“Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.” Markus 6: 51 – 52

Banyak orang yang percaya bahwa apa pun yang kita lakukan, itu bukan 100 persen barang baru. Mereka percaya bahwa setiap tindakan manusia bukanlah berasal dari kehendak sendiri, karena setiap keputusan pasti dipengaruhi oleh apa yang sudah ada dalam pikiran mereka atau apa yang sudah mereka alami. Psikologis juga mengutarakan hal yang sama, bahwa tindakan manusia sering kali tidak logis karena pikiran mereka sudah dipengaruhi oleh apa yang sudah pernah dialami atau pengalaman sebelumnya. Pertanyaan untuk kita: Apakah ada orang yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan apa yang pernah dialaminya?
Mungkin anda menjawab: Apakah pengalaman adalah guru yang terbaik? Banyak orang yang berkata begitu. Tetapi, jika pengalaman adalah sesuatu yang berguna, dalam kenyataannya tidak semua orang mau atau bisa belajar darinya. Mereka yang keras kepala misalnya, tidak mau gampang-gampang menyerah dengan adanya hasil yang kurang baik dari usahanya, dan karena itu ingin terus mencoba usaha yang sama dengan harapan bahwa lain kali hasilnya akan lebih baik. Selain itu, ada orang yang tidak bisa mengerti bahwa apa yang sudah pernah dilakukannya dan gagal adalah sesuatu yang kurang baik, dan karena itu ia tetap ingin melakukannya.
Memang pengalaman yang dialami seseorang belum tentu bisa dipakai sebagai pedoman untuk masa depan. Pengalaman seseorang yang bersangkutan dengan hubungannya dengan orang lain atau situasi tertentu memang bisa memberi pelajaran berharga, tetapi belum tentu bisa dipakai untuk mengatasi persoalan yang serupa di masa depan. Itu karena keadaan bisa berubah: orang dan situasi yang dihadapi di masa depan mungkin saja berbeda dan itu memerlukan pendekatan yang berbeda. Pengalaman memang memberi pengetahuan empiris, tetapi itu belum tentu bisa dipakai untuk masa depan karena apa yang terjadi di dunia selalu berubah-ubah. Manusia bisa melihat dengan mata, dan dengan otaknya harus memutuskan apa yang akan dilakukannya.
Pada waktu itu, murid-murid Yesus baru saja menyaksikan suatu mukjizat dimana Yesus memberi makan lima ribu orang dengan modal lima roti dan dua ikan. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan manusia di dunia, tetapi Yesus sudah memungkinkannya. Apa yang dipikirkan murid-murid Yesus ketika itu? Tentunya mereka heran dan takjub melihat bagaimana Guru mereka bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya hanya bisa terjadi dalam alam mimpi. Pengalaman yang luar biasa itu tentunya membekas dalam pikiran dan hati mereka. Jika mereka mau dan bisa belajar dari pengalaman mereka, tentu mereka akan berubah menjadi orang yang percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Yesus.
Tidak setiap orang mau dan bisa belajar dari pengalaman. Murid-murid Yesus ternyata tergolong kedalam jenis orang yang sedemikian. Mereka adalah orang yang tidak bijaksana. Karena itu, ketika mereka kemudian berperahu dan ditimpa angin badai, mereka menjadi takut. Mereka sudah lupa bahwa Yesus yang baru saja memberi makan lima ribu orang itu tentunya bukan manusia biasa. Pengalaman luar biasa yang dialami mereka sebelumnya ternyata tidak ada gunanya. Dengan kehendak mereka sendiri mereka menolak apa yang sudah dialami sebelumnya.
Kita yang percaya bahwa pengalaman belum tentu merupakan guru yang terbaik karena semua itu bersifat empiris dan hanya berlaku untuk keadaan waktu itu, mungkin ingin membela murid-murid Yesus. Bagaimana mereka bisa percaya bahwa Yesus bisa berjalan di atas air dan menenangkan angin badai? Memang benar Yesus sudah membuat mukjizat dengan lima roti dan dua ikan, tetapi apakah Yesus bisa membuat keajaiban yang menundukkan hukum alam? Yesus sebagai manusia, tidak akan bisa berjalan di atas air dan menghentikan topan! Begitu pikir mereka.
Dalam kehidupan kita di tengah pandemi saat ini, mungkin kita tahu batas-batas di mana pengalaman kita yang lalu bisa berguna untuk menghadapi hari depan. Kita mungkin bisa mengekstrapolasi apa yang kita alami pada masa yang lalu untuk bisa diterapkan di masa depan. Tetapi, kita mungkin sadar bahwa situasi yang ada sekarang ini membuat kita tidak bisa memegang pengalaman kita sebagai guru yang terbaik. Keterbatasan manusia dan perbedaan situasi sering kali membuat kita meragukan manfaat pengalaman kita. Itu bisa dimengerti, kecuali untuk satu pengalaman.
Pengalaman yang kita alami dalam hidup karena campur tangan Tuhan tidak boleh diabaikan karena Tuhan adalah Oknum yang mahakuasa yang tidak bisa dikalahkan oleh situasi dunia dan keterbatasan manusia. Jika Tuhan yang membimbing kita pada waktu yang silam, Ia juga dapat melakukannya di masa depan jika Ia menghendakinya.
Mungkin mata kita melihat apa yang ada di sekeliling kita, dan semua itu membuat kita gundah. Di manakah Tuhan saat ini? Tuhan memang tidak terlihat dengan mata kita, tetapi Tuhan seharusnya dapat dilihat oleh mata hati kita.
Hari ini, adakah kemasygulan di hati kita karena adanya banyak masalah di sekeliling kita? Adakah kekuatiran dan ketakutan karena bahaya yang muncul di mana-mana? Pengalaman hidup kita mungkin mencoba meyakinkan kita untuk tidak kuatir, tetapi pikiran kita tidak dapat meyakini bahwa Tuhan akan dapat menolong kita. Seperti murid-murid Yesus yang sudah melihat satu mukjizat besar tetapi tetap tidak sadar siapakah Yesus itu, kita mungkin tidak mengerti bahwa manusia dan situasi dunia yang berubah-ubah tidak dapat mengurangi kasih dan kuasa Tuhan.
Keputusan ada di tangan kita, apakah kita bertindak menurut apa yang kita lihat, atau menurut apa yang ada dalam hati kita. Biarlah pengalaman kita yang lalu di mana Yesus dengan kasihNya menebus kita dan membawa kita ke jalan keselamatan, bisa meyakinkan kita untuk mengambil keputusan untuk tetap beriman kepadaNya!