan mereka.

Sekalipun warisan itu pada umumnya dimaksudkan untuk membahagiakan mereka yang diwarisi, ada kalanya warisan menjadi beban buat mereka. Misalnya pernah terjadi properti warisan orang tua ternyata mengundang pajak yang besar. Juga sering terjadi, anak yang tiba-tiba menerima warisan besar, hidupnya malah jatuh berantakan. Tentu saja keadaan yang demikian harus bisa kita hindari. Warisan harus sesuatu yang berharga, berguna, menolong, dan membahagiakan orang yang diberi, agar mereka bisa merasakan cinta kasih mereka yang memberi.

Jika kita memikirkan diri kita saat ini, adakah pemberian yang benar-benar berharga yang bisa kita harapkan dari seseorang dan akan membuat kita bahagia untuk selamanya? Tentu saja tidak ada. Lain halnya kalau Tuhan yang menjanjikan. Ayat di atas adalah janji Kristus sebelum meninggalkan murid-murid-Nya. Yesus berkata bahwa hanya Dia yang dapat menggenapi janji-Nya dengan memberikan damai sejahtera bagi umat-Nya.

Buat orang Kristen seperti kita, tidak ada sesuatu yang lebih berharga, lebih berguna, lebih menolong, dan lebih membahagiakan daripada harta surgawi, keselamatan yang kita terima melalui Yesus Kristus. Penebusan dosa kita memungkinkan Allah menerima kita sebagai anak-anak-Nya. Pengorbanan Kristus juga membuka mata rohani kita, memberikan kita kemampuan untuk melihat betapa besar kasih Allah kepada manusia.

Damai sejahtera yang diberikannya tidaklah seperti yang dijanjikan dan diberikan oleh dunia. Kebahagiaan dan damai sejahtera yang dijanjikan dunia adalah sebatas kemampuan manusia, dan sekalipun mereka yang paling kaya, paling bijaksana ata pun yang paling berkuasa, tidak akan dapat memberi kita sesuatu yang sempurna dan abadi.

Hari ini, marilah kita memikirkan apa yang pantas untuk ditinggalkan untuk orang-orang yang kita kasihi. Sesuatu yang benar-benar berharga, pasti berguna, sangat menolong, dan membawa kebahagiaan yang abadi bagi mereka. Hanya ada satu hal yang penting untuk mereka: Yesus. Marilah kita berdoa memohon agar Tuhan membimbing mereka dalam hidup mereka, memberikan iman yang teguh dan menumbuhkan kasih mereka kepada Tuhan dan sesama. 

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Matius 16:26

Mengapa setiap orang Kristen bertanggungjawab atas hidupnya

“Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” Roma 7: 18-19

Dalam ayat di atas, Paulus menggambarkan sebuah konflik antara apa yang ia inginkan dan apa yang ia lakukan. Jika ia menginginkan apa yang baik, ia justru melakukan apa yang tidak ia inginkan. Ada dua tafsiran dalam hal ini, yang pertama ialah bahwa Paul menyatakan keadaannya sebelum dia lahir baru. Tafsiran yang lain menyatakan bahwa ini adalah keluhan hidupnya setelah lahir baru. Penafsiran yang kedua adalah yang benar.

Dalam ayat Roma 7: 15 dia menggambarkan pergumulan itu: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” Dia ingin berbuat baik, tetapi dia akhirnya berbuat jahat. Dia memiliki pikiran yang ingin berbuat baik, tetapi tubuh yang jahat. Mengapa? Karena, seperti yang akan segera kita lihat, jika Roh Kudus merusaha membimbingnya, ada kekuatan lain yang bekerja di dalam dirinya.

“Dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Paulus mengklarifikasi pernyataannya dengan mengatakan bahwa dia berbicara tentang daging, sifat berdosa, bukan sifat barunya di dalam Kristus (Roma 7:20). Semua hal baik dalam kehidupan Paulus berasal dari Kristus yang hidup di dalam dirinya, bukan berasal dari Paulus sendiri. Yang baik datang dari sifat baru, yang buruk berasal dari yang lama, dan kehidupan Kristiani setiap umat percaya selalu menghadapi perjuangan melawan pengaruh yang lama. Karena itulah, selama hidup di dunia kita juga berjuang melawan pengaruh dosa.

