“Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Matius 20: 26 – 28

Sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi: “The first to apologise is the bravest. The first to forgive is the strongest. The first to forget is the happiest” yang berarti “Orang pertama yang bisa minta maaf adalah yang paling berani. Orang pertama yang bisa mengampuni adalah yang paling kuat. Orang yang pertama bisa melupakan apa yang jelek adalah yang paling berbahagia”. Pengarang ungkapan ini tidaklah diketahui, walaupun ini sangat sering disebut orang karena maknanya yang dalam.
Memang kebanyakan orang ingin untuk mempunyai keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan, terutama dalam suasana pandemi saat ini. Orang ingin dipandang sebagai orang yang kuat dan teguh dalam menghadapi bahaya dan ancaman. Orang juga ingin untuk menjadi orang yang berbahagia dan tetap bisa merasa tenteram sekalipun keadaan di sekelilingnya kacau balau.
Dalam kenyataannya, tidaklah ada orang bisa sepenuhnya mempunyai keberanian, kekuatan dan kebahagiaan selama hidup di dunia. Hidup manusia sejak jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa memang penuh semak duri, bahaya, perjuangan dan air mata. Mungkin manusia mencoba untuk menjadi pemimpin yang dikagumi atau ditaati karena keberaniannya, dan dengan itu selalu meyakinkan diri sendiri bahwa ia adalah orang yang selalu benar, dan tidak perlu meminta maaf. Pada pihak yang lain, ada orang yang merasa bahwa dirinya paling kuat dan berkuasa, dan karena itu tidak mau memaafkan orang lain. Selain itu, ada orang yang tidak bisa melupakan pengalaman pahit yang telah terjadi pada dirinya karena merasa bahwa ia tidak sepantasnya untuk mengalami hal itu.
Ketiga reaksi manusia: yang tidak mau meminta maaf, yang tidak mudah memaafkan, dan yang tidak mudah melupakan perbuatan orang lain mungkin sering dipandang manusia sebagai karakter orang yang mempunyai harga diri. Bukankah orang yang tidak demikian justru sering menjadi bulan-bulanan orang lain? Bukankah mereka yang lemah lembut dan murah hati justru sering diperlakukan dengan semena-mena dan dibully orang lain? Dalam hal ini dunia mengajarkan bahwa jika kita tidak menempatkan diri kita setinggi mungkin, orang lain akan menginjak-injak kita.
Harga diri, sakit hati dan pengalaman buruk adalah tiga hal yang menyebabkan manusia hidup dalam api kemarahan. Ini tidak saja bisa terjadi di tempat kerja dan di sekolah, tetapi juga di gereja dan bahkan di rumah tangga. Begitu mudah orang bertengkar karena adanya perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan rasa benci dan saling tuding. Keadaan bisa makin memburuk jika tidak ada pihak yang mau meminta maaf, mau memaafkan dan mau melupakan apa yang sudah terjadi. Dengan demikian banyak hubungan yang retak antara suami dan istri, antar teman, antara orangtua dan anak, dan bahkan sampai pada hubungan antara para pemimpin perusahaan, gereja dan negara.
Setiap orang ingin dihargai, dan sering merasa dirinya adalah yang paling benar. Selain itu, jika ia membuat kesalahan, ia selalu mengharapkan orang lain untuk melupakannya. Sebaliknya, orang tidak mudah mengampuni dan melupakan kesalahan orang lain. Mereka yang merasa besar atau ingin dipandang sebagai pemimpin tidak mau menunjukkan kelemahannya karena kuatir kalau-kalau derajatnya menurun dalam pandangan orang lain. Dengan demikian, hidup orang semacam itu biasanya penuh kekuatiran, kemarahan dan jauh dari kedamaian.
Ayat di atas diucapkan oleh Yesus sebagai pedoman hidup mereka yang ingin bebas dari kekuatiran, kemarahan dan ingin bahagia hidupnya di tengah masyarakat, gereja dan keluarga. Mereka yang ingin menjadi besar dan dihormati haruslah siap untuk melayani dan berkurban untuk orang lain, seperti Yesus yang sudah disalibkan untuk ganti kita. Dengan demikian hidup orang yang benar bukanlah berpusat pada “aku” dan “ego”, tetapi pada bagaimana ia bisa menolong dan membimbing orang lain. Seorang murid Tuhan tidak segan untuk meminta maaf, memaafkan dan melupakan perbuatan orang lain yang kurang baik, karena ia sudah lebih dulu diampuni oleh Tuhan. Orang Krisen yang sedemikian adalah orang yang pemberani, yang kuat dan yang berbahagia dan mau berkurban untuk orang lain.
“Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” Matius 18: 2-4