Jangan biarkan mereka mati

“Tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu, selamatkanlah mereka dengan jalan merampas mereka dari api. Tetapi tunjukkanlah belas kasihan yang disertai ketakutan kepada orang-orang lain juga, dan bencilah pakaian mereka yang dicemarkan oleh keinginan-keinginan dosa.” Yudas 1: 22 – 23

Ingatkah anda hukum kedua yang disebutkan Yesus dalam Matius 22: 39? Hukum itu berbunyi “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Setiap orang yang mempunyai pikiran yang sehat tentunya tahu bagaimana ia harus mengasihi dirinya, dan seperti itulah ia harus mengasihi orang lain. Ini lebih mudah untuk dikatakan daripada untuk dilakukan. Memang biasanya orang tidak mudah mengasihi orang lain karena adanya perasaan bahwa orang lain tidak pantas untuk dikasihi. Apalagi, jika orang lain itu sudah terbukti pernah melakukan kekejian, mungkin ada perasaan dalam hati kita bahwa orang itu sebaiknya tidak dibiarkan hidup. Lebih dari itu, kita mungkin berharap agar Tuhan membinasakan orang tersebut. Benarkah sikap ini? Sebagian orang Kristen mungkin berpendapat begitu.

Dalam pandangan sebagian orang Kristen yang lain, adanya hukuman bukanlah suatu pembalasan, walaupun hukuman diperlukan untuk mengurangi adanya kejahatan. Hukuman seberat apa pun tidak akan menghentikan adanya kekejian. Selanjutnya dalam pandangan mereka, orang Kristen seharusnya dapat mengampuni karena Allah telah mengampuninya.

Tidak dapat dihindari bahwa terkait dengan hukuman pidana mati, terdapat dua pandangan yakni yang mendukung dan yang menolak diterapkannya hukuman pidana mati. Bagi yang mendukung (menerima) diterapkannya hukuman pidana mati, dasarnya adalah penjahat yang telah melakukan kejahatan pantas dihukum, bahkan dengan hukuman mati. Hukuman mati merupakan pembalasan. Seseorang bisa menjadi abdi Allah dan menjalankan hukuman Allah kepada mereka yang melakukan kejahatan, dan terlebih lagi Allah memberi kuasa kepada negara untuk menghukum bagi siapa saja yang berbuat kejahatan. Dalam perwujudan akan hal tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang dengan pandangan agama yang diyakini. Di sisi lain, bagi yang menolak (tidak setuju) diterapkannya pidana mati beralasan bahwa hukuman mati tidaklah efektif dalam menangani kejahatan, dan karena itu hukuman seumur hidup lebih tepat digunakan daripada hukuman mati. Selain itu, hukuman mati berarti menutup kesempatan bagi narapidana untuk bertobat dengan alasan Tuhan sudah menghendakinya.

Dilema antara pro dan kontra hukuman mati mungkin mirip dengan apa yang dialami dokter yang harus memutuskan untuk menghentikan mesin pembantu jantung atau pernafasan dari seorang pasien yang sakit parah. Tetapi, jika dokter sudah tidak bisa menolong lagi, dan keajaiban ilahi tidak terjadi, apakah yang bisa dilakukan? Dalam hal ini, mungkin bisa diterima bahwa sang pasien sudah waktunya untuk meninggalkan dunia. Pada pihak yang lain, seorang penjahat yang segar bugar tentu saja bisa bertobat jika Tuhan menghendakinya. Dengan demikian, jika kita memutuskan bahwa orang itu harus dihukum mati, kita sudah mencoba berperan sebagai Tuhan.

Mengapa kita harus bisa untuk tetap menghargai nyawa orang yang berbuat jahat? Mengapa kita harus mengasihi orang yang hidup dalam dosa? Mereka tidak pantas untuk dikasihi, begitu mungkin pikiran kita. Dengan kata lain, kita tidak mengasihi mereka karena kita yakin bahwa mereka tidaklah sebaik diri kita. Pandangan semacam ini sudah tentu bukanlah pandangan Yesus. Selama hidup di dunia Yesus menunjukkan kasih-Nya kepada orang yang terasing dari masyarakat, marginalised people, seperti orang yang sakit kusta, pelacur, pemungut cukai dan penjahat. Yesus mengasihi mereka sebelum mereka mengasihi Dia. Yesus mengasihi mereka sekalipun mereka belum menjadi pengikut-Nya. Tuhan pun mengasihi kita ketika kita masih berada dalam dosa dengan mengirimkan Yesus untuk mati bagi kita (Roma 5: 8).

Satu hal yang sering dilupakan orang adalah fakta bahwa jika Yesus mengasihi semua umat manusia, Ia membenci dosa mereka. Kepada seorang perempuan yang berzinah Ia berkata: “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8: 11). Seperti itu jugalah, setiap orang percaya harus berusaha untuk tetap hidup sesuai dengan firman-Nya. Setiap orang percaya juga harus bisa bersikap seperti Yesus: mengasihi sesama manusia tetapi membenci dosa mereka. Manusia tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat, tetapi dalam hukum kasih mereka tetap harus menghindari dosa.

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!” Roma 6: 15

Membenci dosa tetapi tetap mengasihi orang yang berdosa adalah sesuatu yang diajarkan Alkitab. Ayat pembukaan kita berkata bahwa kita harus bisa menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu akan jalan kebenaran Tuhan, tetapi mau menyelamatkan mereka dari kematian dengan jalan merampas mereka dari api penghukuman. Kata “merampas” menyatakan bahwa ini bukanlah tugas yang ringan karena sering kali mengundang permusuhan dengan orang yang merasa bahwa mereka yang dipandang jahat itu sudah tidak pantas untuk menerima pengampunan Tuhan.

Pagi ini, sebagai umat Kristen kita harus berani untuk menyatakan apa yang jahat sebagai kejahatan yang dibenci Tuhan. Selain itu, kita harus juga bisa menyatakan belas kasihan yang disertai ketakutan bahwa apa yang mereka perbuat akan mencelakakan hidup mereka, dengan membenci apa yang dicemarkan oleh keinginan-keinginan dosa mereka. Sebagai orang Kristen kita yakin akan apa yang harus kita kasihi (sesama manusia) dan apa yang harus kita benci (dosa). Adalah kewajiban bagi semua umat Kristen untuk menyatakan kepada seisi dunia bahwa Tuhan yang mahakasih adalah Tuhan yang mahasuci, yang tidak dapat dipermainkan manusia.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s