Paulus adalah orang yang sudah lahir baru, tetapi dia bukannya tanpa dosa. Dia ingin berbuat baik, tetapi terkadang dia berbuat dosa. Dosa di dalam dirinya sering membajak keinginannya untuk mengikuti firman Tuhan, membuatnya melakukan hal-hal yang sebaliknya tidak ingin ia lakukan. Paulus meringkasnya dalam ayat 21-23: “Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” Sebagai seorang Kristen, dia ingin melakukan yang benar yang sesuai dengan petunjuk Roh Kudus, tetapi terkadang itu merupakan pergumulan.

Pikiran Paulus berperang melawan tubuhnya yang telah dipengaruhi oleh dosa. Ia sadar bahwa ia tidak boleh mendukakan Roh Kudus dan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya, tetapi ia sering merasa lemah. Meskipun dia ingin berbuat baik, namun dosa dalam dirinya terkadang menyebabkan dia melakukan hal-hal yang dia benci. Jadi dia mengeluh, seperti yang dia katakan dalam Roma 8:23, menunggu penebusan tubuhnya, kebangkitan dan kemenangan akhir atas sifatnya yang berdosa.

“Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” Roma 8: 22-23

“Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma 7:24). Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari sifat berdosa yang bergumul di dalam diriku? Paulus tahu dari mana pembebasannya akan datang: “Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita!” (Roma 7: 25a). Paulus, seperti kita, sedang dalam proses untuk dibebaskan dari dosa. Ini adalah perjuangan seumur hidup, tetapi kemenangan adalah pasti, terima kasih kepada Tuhan! Bagaimana itu bisa terjadi? Itulah yang dibahas Paulus di pasal 8 – hidup dalam Roh, meluas hingga kekekalan. Di situlah pertempurannya yang akan dimenangkan bersama Kristus.

Paulus mengakhiri pasal ini dengan ringkasan: “Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa” (Roma 7: 25b). Bahkan setelah dia berbicara tentang pembebasan yang diberikan kepadanya oleh Kristus, Paulus menggunakan metafora dari orang yang terbelah: ada aku yang sebenarnya, dan ada dosa yang tinggal di dalam aku. Ada perjuangan antara pikiran dan tubuh. Dia sudah menjadi hamba Kristus, tetapi terkadang dia gagal dan menjadi hamba dosa. Dia memiliki pikiran yang baru, tetapi tubuh yang tua, dan dia menantikan semua itu menjadi baru!

Beberapa orang Kristen tidak mengalami banyak pergumulan batin sebelum mereka menjadi percaya. Setelah percaya, mungkin mereka merasa cukup berhasil melakukan semua yang seharusnya mereka lakukan. Mereka tidak sadar bahwa selama hidup perjuangan melawan kedagingan selalu ada. Mereka mungkin tidak sadar bahwa jika mereka berhasil melaksanakan tugas mereka, Tuhanlah yang memungkinkan. Orang Kristen yang lain sering melayani dosa dan tidak bergumul melawannya. Mungkin mereka percaya bahwa semua itu sudah ditetapkan Tuhan, atau mereka merasa tidak perlu atau tidak bisa bertanggungjawab atas hidup mereka. Barangkali mereka yakin bahwa sebagai orang pilihan, mereka tidak dituntut untuk memikul tanggung jawabnya karena penebusan Yesus. Selain pandangan di atas, ada orang Kristen yang menolak adanya pilihan dan tanggungjawab manusia karena dianggap mengurangi kedaulatan Tuhan. Ini sudah tentu pandangan yang tidak benar.

Seperti Paulus dalam Roma 7, pergumulan kita dapat menjadi lebih intensakalau kita benar-benar beriman dan menyadari betapa berbedanya hidup kita dari kehidupan yang kita inginkan bersama Kristus. Paulus mengeluh karena ia sering jatuh, tetapi bukannya ia kemudian menyerah atau mengabaikan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia tahu bahwa sekalipun ia adalah “hamba-hamba yang tidak berguna”, ia tetap harus mempertanggungjawabkan hidupnya.

“Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Lukas 17: 10

Akhir kata, setiap orang Kristen sejati pasti sadar bahwa ia harus melaksanakan tugasnya dalam hidup dan bertanggungjawab atas hidupnya. Adanya dosa yang membuat jatuh, bukanlah alasan bagi mereka untuk menolak untuk bertanggung jawab kepada Tuhan. Sebaliknya, jika kita dapat melaksanakan perintah Tuhan dengan baik, kita harus memunji Tuhan yang dengan Roh-Nya sudah membimbing kita.

“Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri. Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu. Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Galatia 6: 4-10

Mana yang lebih dulu: penciptaan atau kejatuhan manusia?

“Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, – supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya” Roma 9: 11

Bagi sebagian orang Kristen, kepercayaan atas keselamatan mereka adalah sebuah keyakinan. Tetapi, jika mereka ditanya mengapa yakin akan keselamatan mereka, mungkin ada yang menjawab bahwa itu karena mereka sudah hidup baik menurut fiman-Nya. Jawaban ini tidak benar. Sebagian besar orang Kristen dari golongan apa saja akan menjawab bahwa keselamatan mereka semata-mata karena anugerah Tuhan. Walaupun demikian, ada pertanyaan kapankah Tuhan memutuskan untuk memberi keselamatan kepada mereka. Apakah keselamatan kita sudah ditentukan sebelum dunia diciptakan atau sesudahnya?

Para teolog Kristen memang sering berargumentasi tentang urutan di mana Allah menetapkan hal-hal tertentu agar terjadi. Khususnya, mana yang secara logis mendahului: ketetapan untuk pemilihan dan penolakan keselamatan manusia, atau ketetapan untuk menciptakan dunia dan mengizinkan kejatuhan? Sekalipun perdebatan mungkin tampak sama sekali tidak penting dalam hal keselamatan orang percaya, kita tidak boleh menolak untuk belajar dari topik ini. Kita harus menghargai bagaimana pemahaman kita tentang urutan ketetapan Tuhan dapat memengaruhi (atau mungkin mencerminkan) pemahaman kita tentang sifatTuhan, dan juga menentukan cara kita hidup di dunia sebagai orang percaya.

Ada dua pendapat utama mengenai urutan di atas (sebenarnya ada banyak pendapat, tetapi kita hanya membahas dua di antaranya). Supralapsarianisme – supra yang berarti “di atas” atau “sebelum” dan lapsum yang berarti “jatuh”- merupakan pandangan yang berpendapat bahwa ketetapan Tuhan untuk menyelamatkan umat pilihan terjadi sebelum Ia menciptakan dunia dan mengizinkan kejatuhan manusia. Infralapsarianisme, di sisi lain, menegaskan bahwa ketetapan Tuhan untuk menyelamatkan umat pilihan terjadi setelah ketetapan-Nya yang terkait dengan penciptaan dan kejatuhan (infra berarti “di bawah” atau “setelah”).

Pandangan supralapsarian menggarisbawahi kedaulatan Tuhan yang tinggi. Apa alasannya? Sebelum si kembar Yakub dan Esau melakukan sesuatu yang baik atau buruk, Tuhan sudah mengasihi Yakub dan membenci Esau (Roma 9:11). Jadi, menurut pandangan supralapsarian, Tuhan pertama-tama pasti bermaksud untuk menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian lagi untuk dibinasakan. Kemudian Tuhan memberikan firman-Nya dan menetapkan kejatuhan manusia agar kemuliaan-Nya dalam pemilihan dan penolakan manusia dapat diwujudkan. Sebagai alasan, pengikut pandangan ini menyatakan bahwa Tuhan yang mahakuasa boleh saja berbuat apa yang dimaui-Nya.

Pada pihak yang lain, posisi infralapsarian menyoroti belas kasihan dan kasih Tuhan. Ayat Roma 9:11, menurut pandangan infralapsarian hanyalah sebuah pernyataan tentang beda kasih Tuhan kepada dua orang, dan tidak ada hubungannya dengan keputusan untuk menyelamatkan yang satu dan membinasakan yang lain. Roma 9:14 menggambarkan pemilihan sebagai Allah yang berbelaskasihan kepada siapa Ia akan berbelaskasihan. Jika demikian, ketetapan Allah untuk menyelamatkan haruslah terjadi setelah ketetapan-Nya untuk mengizinkan kejatuhan; jika tidak, bagaimana belas kasihan bisa muncul sebelum kejatuhan?

