Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Ayub 2: 10

Seorang ahli kejiwaan yang terkenal pernah berkata bahwa konsep kebahagiaan manusia modern sering kali keliru. Banyak orang, termasuk orang Kristen, berpendapat bahwa kebahagiaan akan datang jika mereka mendapatkan apa yang bisa dinikmati. Bukan hanya dalam hal jasmani tetapi juga dalam hal kebutuhan rohani, jika itu terpenuhi kebahagiaan akan datang. Oleh karena itu, banyak orang kehilangan kebahagiaannya jika apa yang dipunyainya kemudian membawa kesulitan atau masalah. Mereka yang mendambakan mobil mahal, akan merasa berbahagia untuk sementara; tetapi jika mobil itu kemudian rusak, kebahagiaan itu hilang. Begitu juga orang yang mengharapkan keluarga yang bahagia, akan mengalami kemurungan jika ada hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi. Seperti itu juga, mereka yang dulunya merasa berbahagia dengan kesehatan yang prima, bisa merasa sedih jika kemudian terkena penyakit tertentu. Bagaimana dengan kebahagiaan dalam hubungan kita dengan Tuhan?
Orang beriman yang percaya kepada Tuhan tentunya berharap bahwa dengan hubungan yang baik dengan-Nya, mereka akan merasa bahagia untuk selama-lamanya. Hidup yang diberkati Tuhan adalah hidup yang aman, tenang dan penuh rasa cukup. Benarkah begitu?
Membaca kitab Ayub 2, mau tidak mau kita membayangkan bagaimana hubungan Ayub dengan istrinya sebelum Ayub tertimpa berbagai musibah. Apakah istri Ayub hanya mencintainya dalam suka? Mengapa dengan datangnya duka, istri Ayub menyuruh Ayub untuk meninggalkan Tuhan dan mati (ayat 9)? Apakah Ayub merasa kecewa? Mungkin, untuk beberapa saat Ayub marah dan merasa kecewa karena istrinya tidak lagi mengasihinya.
Jika pernikahan adalah antara dua manusia yang berbeda jenis dan latar belakangnya tetapi saling mengasihi, umat Kristen atau gereja bisa dibayangkan sebagai calon mempelai Kristus (Wahyu 21: 2). Sebagai orang percaya, kita mempunyai tekad untuk mengikut Yesus dalam segala keadaan, sekalipun kita mungkin tidak pernah mengucapkan janji untuk tetap setia kepada Yesus waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit. Pada pihak yang lain, Yesus sendiri berkali-kali berjanji untuk menyertai umat-Nya untuk selamanya, dan bahkan memberikan Roh Kudus untuk menguatkan kita (Yohanes 14: 16).
Seperti banyak pernikahan manusia yang menjadi hancur karena adanya godaan, tantangan dan kesulitan hidup, banyak orang yang mundur dari imannya karena adanya berbagai persoalan hidup. Walaupun demikian, bagi kita, untuk tetap berpegang pada janji kesetiaan Tuhan dalam menghadapi kesulitan hidup, bukanlah hanya harapan. Bahwa Ayub yang hidupnya diterpa badai kehidupan yang begitu besar dan bahkan untuk sesaat seolah kehilangan dukungan istrinya, tetapi tetap setia dan beriman kepada Tuhan, adalah sebuah contoh bahwa mereka yang sudah pernah merasakan besarnya kasih Tuhan dalam hidup mereka, tidaklah mudah untuk merasa kecewa dan mengingkari imannya.
Hari ini, jika hidup kita mengalami persoalan besar, biarlah kita ingat akan janji Yesus untuk menyertai kita. Sekalipun keadaan saat ini terasa berat, kita bisa berharap akan kasih-Nya. Dengan keyakinan akan kasih-Nya,sekalipun keadaan dan orang-orang di sekitar kita pada saat ini tidak bisa membantu kita, biarlah kesetiaan kita kepada Yesus tetap kuat sebab Ia adalah Tuhan yang setia. Di dalam Yesus gembala kita, ada rasa aman dan damai dalam keadaan apa pun.
“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Roma 8: 38 – 39