“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” 2 Timotius 3: 16
Semakin tua, manusia akan makin berpengalaman karena makin banyak yang pernah dialaminya. Umumnya, pengalaman yang buruk bisa mencegah seseorang untuk melakukan hal yang sama di masa depan. Sebaliknya, pengalaman yang baik dan menyenangkan membuat orang tertarik untuk mencobanya lagi jika ada kesempatan. Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitulah kata orang. Benarkah?
Untuk hal-hal tertentu, dalam keadaan tertentu, memang apa yang pernah dilihat, dirasakan dan dialami, bisa memberi pelajaran dan pengertian. Dalam ilmu pengetahuan, hal semacam ini dikenal dengan pendekatan empiris, yang sering bertentangan dengan pendekatan rasionalis. Bukti empiris adalah informasi yang didapat melalui pengalaman, sedangkan bukti rasionalis berasal dari pemikiran akal budi.
Para pendukung metode empiris berpendapat bahwa informasi yang diperoleh secara empiris yaitu observasi, pengalaman dan percobaan, berguna sebagai pemisah antara pendapat-pendapat yang ada. Dengan pengalaman pribadi yang pernah dialami, orang bisa menolak pendapat orang lain, nasihat guru atau orang tua dan bahkan firman Tuhan. Apa yang pernah dialami akan cenderung dipercayai, sedangkan apa yang tidak pernah terjadi atau terlihat dalam hidup, sering abaikan,
Namun, karena pengalaman seseorang belum tentu bisa dialami orang lain, dan juga karena pengalaman tergantung situasi dan kondisi, metode empiris mempunyai kelemahan bahwa apa yang dirasakan sebagai kebenaran di masa lalu, belum tentu benar di masa depan. Apa yang mungkin dianggap baik hari ini, belum tentu bisa diterima oleh generasi yang akan datang. Sebaliknya, apa yang dianggap buruk di zaman dulu, sekarang mungkin sudah dianggap biasa. Karena itu, pengalaman seseorang belum tentu membawa kebenaran dan belum tentu bisa menjadi guru yang terbaik.
Dalam kehidupan iman, kita dihadapkan dengan berbagai ajaran dan praktik kekristenan yang beraneka ragam. Pada umumnya, keragaman adalah lumrah karena tiap manusia adalah individu yang berbeda, yang mempunyai pengalaman dan pengertian yang berlainan. Walaupun demikian, ayat diatas menjelaskan bahwa firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, harus dipegang sebagai pedoman untuk memperoleh kebenaran.
Pagi ini, jika kita berbakti kepada Tuhan di gereja, kita harus sadar bahwa apa yang kita dengar dan saksikan di gereja mungkin bersumber pada pengalaman pribadi seseorang, yang sehebat atau seajaib bagaimanapun, tidak dapat dianggap setara dengan firman Tuhan. Apalagi kalau pengalaman itu hanya mendatangkan ketenaran untuk manusia dan bukannya memuliakan Tuhan.
Perlu kita sadari bahwa metode empiris yang berdasarkan pengalaman pribadi, jika dipakai untuk mempelajari Firman, bisa menghasilkan sesuatu yang kurang cocok dengan Firman itu sendiri. Begitu juga dengan metode rasional yang hanya berdasarkan akal budi, tidak akan dapat menjajaki kedalaman Firman Tuhan. Karena itu, setiap orang percaya harus mau mempelajari firman Tuhan dengan iman, menggumuli dan menerapkanNya dalam hidup dengan bimbingan Roh Kudus. Pengalaman hanya bisa menjadi guru yang terbaik sesudah dibandingkan dengan apa yang ada dalam Alkitab.
“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Mazmur 119: 105