Sebenarnya, posisi infralapsarianlah yang diajarkan dalam pernyataan umat Kristen Canons of Dort. Itu terdiri dari pernyataan doktrin Protestan yang diadopsi oleh Sinode Dort yang bertemu di kota Dordrecht pada tahun 1618-19. Meskipun merupakan sinode nasional dari gereja-gereja Reformasi Belanda, sinode ini bersifat internasional, karena tidak hanya terdiri dari delegasi Belanda tetapi juga 26 delegasi dari delapan negara asing.

Tetapi, sampai sekarang sebagian orang Kristen sama sekali tidak (mau) mengerti bagaimana menyerasikan prinsip kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusiawi manusia. Mereka ingin menyelamatkan Tuhan dari tindakan “bebas” manusia (seolah-olah Tuhan perlu diselamatkan) sehingga dengan mengorbankan adanya kewajiban dan peranan manusia, mereka hampir secara eksklusif hanya mempertimbangkan kedaulatan Tuhan. Meskipun Alkitab menekankan tanggung jawab manusia dalam tugas mereka terhadap Tuhan, golongan ini mati-matian akan menyangkal hal ini.

Penafsiran Alkitab melalui kisi-kisi Supralapsarianisme sering menyebabkan kesalahan teologi. Supralapsarianisme menegaskan bahwa ketetapan-Nya dari awal, adalah untuk mengutuk beberapa orang dan menyelamatkan orang lain hanya menurut kehendak-Nya. Padahal, manusia tidak dapat diselamatkan atau dikutuk tanpa kejatuhan. Kaum pendukung Supralapsarianisme mengajarkan bahwa Tuhan menyelamatkan dan menghukum menurut pilihan-Nya dari awalnya, tanpa mempertimbangkan keadaan manusia yang jatuh. Ini berarti meminta pertanggungjawaban makhluk atas dosa yang tidak mereka lakukan, atau yang tidak diperhitungkan kepada mereka. Bagaimana Tuhan bisa mahaadil? Teolog termasyhur R.C. Sproul menulis bahwa ketika manusia menghadap Tuhan untuk diadili, tidak akan ada seorang pun yang bisa mengingkari kesalahan/dosa mereka.

Dalam kenyataannya, pandangan supralapsarian menyebabkan sebagian orang cenderung merasa sudah dipilih untuk ke surga tanpa perlu memikirkan cara hidup mereka, karena ‘nasib’ mereka sudah ditentukan sebelum dunia dijadikan. Ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Mengapa begitu?

  • Manusia tidak dapat menjadi objek pilihan Tuhan tanpa terlebih dahulu menjadi entitas yang nyata. Non-entitas tidak bisa menjadi objek kemarahan atau kasih Tuhan.
  • Belas kasihan dan keadilan Tuhan adalah bagian integral dari pilihan dan penolakan Tuhan. Menganggap manusia ditakdirkan, tanpa mempertimbangkan kejatuhan yang dikaitkan dengan mereka, akan menyalahgunakan gagasan tentang keadilan dan belas kasihan Tuhan.
  • Semua manusia dapat dianggap ditakdirkan jika pilihan Tuhan terjadi ketika manusia masih berupa non-entitas. Kalau keputusan Tuhan sudah ada sebelum penciptaan, cara hidup manusia (termasuk cara hidup umat Israel) tidaklah perlu dipersoalkan oleh Tuhan.
  • Dosa bukanlah akibat kutukan, tetapi kutukan adalah akibat dosa. Tuhan tidak mungkin baik, atau bijak, untuk menghukum manusia tanpa alasan. Tanpa kejatuhan Dia tidak akan melakukan hal itu.

