Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Matius 15: 18 – 19

Pemilihan umum di Amerika sudah berakhir, tetapi mungkin kita masih ingat suasana sebelumnya. Banyak orang yang kuatir bahwa karena adanya permusuhan antara dua partai besar yang didukung masyarakat yang mempunyai pandangan berbeda-beda, perang saudara mungkin bisa muncul. Untunglah itu tidak terjadi dan keadaan sekarang mulai menjadi tenang.
Memang dalam saat kampanye, kedua kubu politik saling menyerang dengan berbagai pernyataan yang seolah membagi negara itu menjadi dua bangsa. Berbagai pernyataan lisan maupun tertulis dikeluarkan untuk menyerang, mengolok, menghina dan merendahkan lawan politik. Sudah tentu, sebagian ucapan atau kata-kata yang kita dengar bisa membuat kita merasa risi atau malu sekalipun kita tidak tinggal di Amerika.
Jika kecerobohan dalam memilih kata-kata bisa melukai hati seseorang, ada orang orang yang justru tidak peduli akan apa yang dikatakannya. Mereka memakai perkataan yang tidak sepatutnya, tetapi tidak terpengaruh atas apa yang diperbuatnya. Dalam bahasa Inggris, orang yang ceroboh dalam memakai kata-kata dan perbuatan, yang bisa membuat malu atau menyakiti orang lain, sering disebut sebagai meriam lepas ikatan atau loose cannon. Mengapa begitu? Pada abad 17-19, kapal perang yang terbuat dari kayu mempunyai meriam sundut sebagai senjata utamanya. Meriam ini dipasang diatas beberapa roda dan diikat dengan tali ke dinding kapal agar tidak terhentak ke belakang sewaktu dipakai untuk menembak kapal musuh. Menurut cerita, meriam yang lepas ikatannya dapat mencelakai pemakainya dan juga merusak kapal itu sendiri.
Sebagai manusia kita adalah makhluk yang istimewa karena kita adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai tata bahasa dan tata suara untuk berkomunikasi. Banyak makhluk lain bisa berkomunikasi dengan sesamanya melalui suara, bau atau gerakan tubuh, tetapi tidak ada yang bisa menggunakan bahasa dan suara untuk menyampaikan pesan secara sistimatis. Dengan kelebihan manusia dalam hal berkomunikasi, manusia bisa menggunakan kata-kata secara tertulis atau lisan untuk menyatakan perasaannya, entah itu rasa senang ataupun rasa berang. Bahasa, selain dipakai untuk memuji, menghibur dan menyenangkan orang lain, juga bisa digunakan untuk memaki, menipu dan bahkan memfitnah orang lain. Jika lidah dikatakan seperti pedang (Amsal 12: 18), di zaman internet ini perkataan kita bisa membawa akibat yang jauh lebih besar melalui berbagai sosial media seperti Twitter, Facebook dan Whatsapp. Apa yang dinyatakan atau diberitakan orang dalam sosial media bisa dengan mudah menghancurkan hidup orang lain.
Apa yang kurang disadari manusia adalah kenyataan bahwa Tuhan yang mahatahu adalah Tuhan yang bisa mendengar apa saja yang kita ucapkan, baik secara lisan maupun tertulis. Ia tahu jika kita memakai lidah kita secara sembarangan untuk mengeluarkan apa yang ada dalam hati kita. Sebagai orang Kristen, kita mungkin ingat bahwa Yesus pernah berkata bahwa perkataan kita adalah pencerminan isi hati yang bisa membuat hubungan kita dengan Tuhan yang mahasuci menjadi renggang.
Sayang sekali, di zaman ini kita justru sering melihat para pemimpin dan tokoh masyarakat yang seakan berlomba-lomba untuk menyatakan pendapatnya dengan tanpa berpikir dalam-dalam baik secara langsung maupun melalui berbagai media.. Dalam kehidupan sehari-hari kita tahu bahwa perkataan yang keliru akan sukar untuk ditarik kembali, dan apa yang sudah dirusakkan oleh sebuah loose cannon adalah sukar untuk diperbaiki.
Firman Tuhan kali ini jelas mengingatkan bahwa sebagai orang percaya, sebaiknya kita lebih berhati-hati dalam menggunakan mulut kita. Panggilan kita sebagai orang Kristen dalam hal ini adalah untuk mawas diri, dan selalu hidup dalam bimbingan Tuhan, sehingga hati kita diisi dengan apa yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Hari demi hari, sebagai orang Kristen kita harus bertumbuh dalam iman dan kasih melalui bimbingan Roh Kudus. Dengan demikian, apa yang ada dalam hati kita akan selalu terpancar dari mulut kita sebagai ucapan kasih yang menghibur dan menguatkan orang lain.
“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Kolose 4: 6