Pagi ini, kita melihat bahwa Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya dan karya-karya-Nya kepada kita dan membawa kita ke dalam dua pengertian yang berbeda. Satu pengertian menunjukkan kepada kita Tuhan dari sudut pandang ketetapan-ketetapan-Nya. Yang lainnya adalah perspektif tindakan dan keinginan Tuhan dalam aktivitas alam manusia. Menolak yang satu dengan mengorbankan yang lain bisa membuat kita jatuh ke pandangan ekstrem. Sebagaimana Charles Spurgeon (1834-1892) pernah berkata: “Tidak seorang pun akan mendapatkan pandangan yang benar tentang Injil sampai dia tahu bagaimana melihat dua garis sekaligus.” Sebuah kebenaran yang akan kita lihat ketika kita berjumpa dengan Tuhan. Sementara kita hidup di dunia, kita harus menerima kenyataan bahwa Tuhan 100% berdaulat atas apa pun yang sudah dan akan terjadi, dan manusia 100% harus bertanggungjawab kepada Tuhan atas hidup dan perbuatan mereka seperti apa yang terjadi pada Adam dan Hawa.

Tidak berbuat baik adalah berbuat dosa

“Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Yakobus 4: 17

Semua orang yang beragama apa pun tentunya tahu bahwa dosa adalah sesuatu yang harus dihindari. Secara umum mereka mengerti bahwa berbuat dosa adalah melakukan apa yang tidak baik dalam pandangan atau ajaran agama masing-masing. Jika mereka melakukan hal yang jahat, itu adalah dosa; sebaliknya jika mereka melakukan hal yang baik, itu membawa pahala.

Dalam banyak hal, apa yang baik dan yang buruk bagi manusia mana pun adalah sama. Hal membunuh, mencuri, berbohong dan semacamnya biasanya juga diatur oleh hukum negara, dan karena itu orang berusaha untuk tidak melakukannya. Walaupun demikian, hukum negara biasanya tidak mengatur atau mengharuskan orang untuk berbuat baik. Karena itu, selama tidak ada hukum yang mengharuskan hal atau tindakan tertentu, orang bisa memilih apa yang akan dikerjakannya. Dalam hal ini, jika tidak ada insentif untuk berbuat baik, orang biasanya tidak mau repot untuk melakukannya.

Hal berbuat baik biasanya diatur oleh etika. Etika mengajarkan apa yang baik dan yang buruk dalam hidup bermasyarakat. Adanya etika adalah baik, tetapi tiap bangsa atau masyarakat mempunyai etika tersendiri sehingga apa yang dianggap baik di satu tempat, mungkin adalah sesuatu yang tidak baik di tempat lain. Etika biasanya tidak diatur hukum, sehingga perbuatan yang dianggap buruk tidaklah mengundang hukuman negara, sekalipun mungkin ada sanksi sosialnya.

Bagi orang Kristen, etika Kristen adalah prinsip baik-buruk yang dilandaskan pada Alkitab. Karena itu, etika Kristen seharusnya tidaklah bergantung pada tempat atau masa. Dalam kenyataannya, banyak orang Kristen yang mempunyai perbedaan etika karena mereka mempunyai pergumulan yang berbeda dalam hal penerapan firman Tuhan. Mereka mungkin sependapat dalam hal-hal yang buruk atau dosa, tetapi mungkin berbeda dalam usaha untuk melakukan apa yang baik bagi Tuhan dan sesama.

Salahkah jika orang tidak melakukan hal yang baik? Banyak orang berpendapat bahwa mereka boleh memilih untuk “abstain” alias tidak ikut campur dalam berbuat baik. Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati (Lukas 10: 30 – 37), baik imam maupun orang Lewi tidak mau menolong orang Samaria yang menjadi korban perampokan. Bagi mereka, menolong orang lain dan berbuat baik adalah sebuah pilihan dan bukan keharusan. Mereka tidak merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada orang Samaria itu. Dan pada zaman sekarang, banyak orang Kristen yang melakukan hal yang serupa: mereka tidak merasa bertanggung jawab atas adanya hal- hal yang buruk disekitar mereka, apalagi kalau ada risiko yang besar jika mereka mencoba melakukan apa yang baik atau memperbaiki apa yang buruk.

Ayat diatas adalah apa yang seharusnya membuat kita sadar bahwa sebagai orang Kristen, kita harus memegang etika yang sejalan dengan Alkitab. Alkitab bukan hanya menyatakan bahwa perbuatan buruk adalah dosa, tetapi juga jelas menerangkan bahwa jika tidak melakukan apa yang baik untuk Tuhan dan sesama, kita juga berbuat dosa. Menjadi orang Kristen bukan saja pasif dalam arti tidak berbuat dosa, tetapi juga aktif dalam berbuat baik tanpa mengharapkan pahala!

Sebelum ayat ini, Yakobus telah menunjukkan bahwa rencana manusia tanpa mengakui kehendak Tuhan adalah jahat. Itu adalah bentuk membual dan hanya cocok dengan sikap sombong manusia. Kemudian, sepertinya secara tiba-tiba, Yakobus membuat pernyataan yang mendalam dan menantang ini. Ayat ini agak keras bunyinya, dan mungkin memang dimaksudkan demikian. Yakobus telah memberikan beberapa argumen tentang apa artinya bagi seorang Kristen untuk mempertahankan iman kita kepada Tuhan. Dia telah menjelaskan dengan jelas bahwa banyak cara hidup atau moralitas yang dianggap”normal” yang biasa kita pakai adalah arogan, mementingkan diri sendiri, dan tidak setia. Banyak orang Kristen yang tidak mau atau tidak berani melawan ketidakadilan, pelecehan,penyelewengan dan kejahatan yang lain. Bagi mereka, ketidakpedulian akan orang lain adalah cara hidup yang paling aman.

Pada pihak yang lain, ada orang Kristen yang secara mati-matian menolak keharusan untuk berbuat baik. Mereka menganggap bahwa jika kita terlau bersemangat untuk berbuat baik, itu menunjukkan bahwa kita kurang yakin akan kenyataan bahwa manusia diselamatkan hanya karena iman dari Tuhan, dan itu semata-mata anugerah Tuhan. Mereka juga percaya, keselamatan yang dari Tuhan itu tidak perlu “dikontaminasi” dengan keharusan untuk hidup baik. Pandangan antinomianisme semacam ini adalah keliru dan sangat menyedihkan. Pandangan semacam itu meremehkan usaha Roh Kudus untuk membimbing kita yang sudah dipilih-Nya, agar makin lama kita makin menyerupai Kristus.

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Roma 8: 29

Kata “antinomianisme” berasal dari dua kata Yunani, yaitu anti, yang berarti “melawan”; dan nomos, yang berarti “hukum.” Antinomianisme secara harafiah berarti “melawan hukum.” Secara teologi, antinomianisme adalah doktrin yang menyatakan kalau Allah tidak mengharuskan orang Kristen untuk taat kepada hukum moral apapun. Antinomianisme memang mengambil ajaran yang alkitabiah, namun kesimpulan yang ditarik tidaklah alkitabiah.

Terlalu mudah untuk menanggapi ajaran Alkitab secara teologis atau filosofis tanpa benar-benar berusaha membuat perubahan apa pun. Kita mungkin menikmati merenungkan ide-ide besar, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, menimbang maknanya. Tetapi jika yang kita lakukan hanyalah memikirkannya dan tidak pernah melaksanakannya, kita akan berbuat dosa. Ayat ini menambahkan kewajiban pada pengetahuan kita: kegagalan untuk bertindak, dengan sendirinya, adalah suatu tindakan. Tidak berbuat baik adalah suatu perbuatan yang buruk. Kita tidak hanya diperintahkan untuk menghindari kejahatan, semua orang percaya diwajibkan secara moral untuk melakukan apa yang kita ketahui sebagai hal yang baik di mana pun mereka berada.

Seberapa besar kerinduan Anda untuk menjadi serupa dengan Kristus? Apakah Anda pernah merasa putus asa dengan hasilnya? Apakah Anda merasa bahwa cara hidup Anda yang sekarang ini sudah ditetapkan Tuhan dan tidak bisa diubah atau berubah? Kiranya tulisan ini memberi penghiburan dan kekuatan bagi kita semua. Keserupaan dengan Kristus merupakan rencana kekal Allah dan pasti akan terjadi pada orang Kristen yang sejati. Tugas kita hanyalah mengasihi Dia dan menyenangkan hati-Nya. Tugas ini hanya bisa dilakukan jika kita terus-menerus menghangatkan hati kita dengan kasih-Nya dan melaksanakan perintah-Nya untuk menjadi pelaku firman.

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” Yakobus 1: 22